Jilid Keduapuluh Delapan

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Tidak ada yang namanya ikhtiar sia-sia, lambat laun pasti akan membuahkan hasil juga."

"Ternyata kamu, Zam santri titipan yang katanya harus dijaga extra dan harus selalu di bawah pengawasan Akang," ujar Hazman kala untuk pertama kalinya bertemu sang adik di pesantren setelah selama dua minggu berada di rumah, untuk memenuhi rajukan sang ibu.

Hazami meringis kecil lalu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Maklum santri berandalan ini, takutnya kembali merusak fasilitas pesantren, kan bahaya."

Hazman pun terkekeh kecil. "Bukan kayak gitu, Zam."

"Akang ngapain ada di sini coba? Mau mata-matain Azam, disuruh Papa sama Buna pasti ya," selidiknya penuh akan rasa curiga.

"Akang memang ngajar di sini, memangnya kamu nggak tahu?"

Hazami pun menggeleng cepat. Dia tidak pernah penasaran ataupun bertanya banyak hal ihwal di mana sang kakak mengabdikan diri. Dia hanya sebatas tahu jika kakak keduanya merupakan tenaga pengajar di salah satu pesantren yang berada di kawasan Tasikmalaya, setelah cukup lama mengabdikan diri di Pondok Pesantren Daarul Hikmah Al-Islamiyah yang ada di Klaten, Jawa Tengah.

Terlebih saat dia memutuskan untuk kembali mondok, baik Hamna maupun Hamzah sama-sama tidak mengantarnya atas permintaan dia sendiri. Karena dia tidak ingin mencoreng nama sang orang tua, jika sewaktu-waktu dirinya berbuat ulah. Dia datang, dengan adanya kekuatan orang dalam. Bersembunyi di balik nama Harastha, yang sudah mau menjaminnya.

"Kamu cukup dekat dengan Ustazah Astha, Zam? Masuk ke sini lewat beliau, kan?" tanyanya kemudian.

"Ustazah Astha?" Hazami pun membeo.

Tentu saja Hazman mengangguk cepat.

Otak Hazami sedikit loading untuk mencerna apa yang saat ini tersaji di depan mata. "Sebentar ..., Ustazah Astha? Teh Harastha Razqya maksud, Akang?"

Lagi-lagi Hazman pun menjawabnya dengan anggukan.

"Kalau Azam nggak salah ingat Akang pernah bilang sekarang ngajar di pondok pesantren milik calon mertua. Jadi maksudnya Akang mau menikah dengan salah satu anak pemilik pondok pesantren ini? Bukan Teh Astha, kan orangnya?"

Mendapati raut keterkejutan yang jelas terpatri apik di wajah Hazami, dengan cepat Hazman pun berucap, "Zam kamu jangan bilang-bilang Bang Hamizan, Papa ataupun Buna kalau Ustazah Astha merupakan perempuan yang sempat dijodohkan sama Akang ya?"

"Kenapa?"

"Bang Hamizan menaruh ketertarikan pada Us---"

Hazami menjambak kasar rambutnya lalu menggeram, hal itu jelas saja mengambil alih atensi Hazman, dan membuatnya refleks menghentikan perkataan.

Ini terlalu rumit baginya, untuk perkara memecahkan teka-teki akan kebenaran ihwal Harastha yang diduga merupakan saudari kembar Hamizan saja belum kunjung menemukan titik terang. Lantas sekarang harus ditambah dengan fakta bahwa dua kakaknya menyukai perempuan yang sama, dan parahnya itu adalah Harastha.

"Kamu kenapa, Zam?"

Helaan napas berat mencelos begitu saja. Dia mendadak kehilangan kosakata untuk menjelaskan, entah harus memulainya dari mana. Pemuda itu benar-benar sakit kepala.

"Kamu nggak usah khawatir, Akang sudah membatalkan perjodohan."

Mendengar hal tersebut, Hazami bisa sedikit bernapas lega, tapi hanya sesaat saja karena pengakuan sang kakak berhasil membuat denyutan di kepala membabi buta seketika.

"Perjodohan yang semula ditujukan untuk Akang, dialihkan pada Bang Hamizan, dan itu sudah atas persetujuan Umi serta Abah. Memang ini belum disampaikan pada Ustazah Astha, tapi Akang harap keputusan yang telah kami sepakati baik untuk ke depannya. Dan Akang minta sama Azam, jangan pernah bahas soal perjodohan Akang sama Ustazah Astha, anggap itu nggak pernah ada."

"Akang nggak mau ada perseteruan hanya karena gara-gara perempuan, dan Akang ingin memudahkan ikhtiar Bang Hamizan untuk mengambil hati Ustazah Astha. Akang khawatir Bang Hamizan gelap mata hingga menghalalkan segala cara, dan perjodohan ini adalah solusinya."

"Kang, bukan itu yang Azam khawatirkan. Azam harus ketemu pemilik pondok pesantren ini sekarang juga. Akang bisa bantu, kan?"

Alis Hazman terangkat satu. "Untuk apa, Zam? Sudah ya, kamu jangan ikutan pusing soal masalah Akang, Bang Hamizan, sama Ustazah Astha."

Hazami bangkit berdiri, lalu menarik paksa tangan sang kakak. "Tolongin Azam untuk kali ini aja, Kang," mohonnya.

Akses untuk menemui sang pemilik pondok pesantren memang sangat amat terbatas, terlebih bagi dirinya yang sudah masuk ke dalam daftar hitam.

"Umi dan Abah sudah memutuskan untuk tidak lagi mengurus pondok pesantren, selama Ustazah Astha berada di Bandung, semuanya diambil alih sementara sama Akang," terang Hazman menahan langkah Hazami yang sudah bersiap untuk menariknya.

"Urusan Azam nggak ada sangkut pautnya sama pondok pesantren. Azam sangat memerlukan informasi dari mereka terkait siapa Teh Astha yang sebenarnya."

"Kamu tahu soal keberadaan orang tua kandung Ustazah Astha, Zam?"

"Orang tua kandung apa maksud Akang?"

"Lho, memangnya kamu nggak tahu, Zam?"

"Tahu apa?"

"Ustazah Astha itu merupakan cucu angkat Umi dan Abah, dan sebagai syarat nikah beliau meminta Akang untuk mencari keberadaan orang tua kandungnya. Yang jadi permasalahannya adalah, karena minim informasi jadi sampai sekarang Abang belum bis---"

"Azam harus ketemu pemilik pondok pesantren ini sekarang juga," potongnya cepat.

Anggukan kecil diberikan Hazman, walaupun masih ada banyak pertanyaan yang bersarang di kepala, tapi dia mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya. Lalu mereka pun jalan beriringan menuju tempat tinggal Hamidah dan juga Bima.

Hazami membiarkan sang kakak untuk mengambil peran dan sedikit berbasa-basi, sebelum dia yang langsung tancap gas ke hidangan utama. Tingkat penasarannya sudah berada di ubun-ubun, dan dia harus pecahkan sekarang juga.

"Zam," tegur Hazman saat adiknya malah membisu, padahal dia sudah memberi kode untuk memulai perbincangan.

Pemuda itu tertangkap basah tengah melamun hebat dengan durasi cukup lama.

Hazami berdehem beberapa kali, dia berusaha untuk mengatur napas setenang mungkin sebelum akhirnya berkata, "Maaf jika pertanyaan saya ini sedikit lancang dan menyinggung. Apa Umi dan Abah mengenal Hamzah Wiratama dan juga Hamna Pramanita?"

Hamidah dan Bima saling melempar pandangan, keduanya cukup tercengang dengan pertanyaan pembuka yang Hazami layangkan.

"Zam maksud kamu apa?" tanya Hazman dilanda kebingungan akut.

Hazami merogoh saku celananya, dia ambil sebuah foto yang selalu dia bawa ke mana-mana. "Bayi perempuan yang ada di foto itu Teh Astha?"

Dengan tangan gemetar Hamidah mengambil bingkai tersebut, dia tatap foto itu cukup lama. Air matanya mengalir deras begitu saja, perlahan anggukan kecil pun diberikan.

Hazami meraup kasar wajahnya. "Perempuan yang tengah menggendong bayi itu merupakan ibu kandung saya, Hamna Pramanita."

Napas Hamidah tercekat. "Ka-ka-lian bersaudara? Itu artinya Hazman merupakan saudara kembar Harastha?"

Mendengar hal tersebut, Hazman memijat pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut, bahkan detakan di rongga dada pun seakan memompa dengan begitu hebat. Kebenaran macam apa ini?

Tidak pernah sedikit pun ada omongan kalau mereka memiliki saudari perempuan, lantas sekarang apa?

Sebuah gelengan tegas Hazami berikan. "Bukan, kembarannya Teh Astha, Bang Hamizan."

Lutut Hazman dibuat lemas seketika, dia hanya bisa menatap kosong pada adiknya dengan napas naik turun seolah baru saja melakukan lari maraton.

Tak jauh berbeda, Hamidah dan Bima pun sama terkejutnya. Mereka tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun, fokus mencerna fakta yang baru saja dibeberkan Hazami.

"Bukan kapasitas saya untuk menjelaskan ini lebih mendetail, tapi bisakah Umi dan Abah menemui orang tua kami secepatnya? Ini terkait hubungan darah di antara Bang Hamizan dan juga Teh Astha. Di mana kita sama-sama tahu, kalau Bang Hamizan sangat menyukai Teh Astha, saudari kembarnya sendiri."

Bima merangkul bahu ringkih Hamidah yang sudah merosot. "Bisa, sekarang pun kami bersedia."

"Papa sama Buna yang akan menjelaskan semuanya sama Akang. Ini bukan lagi kapasitas Azam," tutur Hazami berusaha untuk memberi pemahaman, dia tahu betul bagaimana rasanya saat tahu akan fakta tersebut.

Antara bingung, marah, merasa tercurangi, dan tak percaya jadi satu padu, terlebih bagi Hazman yang tak bisa memungkiri jika dirinya pun menaruh hati pada Harastha, yang ternyata merupakan kembaran sang kakak. Jadi, selama ini dia mencintai saudara kandungnya sendiri?

Padalarang, 27 Agustus 2024

Finally, sudah benar-benar menemukan titik terang nih. Kira-kira gimana reaksi Hamizan ya?🤔

Masih mau digaskennn???

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top