Jilid Kesembilanbelas

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Meski dianggap tabu oleh sebagian orang, perjodohan bukanlah sesuatu yang melanggar hukum agama, maka tidak ada alasan untuk menolaknya."

Lutut Harastha rasanya lemas seketika kala melihat tubuh ringkih Hamidah yang sudah terbaring lemah dengan mata terpejam.

Dielusnya lembut pipi Hamidah. "Umiii ..., Astha pulang," lirihnya.

Mata Hamidah terbuka secara perlahan, dan jelas saja langsung disambut senyum lebar Harastha di balik cadarnya.

"Maafin Astha ya, Umi," katanya penuh akan rasa sesal.

Dia terlalu ceroboh, meninggalkan orang yang sudah sangat berjasa untuknya hanya untuk mencari keberadaan orang yang sejatinya tidak pernah ikut berkontribusi lebih dalam hidupnya, selain menghadirkan dia ke dunia.

"Astha jangan tinggalin Umi lagi ya, Nak," pinta Hamidah diakhiri cairan bening yang mengalir di kedua sudut mata.

Dengan lembut Harastha menghapus air mata Hamidah. "Umi harus sehat dulu, jangan banyak pikiran ya?"

Hamidah memaksakan diri untuk bangun, dan dengan cekatan Harastha pun membantunya. "Umi perlu sesuatu?"

Tidak ada jawaban apa pun, hanya rengkuhan hangat yang diberikan oleh Hamidah. Rasanya seperti mimpi bisa kembali memeluk raga Harastha, yang dia kira tidak akan lagi mau menemuinya. Tak kalah erat, Harastha pun membalasnya seraya berulang kali menuturkan kata maaf.

Setelah pelukannya terurai, Hamidah menangkup wajah Harastha. "Maafkan Umi karena sudah mengganggu Astha, meminta Astha pulang, padahal Umi tahu kalau Astha sedang mencari keberadaan orang tua kandung Astha. Maaf, Umi terlalu egois dan takut kehilangan."

"Urusan Astha bisa ditunda, kesehatan Umi jauh lebih utama. Sudah ya, sekarang Umi makan terus minum obat dulu. Astha suapin," katanya tak mau membuat Hamidah semakin kepikiran, yang akhirnya berimbas pada kesehatan beliau.

Hamidah mengangguk pelan, tak ada alasan untuk menolaknya. Terlebih, dia pun sangat amat merindukan momen-momen kebersamaan dengan Harastha.

"Astha baik-baik aja, kan selama tinggal jauh dari Umi dan Abah? Astha tinggal di mana, Sayang?" tanya Hamidah disela kegiatannya yang tengah makan.

"Alhamdulillah Astha selalu baik, Umi," sahutnya seraya kembali menyuapi Hamidah.

"Bagaimana dengan pencarian Astha? Apa sudah menemukan titik terang?" seloroh Hamidah kemudian.

Harastha menggeleng pelan. "Nggak ada informasi apa pun yang Astha dapat selama setengah tahun tinggal di Bandung. Astha nggak punya cukup bekal untuk menggali informasi terkait orang tua kandung Astha."

"Maaf, Umi nggak bisa membantu banyak karena memang kami sudah sangat lama hilang kontak. Umi hanya punya foto lawas ayah Astha, itu pun sudah sangat usang dan tengah bersama dengan Alm. Haikal."

Mata Harastha berbinar seketika. "Boleh Astha lihat, Umi?"

"Ambil di laci kedua, Nak," beritahunya.

Dengan gerakan cepat Harastha mencari bingkai tersebut, dan senyumnya kian mengembang kala berhasil menemukan sebuah bingkai berukuran 4×6 yang memang sudah usang, bahkan memudar di beberapa sisi.

"Foto itu diambil saat Alm. Haikal dan Hanin menjalani foto prewedding, sudah sangat lama sekali. Ayahnya Astha yang sebelah kanan, yang lagi pegang kamera."

"Wajahnya ketutup kamera, Umi," cicit Harastha.

Hamidah mengelus lembut punggung Harastha. "Umi nggak punya foto yang wajahnya tampak jelas, hanya itu satu-satunya foto yang Umi punya. Karena memang hubungan Umi dan juga ayahnya Astha kurang begitu dekat. Umi hanya sebatas orang tua dari suami adiknya."

Harastha pun tersenyum tipis dan mengangguk maklum. "Astha paham, Umi."

"Di laci paling atas ada buku, tolong ambilkan ya, Nak."

Harastha menurut patuh lalu menyerahkannya pada Hamidah.

"Sebagaimana judul di dalam buku tersebut 'DNA Wiratama', buku ini berisi tentang Astha dari sejak bayi hingga saat ini. Semuanya lengkap dengan foto dan juga keterangan hasil tulis tangan Umi. Bahkan, di sampulnya sengaja Umi bubuhi sidik jari Astha. Disimpan baik-baik buku ini, mungkin akan jadi kenang-kenangan bagi Astha, tapi akan jadi sesuatu yang sangat amat berharga untuk kedua orang tua Astha kelak. Mereka memang tidak ikut andil dalam membesarkan Astha, tapi mereka bisa membuka ulang buku tersebut untuk merasakan setiap tumbuh kembang putrinya," ungkap Hamidah lantas kembali menyerahkannya pada Harastha.

"Umi nggak bisa berbuat banyak untuk menebus kesalahan Umi di masa lalu karena sudah menjauhkan kalian, hanya ini yang bisa Umi lakukan," sambungnya diakhiri senyum tipis.

Harastha membuka lembar demi lembar buku tersebut. Di halaman pertama tertera apik potretnya yang saat itu baru saja dilahirkan, lengkap dengan keterangan nama, berat badan, panjang tubuh, serta hal lainnya.

Melihat setiap lembarnya seolah masuk ke masa itu, dia tak kuasa untuk menahan air mata. Hamidah begitu baik, setiap momen terabadikan dengan sangat apik.

"Ini saat pertama kali Astha bisa berjalan, masyaallah ternyata sekarang Astha sudah sebesar ini yang tanpa dipapah pun bisa berjalan tegap dan lancar, bahkan bisa berlari dengan sangat kencang. Berbeda dengan Umi yang kian hari kian ringkih, dan berjalan harus dengan alat bantu," cetus Hamidah.

Dikecupnya lembut seluruh permukaan wajah Hamidah secara bergantian. "Sekarang Astha yang akan memapah Umi ke mana pun Umi pergi."

Hamidah terkekeh kecil. "Di lembar terakhir ada foto ibunya Astha, tapi maaf kurang begitu jelas karena fotonya diambil saat kami tengah berpelukan di rumah sakit, kala Umi menjemput Astha."

"Ini sudah lebih dari cukup untuk Astha, Umi, terima kasih banyak."

Hamidah membelai sayang wajah Harastha. "Terkait permintaan Umi dan Abah beberapa bulan lalu, terserah Astha. Umi nggak akan memaksa," katanya kemudian.

"Hazman laki-laki yang hendak Umi jodohkan dengan Astha?"

Hamidah mengangguk pelan. "Hazman merupakan anak asuh dari Kiyai Dahlan, kerabat Umi dan Abah yang juga merupakan pemilik Pondok Pesantren Daarul Hikmah Al-Islamiyah. Dua tahun lalu Umi dan Abah berkunjung ke Klaten, hanya pertemuan biasa tanpa ada niat untuk saling menjodohkan kalian. Tapi, Abah sempat menuturkan keresahannya akan pergaulan zaman sekarang, beliau khawatir Astha salah dalam memilih pasangan. Dan, Kiyai Dahlan menawarkan salah satu anak asuhnya untuk menjadi calonnya Astha."

"Hazman menerima perjodohan ini, tapi Astha belum memberikan jawaban apa pun. Kalau memang Astha setuju, Hazman akan membawa Astha untuk menemui kedua orang tua kandungnya, meski pada dasarnya seorang laki-laki tidak memerlukan wali, tapi Hazman ingin pernikahannya diridai dan direstui oleh orang tuanya. Keputusan mutlak ada di tangan Astha, mau menerimanya silakan, menolak pun nggak papa. Umi dan Abah nggak akan memaksakan kehendak kami," tukasnya panjang lebar.

"Astha percaya dengan pilihan Umi dan juga Abah, insyaallah Astha menerima perjodohan ini. Tapi, Astha nggak bisa menikah dalam waktu dekat, karena mau bagaimanapun Astha memerlukan wali untuk menikah. Dan sekarang, Astha belum bisa menemukan keberadaan ayah kandung Astha," sahut Harastha diakhiri sunggingan tipis.

Hamidah mengangguk paham. "Itu juga yang Umi dan Abah pikirkan, maka dari itu kami pun tak tinggal diam dan ikut mencari keberadaan orang tua kandung Astha. Tapi Astha sungguh-sungguh menerima perjodohan ini? Bukan atas dasar paksaan, kan?"

Harastha menggeleng cepat. "Astha menerimanya dengan sukarela, lillahi ta'ala."

Padalarang, 05 Agustus 2024

Makin ruwet aja nih, Hazman yang jarang muncul tahunya membuat gebrakan😂🤭 ... Hamizan kena tikung adiknya, bukan papanya 😂🤣✌️

Gaskennn nggak nih?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top