Jilid Keduapuluh Dua

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Jangan memupuk hati dengan prasangka buruk, karena kita tidak pernah tahu ada rencana indah apa yang sudah Allah persiapkan."

Selepas mengajar Harastha memutuskan untuk sejenak berkeliling pesantren. Sudah sangat lama dia tidak merasakan hal semacam ini, terasa sangat menenangkan sekaligus menyenangkan.

Jauh dari hiruk-pikuk kehidupan yang belakangan ini menghantui. Jika bukan karena alasan ingin mencari sang orang tua, dia tidak akan pernah mau melangkahkan kaki keluar lagi. Sudah terlanjur betah.

"Umi capek? Mau istirahat dulu?" tawarnya kala mendapati peluh di pelipis Hamidah bercucuran. Dengan lembut dia menghapusnya menggunakan punggung tangan.

Hamidah menggeleng kecil. "Aman Astha, lanjut lagi yuk."

Harastha pun mengangguk patuh, tangannya tak pernah lepas untuk menggandeng Hamidah. Sosok tua yang berada di sampingnya saat ini, merupakan orang yang paling berjasa karena sudah memberikan dia kehidupan layak, dan juga tempat tinggal di lingkungan yang tepat.

"Setelah Astha menikah nanti, terkait pengurusan pesantren dan hal-hal lainnya sudah mutlak menjadi tanggung jawab Astha dan juga Hazman. Umi dan Abah sudah semakin tua, sudah waktunya kalian yang muda-muda meneruskannya."

"Kenapa harus Astha? Masih ada yang jauh lebih kompeten ketim---"

"Astha yang terbaik, karena sejak saat Umi membawa Astha untuk tinggal menetap di sini, Umi sudah berjanji akan mempersiapkan Astha sebagai penerus," potongnya cepat.

Dielusnya lembut punggung Harastha. "Ada Hazman yang akan membersamai Astha, Umi percaya kalian akan menjadi pasangan yang bisa saling bekerja sama."

"Kalau seandainya Astha nggak mendapat restu dari orang tuanya Ustaz Hazman bagaimana?" tanyanya saat mereka memutuskan untuk sejenak duduk, dan beristirahat.

Hamidah menoleh cepat. "Kenapa Astha sampai punya pemikiran seperti itu?"

"Kemungkinan diterima dan ditolak presentasenya sama, Umi."

"Insyaallah semua akan baik-baik saja."

Harastha hanya manggut-manggut. "Boleh Astha tanya sesuatu sama Umi?"

"Ya boleh atuh, mau tanya apa, Sayang?"

"Kalau Umi berkenan, bisa kasih tahu siapa nama lengkap orang tua kandung Astha nggak?" selorohnya sedikit ragu.

Hamidah tersenyum tipis. "Sampai lupa lho Umi buat kasih tahu soal ini. Maaf ya, ayah dan ibu Astha bernama Hamzah Wiratama dan juga Hamna Pramanita."

"Hamzah?" cicitnya. Dia seakan teringat pada seseorang pemilik nama yang sama. Tapi dengan cepat dia pun menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Nggak mungkin Pak Hamzah, kenalannya Bu Zanitha, kan?" lirihnya teramat pelan.

"Astha ngomong apa, Nak? Umi nggak denger," ujar Hamidah.

"Nggak, bukan apa-apa, Umi."

"Kalau nanti Astha bertemu dengan mereka, jangan hakimi mereka ya, Nak? Umi sangat tahu seberapa besar kasih sayangnya mereka untuk Astha. Wajah sedih Hamna masih sangat terekam jelas dalam ingatan Umi, saat mereka harus melihat putri kecilnya terpaksa Umi bawa pergi."

Harastha merangkul lembut bahu Hamidah. "Buat apa Astha menghakimi mereka, bahkan untuk membencinya pun nggak pernah terbesit dalam pikiran Astha. Kalau memang niat Astha seperti itu, Astha nggak mungkin mau repot-repot mencari keberadaan mereka dan meninggalkan Umi begitu saja. Malah Astha bersyukur, karena kejadian itu Allah pertemukan Astha dengan Umi dan juga Abah."

Berdamai dengan kenyataan memang tidak mudah, tapi terus memupuk luka masa lalu pun hanya akan menjadi penyakit hati yang tak berkesudahan. Dia percaya, bahwa luka itu seharusnya dirawat bukan malah dibiarkan hingga menimbulkan luka baru yang bisa saja jauh lebih mengancam.

Sebisa mungkin dia memposisikan diri bukan sebagai korban, melainkan sebagai penyelamat serta sayap pelindung bagi sang orang tua. Setidaknya semasa di dunia dia bisa bermanfaat, dan kelak di hari penghisaban dia pun bisa memberi syafaat.

"Umi tahu Astha pasti bertanya-tanya, kenapa mereka sama sekali nggak pernah mengunjungi Astha di sini. Seakan lupa kalau mereka masih punya anak perempuan," Hamidah menjeda kalimatnya, dia tatap Harastha begitu lekat dengan senyum yang tak pernah memudar sedikit pun.

"Hamna pernah bilang sama Umi, kalau dia nekat menemui Astha pasti akan sulit baginya untuk ikhlas, bahkan mungkin dia akan menghalalkan segala cara agar Astha bisa kembali ke tangannya. Dia nggak mau seperti itu, karena dia nggak mau dicap sebagai sosok yang nggak amanah, yang nggak bisa menepati janji. Ibunya Astha merupakan perempuan kuat dan hebat yang pernah Umi kenal. Astha harus bangga memiliki ibu sepertinya."

Dia genggam tangan Harastha. "Ayahnya Astha juga nggak kalah hebat, memiliki tingkat kesabaran yang tinggi, sangat bertanggung jawab dan juga penyayang. Umi masih inget betul setiap kali Haleeza main ke rumah Umi, bocah kecil itu selalu menceritakan kebaikan pamannya, yang selalu dia panggil 'papa'. Kalau inget itu Umi sedih, dulu Umi iri karena nggak bisa sedekat itu dengan Haleeza."

Hamidah memaksakan diri untuk tersenyum walau nyatanya air mata mengalir tanpa henti. "Hamzah rela dicap sebagai duda anak satu, padahal dia seorang perjaka dan belum pernah menikah hanya agar Haleeza bisa tetap merasakan kehadiran seorang ayah."

"Umi jangan sedih-sedih lagi ah. Udah ya, Astha nggak mau lihat Umi kayak gini, cukup. Jangan dibahas lagi," pintanya seraya menghapus linangan air mata Hamidah.

"Sekarang Umi dan Abah memang tidak mengetahui tempat tinggal mereka, karena selepas Hamna melahirkan anak kedua, mereka memutuskan untuk pindah. Hanya itu yang Umi tahu, maaf Umi nggak bisa membantu banyak."

"Iya, Umi ..., iya ..., udah ya jangan dibahas lagi. Astha bisa cari tahu sendiri, insyaallah ada Allah yang akan memudahkan segala urusan Astha. Umi jangan membebani pikiran Umi dengan hal-hal yang nggak seharusnya Umi pikirkan. Fokus Umi harus sehat, udah itu aja."

Hamidah pun mengangguk kecil. "Kapan Astha kembali ke Bandung?"

Harastha tak langsung menjawab, dia justru memeluk Hamidah cukup erat. "Umi rida kalau besok Astha pergi lagi?"

Hamidah terkekeh kecil, dia kecup kening Harastha lembut. "Umi rida, Sayang ..., Umi bantu doa di sini ya. Umi nggak sabar mau ketemu Hamzah dan Hamna lagi, yang paling penting Umi mau mereka ikut mendampingi saat nanti Hazman membawa Astha untuk menemui orang tua kandungnya."

"Aamiin ..., aamiin ...," sahut Harastha cepat.

"Boleh Umi minta sesuatu sama Astha?"

Harastha mengangguk sebagai jawaban.

"Astha jangan kerja lagi, semua kebutuhan Astha akan Umi dan Abah penuhi. Astha cukup fokus untuk mencari keberadaan orang tua kandung Astha aja ya?"

Untuk kali ini Harastha menggeleng tak setuju. "Astha nggak mau membebani Umi dan Abah terus-menerus."

"Astha itu tanggung jawab kami, jangan pernah punya pikiran dangkal kayak gitu. Pokoknya turuti permintaan Umi," putusnya.

"Ya udah iya Astha nurut."

"Selama di Bandung Astha harus tinggal di rumah yang Umi dan Abah sudah siapkan. Jangan nge-kost lagi. Bahaya, Umi nggak mau terjadi hal-hal yang nggak diinginkan. Mau bagaimanapun Astha itu perempuan, dan kita nggak pernah tahu ada bahaya apa di luar sana."

"Ini terlalu berlebihan Umi," tolaknya.

"Nggak ada yang berlebihan untuk Astha, semuanya sudah Umi dan Abah pertimbangkan. Jaga diri baik-baik di sana, kalau ada apa-apa beri tahu kami. Hapenya harus aktif terus, oke?"

"Iya ..., Umi ..., iya ..., sayang banget ya sama Astha sampai sebegininya."

"Iya atuh, sama cucu sendiri masa nggak sayang. Astha ini amanah yang harus betul-betul Umi jaga."

Harastha terharu dibuatnya, dia hanya bisa tersenyum dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca.

Allah memang tidak memperkenankannya untuk tinggal bersama dengan sang orang tua, tapi Dia seolah ingin menunjukkan bahwa masih ada orang-orang yang tulus mencintai dan mengasihinya dengan sangat amat sempurna.

Hamidah bukan hanya menjelma sebagai sosok nenek, tapi beliau juga mengaplikasikan peran sebagai ibu yang di mana keduanya sangat amat seimbang. Itulah mengapa Harastha lebih nyaman memanggil Hamidah dengan sebutan 'umi'.

Padalarang, 13 Agustus 2024

Oke, sudah semakin terang tanda-tandanya. Kepo nggak sama kelanjutannya?

Gaskennn??

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top