Jilid Keempat

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Perempuan jika bukan agama yang dijadikan sebagai pegangan, ia akan diperbudak oleh perasaannya."

Perempuan yang terbiasa mengurung diri, tak banyak berinteraksi, tapi sekarang dipaksa keadaan untuk mengasingkan diri di kota orang. Harastha luntang-lantung tak jelas mencari tempat tinggal, beruntung dia masih memiliki cukup bekal untuk menyewa sebuah kost-kostan.

"Maaf, Bu apa ada kamar kosong?" tanyanya pada pemilik indekost yang tengah menyirami tanaman.

Dia meletakkan alat penyiramnya terlebih dahulu lantas berkata, "Kebetulan ada satu kamar yang kosong, mau sewa perbulan atau pertahun?"

"Sewa untuk satu bulan ke depan dulu apa boleh?"

"Ya boleh atuh, yuk masuk dulu ngobrol-ngobrolnya di dalam," sahutnya begitu ramah.

Harastha pun menurut patuh. Dia mengintil di belakang pemilik indekost yang memiliki 10 pintu tersebut. Sebuah indekost yang hanya diperuntukkan bagi perempuan, laki-laki tidak diperkenankan masuk walau hanya sekadar di pelataran.

Bangunan didesain dengan begitu apik berbentuk huruf 'U', dengan rumah pribadi yang diapit oleh lima pintu indekost. Tak lupa juga dilengkapi pagar setinggi pinggang, serta beberapa tanaman hias yang mempermanis di area luar gerbang.

"Harga sewanya berkisar di angka berapa ya, Bu?" tanya Harastha saat mereka sudah duduk di teras rumah.

"Kebetulan yang kosong harga sewa perbulannya Rp. 500.000,00 sudah termasuk bayar air dan listrik, dilengkapi kamar mandi di dalam, ada kasur dan lemari pakaian minimalis juga."

Harastha manggut-manggut paham. "Boleh saya lihat-lihat dulu indekost-nya, Bu?"

"Mari, Neng," sahutnya begitu ramah.

Pemilik indekost bernama Aminah itu pun mengajak Harastha untuk melihat-lihat. "Nah di pojok sana ada dapur umum yang biasa dipakai anak-anak kost. Di lantai dua juga ada roof top untuk sekadar tempat nongkrong."

Harastha mengangguk dan tersenyum di balik cadarnya.

Aminah membuka lebar pintu indekost, dan mempersilakan Harastha untuk masuk ke dalam. Di sana terdapat kasur berukuran single yang sudah sangat rapi dilindungi seprai, serta dilengkapi selimut. Tak jauh dari ranjang, terdapat lemari pakaian berbahan plastik dengan ukuran minimalis.

"Cukup luas ya, Bu," komentarnya.

Aminah tersenyum ramah. "Alhamdulillah, jadi diambil atau nggak?"

"Boleh, Bu, saya sewa untuk satu bulan dulu."

Aminah pun menyerahkan kuncinya. "Semoga betah ya, Neng, kalau perlu apa-apa, ada yang kurang dari segi fasilitas dan pelayanan bisa kabari Ibu."

"Baik, Ibu terima kasih banyak," sahutnya lantas menyerahkan beberapa lembar uang untuk menyewa indekost.

"Neng Astha kalau lapar bisa langsung ke dapur umum, di sana sudah tersedia beberapa jenis makanan instan yang memang diperuntukkan bagi penghuni kost. Jangan sungkan, nggak dikenakan biaya tambahan kok," imbuhnya.

"Masyaallah, iya, Bu iya."

"Semoga jadi penghuni tetap Rumah Bidadari ya, Neng," katanya seraya menepuk lembut bahu Harastha.

Harastha pun tersenyum. "Aamiin, insyaallah."

Rumah Bidadari adalah sebutan untuk indekost milik Aminah tersebut. Hunian yang memang diisi oleh para akhwat sang calon bidadari di surga kelak.

Harastha menjatuhkan tubuhnya di ranjang, dia pun meletakkan tas punggungnya di sana. "Alhamdulillah, sekarang sudah ada tempat tinggal. Aku harus segera mencari pekerjaan untuk biaya hidup di sini. Nggak akan cukup kalau hanya mengandalkan uang sisa yang aku bawa."

"Tapi nyari kerja untuk lulusan pesantren kayak aku di mana? Memangnya ada yang mau terima, terlebih penampilan aku yang memakai cadar seperti ini," monolognya.

Dia merebahkan tubuhnya dengan beralaskan tangan, dia pejamkan mata sejenak untuk menetralkan pikiran.

Harastha meraba cadarnya, cukup lama sampai akhirnya dia lepas penutup wajah tersebut. "Aku nggak mau menggadaikan akhirat hanya untuk kepentingan dunia yang sesaat."

"Keputusan untuk memakai niqab sudah aku ambil sejak akhil baligh, dan aku nggak mau melepaskannya hanya karena alasan supaya mendapat pekerjaan. Ternyata aku cukup ceroboh, kurang mempertimbangkan baik buruknya. Asal kabur dari pesantren tanpa pikir panjang sebab akibatnya. Astha! Astha!"

Dia mengambil gawai yang ada di dalam tas, mengaktifkannya terlebih dahulu, dan cukup terkejut dengan banyaknya notifikasi panggilan masuk dari Hamidah.

"Maafin, Astha ya, Umi. Bukan maksud Astha untuk jadi pembangkang, Astha hanya ingin tahu orang tua kandung Astha. Hanya itu, insyaallah kalau urusan Astha sudah selesai Astha akan pulang untuk memenuhi permintaan Umi dan Abah," katanya sembari melihat potret dia dan juga Aminah yang dijadikan sebagai wallpaper.

"Doakan Astha ya, Umi," imbuhnya dengan suara melirih.

Harastha merasa tidak baik-baik saja tinggal jauh dari lingkungan pesantren. Akan tetapi dia tak tenang jika belum bertemu dengan sang orang tua kandung.

Dia tak peduli jika pun nantinya sang orang tua tak menganggap dirinya sebagai anak, dia sama sekali tak merasa keberatan. Toh, selama ini pun dia sudah terbiasa tanpa figur keduanya.

Dia hanya ingin bertemu, sekadar ingin tahu dari versi sang orang tua. Bukan tak percaya dengan penjelasan Hamidah, dia hanya ingin mendengar cerita dari dua belah pihak.

"Buka pagarnya, saya hanya ingin bertemu Anza!"

Suara teriakan dari arah luar cukup mengusik Harastha. Dia pun bergegas untuk kembali memakai cadarnya lalu keluar untuk mencari tahu.

"Anza tidak ada di sini, tolong jangan buat keributan di tempat saya!"

"Ibu bohong! Jelas-jelas tadi saya lihat Anza masuk ke sini!" katanya keukeuh.

Harastha merasa jengah dengan tingkah laku sang pemuda yang begitu tidak sopan pada Aminah, dia pun berjalan cepat untuk menghampiri mereka.

"Apa pantas seorang anak muda berbicara dengan nada setinggi itu pada orang tua?" katanya.

Mata pemuda itu menyipit, dia menunjuk ke arah Harastha sengit. "Dunia sesempit ini ya? Bisa-bisanya saya ketemu kamu lagi!"

Harastha menautkan alisnya, merasa kurang mengerti dengan apa yang diungkapkan sang lawan bicara.

"Nggak usah pura-pura amnesia deh. Kamu yang kabur dari pesantren, kan."

Ingatan Harastha terkumpul seketika. "Kamu?"

"Iya, apa? Kenapa harus ketemu lagi sih! Nggak ada tempat kost lain memangnya?!"

"Neng Astha kenal sama Nak Azam?" tanya Aminah.

"Astha?" Hazami membeo dibuatnya.

Aminah mengangguk kecil.

"Ikhwan dilarang masuk, sudah jelas bukan tulisan di depan pagar?" cetus Harastha tak ambil pusing dengan kebingungan Hazami.

"Nama saya Hazami, bukan Ikhwan!"

Harastha geleng-geleng kepala. "Ikhwan itu laki-laki, bukan nama."

"Bu Aminah yang punya kost, bukan kamu. Nggak usah sok ngatur-ngatur, orang cuma penghuni baru juga!"

"Yang dibilang Neng Astha itu benar, Nak Azam, kan tahu peraturan di sini. Lagi pula orang yang Nak Azam cari nggak ada."

"Ibu jangan bohongin saya!"

Aminah menghela napas berat. "Neng Anza tadi memang sudah pulang, tapi sudah pergi lagi. Ibu nggak tahu pergi ke mana."

"Dijemput cowok bermobil?"

"Ibu kurang tahu yang jemputnya cewek atau cowok, tapi memang pakai mobil."

Hazami berdecak sebal, lantas berlalu begitu saja.

"Pemuda tadi itu siapa sih, Bu?" tanya Harastha saat sudah memastikan Hazami jauh dari pandangan.

"Namanya Hazami, dia itu mantannya Neng Anza yang sewa kost di sini. Kamarnya samping-sampingan sama Neng Astha."

"Anak muda zaman sekarang makin aneh-aneh aja kelakuannya. Padahal sudah berstatus mantan, tapi masih aja dikejar-kejar. Heran!"

"Mereka itu pacaran udah lama, dari awal masuk SMA. Putusnya juga baru, tepatnya di hari kelulusan beberapa hari lalu. Wajar kalau jadi pasukan gagal move on," sahut Aminah.

"Kok Ibu tahu sih?"

Aminah terkekeh kecil. "Jelas Ibu tahu, karena emang Nak Azam itu lumayan sering ke sini dan buat keributan. Sedikit banyak Neng Anza juga suka cerita-cerita sama Ibu."

Harastha hanya manggut-manggut singkat. "Oh iya, Ibu ada kenalan yang lagi buka lowongan kerja nggak?"

Aminah menilik penampilan Harastha dari atas sampai bawah lalu akhirnya berkata, "Neng Astha lulusan pesantren ya? Kalau iya, coba ngelamar aja jadi guru ngaji di Rumah Tahfiz Qur'an ponakan Ibu, mau?"

Harastha mengangguk kecil. "Mau, Bu."

"Besok Ibu antar ke sana ya."

"Terima kasih banyak ya, Bu."

Aminah tersenyum ramah. "Sama-sama, Neng Astha."

Padalarang, 21 Mei 2024

Kira-kira gimana nih kelanjutannya? Kepo nggak sama kisahnya Harastha 🤔🤭

Gaskennn ke Jilid Kelima?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top