Jilid Keenam

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Sedang berada di era orang lain seperti saudara, dan saudara seperti orang lain."

Harastha menatap penuh tanya saat Zanitha menyerahkan sebuah kamera yang tersembunyi apik di dalam tas. "Ini untuk apa, Tante?"

"Untuk Astha bawa pulang, harus dipakai supaya keahliannya semakin terasah."

"Apa ini nggak berlebihan? Astha orang baru lho, bahkan kenal aja baru beberapa jam lalu," ungkap Harastha cukup bingung.

Zanitha malah tertawa kecil. "Kok ngomongnya gitu, kan katanya Astha mau memberikan yang terbaik untuk bisnis kami, maka dari itu Tante beri fasilitas ini. Ya, walaupun itu kamera lama, tapi insyaallah masih berfungsi dengan baik. Terima ya."

Dia pun akhirnya mengangguk lemah. "Makasih banyak ya, Tan. Sepertinya kamera ini punya kenangan tersendiri bagi Tante? Tasnya juga custom, lucu ada namanya."

Zanitha terkekeh kecil. "Bisa dibilang begitu, dijaga baik-baik ya kameranya."

"Insyaallah," jawabnya singkat.

Harastha terpusat pada tulisan yang ada di tas tersebut, keningnya mengernyit penasaran. Namun, dia berusaha untuk mengenyahkan hal tersebut.

"Kamera itu pemberian dari teman baik Tante, tulisan di sana merupakan inisial nama beliau," terang Zanitha tanpa diminta.

Harastha pun manggut-manggut kecil.

"Assalamualaikum!"

Fokus keduanya teralihkan seketika saat mendengar suara salam yang begitu nyaring memekakkan telinga.

"Wa'alaikumusalam, jangan teriak-teriak atuh," sahut Zanitha lembut.

Sedangkan Harastha merasa cukup dengan menjawab salamnya dari dalam hati saja.

Perempuan muda yang kini sudah menginjak usia 20 tahun itu terkekeh kecil. "Sudah kebiasaan, agak susah dihilangkannya, Bun."

Zanitha menggeleng beberapa kali. "Maafkan Putri Tante ya, agak ceriwis memang anaknya," ujarnya pada Harastha.

Lagi-lagi Harastha mengangguk pelan.

Tanpa rasa malu dan sungkan dia duduk di sisi Harastha lalu mengajaknya untuk bersalaman. "Salam kenal, Naqeesya Dilara Hirawan, putri semata wayang Ayah Dipta dan Bunda Zani."

Perempuan bercadar itu pun menyambut hangat uluran tersebut. "Harastha Razqya," sahutnya begitu singkat.

Naqeesya manggut-manggut. "Teh Harastha kenalan Bunda ya? Kok, Sya baru tahu sih. Apa teman lama, Bunda?"

"Bukan, saya hanya sebatas karyawan baru Bu Zanitha."

Tanpa diduga Naqeesya menggelegarkan tawa nyaring. "Atuh nggak cocok Bunda dipanggil 'ibu'. Sya jadi berasa anaknya pejabat ih, panggil Bunda aja atuh, Teh."

Harastha meringis kecil dibuatnya.

"Lagian ya, Teh karyawan-karyawannya Bunda itu udah kayak saudara sendiri, malah dianggap anak sama Bunda. Mereka itu manggilnya Bunda juga sama kayak, Sya. Jangan terlalu formal, da bukan kerja di perusahaan besar atuh," imbuhnya lagi.

"Ngobrolnya dilanjut di meja makan, kita makan siang bareng dulu yuk," ajak Zanitha kemudian.

"Astha pamit kalau gitu, Tan," ungkap Harastha seraya bangkit berdiri.

Tanpa izin Naqeesya langsung menggandeng tangan Harastha. "Nggak baik tahu, Teh nolak rezeki. Sya seneng kalau makan rame-rame. Nggak boleh nolak!"

Zanitha mengelus pelan pundak Harastha. "Harap maklum, Naqeesya memang seperti itu. Maaf ya."

"Justru Astha jadi nggak enak, malah numpang makan di sini."

"Ish, ish, Teteh nggak boleh ngomong gitu ih. Kok numpang, ini tuh namanya jamuan. Teteh, kan tamu jadi harus kita muliakan. Bukan begitu, Bunda?"

Zanitha tersenyum dan memberikan dua jempolnya.

Ketiganya berkumpul bersama di ruang makan dengan menu makan siang yang bisa dikatakan lengkap. Ada ayam goreng, capcay, sayur bayam, serta beberapa jenis buah untuk pencuci mulut.

"Apa Astha suka pedas? Kalau memang iya Tante akan ambilkan sambal kemasan di kulkas. Tante nggak bisa bikin sambal, maklum keluarga Tante ini kurang suka pedas semua," ujar Zanitha seraya menyerahkan piring pada Harastha.

"Kebetulan Astha juga kurang suka pedas, Tan."

"Teteh nggak usah heran gitu, capcay buatan Bunda emang nggak pakai wortel. Bunda sangat antipati sama sayur kesukaan kelinci," kekeh Naqeesya.

Harastha tertawa kecil. "Kamu lucu, Sya."

"Makasih lho. Selain lucu, Sya juga cantik, manis, imut, dan menggemaskan, Teh," katanya lalu memasukkan nasi ke dalam mulut.

"Tingkat kepercayaan diri kamu ini memang terlalu tinggi, Sya," komentar Zanitha.

"Bagus dong, daripada insecure dan merasa rendah diri. Ini tuh tanda kalau Sya mensyukuri apa yang telah Allah kasih."

Zanitha dan Harastha saling beradu pandang, lalu mereka tertawa kompak seraya geleng-geleng.

"Ternyata Teh Astha tim kulit yang dimakan terakhir ya, kalau Sya sih kulitnya duluan yang dimakan," oceh Naqeesya melihat ke arah piring Harastha.

Harastha pun menggeleng pelan. "Bukan ih, saya justru nggak suka kulit makanya disisihkan."

Naqeesya membulatkan mata tak percaya. "Aneh, kok ada orang nggak suka kulit. Ini mah sebelas dua belas sama Bang Hamizan. Ya udah atuh kulitnya buat Sya ya?"

"Sya! Nggak boleh minta-minta gitu ah, kurang sopan itu, Nak," tegur sang ibu.

"Nggak papa, Tan lagian Astha juga kurang suka. Tapi, memangnya Sya nggak jijik, ini bekas lho."

"Bekas Bang Hamizan aja Sya doyan, apalagi ini punyanya Teh Astha, ya nggak papa atuh. Nggak papa banget malah," sahutnya lalu mengambil alih kulit ayam yang masih berada di atas piring Harastha.

"Kamu ini ya, Sya, kalau soal kulit ayam pasti yang diingat Hamizan. Dasar!"

Naqeesya menampilkan cengiran khasnya. "Soalnya cuma sama Bang Hamizan, Sya nggak perlu susah payah rebutan kulit ayam. Beda cerita kalau sama Kang Hazman, dan si Bocil."

"Nggak boleh gitu ih, Sya. Nama bagus-bagus juga malah dikatain Bocil. Ngamuk pasti Azam kalau tahu, kena ulti Buna Hamna nyaho kamu."

Dengan bangga Naqeesya berujar, "Buna Hamna ada di kubu, Sya, emang si Azam itu bocil, biang rusuh pula. Untung, Sya nggak punya saudara kandung laki-laki, pusing pasti apalagi kalau sejenis sama tuh Bocil."

Harastha hanya diam dan menyimak, dia tidak tahu menahu dengan nama-nama yang dibicarakan oleh keduanya. Alhasil dia lebih memilih untuk fokus dengan makanan.

"Nanti Sya kenalin sama Bang Hamizan, perpaduan yang klop pasti kalau sampai Teh Astha sama Bang Hamizan berjodoh," ocehnya berhasil membuat Harastha terbatuk-batuk.

Dengan cepat Harastha meneguk air putih dan menandaskannya untuk meredakan rasa tidak nyaman di kerongkongan.

"Tapi kalau dilihat dari penampilan sih lebih condong sama Kang Hazman, cuma nggak mungkin kalau Kang Hazman ngelangkahin Bang Hamizan. Teh Astha umur berapa sekarang?"

"Sudah 23 tahun, Sya. Emangnya kenapa?"

"Teteh nggak keberatan kalau berjodoh sama berondong? Beda cuma dua tahun doang sih, Sya mau comblangin sama Kang Hazman. Nggak jadi sama Bang Hamizan, repot nanti kalau sampai jadi nikah, pasti kalian jadi duta pembuang kulit ayam. Mubazir!"

"Ampun kamu ini, kuliah dulu yang bener bukan malah cosplay jadi makcomblang. Inget, harus lulus tepat waktu, kamu udah semester 6 ya, Sya," peringat sang ibu.

Naqeesya menampilkan dua jarinya tanda damai. "Bunda mah gitu, jangan bahas kuliah terus atuh. Iya, iya, Sya janji akan lulus tepat waktu."

Harastha mati-matian menahan tawa melihat wajah tertekan Naqeesya. Walaupun dia tidak mencicipi bangku kuliahan, tapi dia bisa membayangkan bagaimana sulitnya Naqeesya menyandang gelar mahasiswi tingkat akhir.

"Minggu depan kamu sudah mulai PPL lho, Sya. Sudah sampai mana persiapannya?"

Naqeesya menunduk seketika. "Mentok, Bunda."

Padalarang, 06 Juni 2024


Maaf nih up lama, sengaja sebenarnya 🤭 mau lihat feedback kalian terhadap cerita ini. Karena aku ngerasa kok sepi peminat, makin ke sini makin kurang feedback-nya. Malah aku sempat berpikiran untuk unpublish 🙂😅 ... Jadi, gimana nih? Mau dilanjutin atau gimana?

Gaskennn???

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top