Jilid Kedelapanbelas
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Namanya juga hidup, berkawan dengan berbagai teka-teki sudah jadi hal wajar, bukan?"
Harastha menggeram tertahan melihat kedatangan Aminah yang tangannya penuh menenteng keresek serta paper bag. Sudah bisa dipastikan apa yang saat ini Aminah serahkan padanya, tak lain hasil dari ulah Hamizan.
Muak sekali rasanya!
"Biasa, Neng ada titipan," katanya diakhiri kekehan.
Helaan napas berat mencelos begitu saja. "Bu tolong katakan pada Hamizan untuk berhenti melakukan hal-hal bodoh semacam ini. Saya tidak memerlukan ini semua."
"Rezeki kok ditolak, harus diterima atuh. Nggak papa, selagi Neng Astha nggak minta-minta mah. Orang dianya sendiri yang sukarela ngasih," sahut Aminah terdengar memojokkan.
"Ya udah seperti biasa, buat Ibu dan anak-anak kost ya," sahutnya.
"Ihh, Neng Astha mah selalu kayak gitu. Sekali-kali dimakan sama Neng Astha sendiri atuh," tolak Aminah.
"Astha udah kenyang, Bu."
"Padahal lumayan, Neng buat ngurangin pengeluaran, makanan yang dikasih Hamizan juga enak dan pastinya empat sehat lima sempurna. Lengkap banget itu, ketimbang Neng Astha yang hampir setiap hari cuma makan telur dan mie instan."
Harastha meringis kecil mendengar fakta tersebut, dia akui semua makanan yang Hamizan kirim memang tidak pernah asal, justru dari restoran ternama yang cukup terkenal.
"Makan dari hasil keringat sendiri meskipun seadanya jauh lebih nikmat dan barokah," sahut Harastha sekenanya.
Aminah terkekeh kecil. "Kalau emang makanannya nggak mau diterima, ya udah diterima atuh hadiahnya."
"Hadiah? Saya sedang tidak berulang tahun."
Aminah menyerahkan dua paper bag pada Harastha. "Katanya sih isinya satu set abaya sama french khimar."
Harastha menggeleng cepat. "Koleksi abaya Astha sudah terlalu banyak, buat Ibu aja."
Aminah memaksa dan meminta Harastha untuk memegang alih dua paper bag tersebut. "Diterima atuh, disimpan aja kalau emang Neng Astha nggak mau pakai."
Lagi-lagi Harastha menghela napas frustrasi.
Berbeda dengan Aminah yang sedari tadi tak henti-henti menampilkan wajah sumringah. "Menurut Ibu ini mah ya, Hamizan itu paket komplit, baik iya, shalih juga iya, cakep sama mapan juga, mana dari keluarga dengan nasab baik pula. Nggak ada alasan untuk menolaknya."
"Paket komplit Ibu bilang? Sepertinya Ibu keliru."
"Bukan Ibu yang keliru, tapi emang hati Neng Astha-nya aja yang belum melihat itu. Jangan terlalu benci sama orang, beneran suka nanti Neng Astha yang repot."
"Nauduzbilahimindzalik, Bu!"
Ditepuknya lembut bahu Harastha. "Jodoh siapa yang tahu coba?"
Harastha dibuat bergidik seketika. "Lebih baik nggak dapat jodoh, ketimbang harus sama Hamizan."
Tawa Aminah pecah seketika. "Neng Astha ini ada-ada saja ah."
"Ibu punya tempat kost lain selain Rumah Bidadari?" tanya Harastha kemudian.
"Neng Astha mau pindah kost'an?" tanyanya balik.
Dia mengangguk pelan. "Sebetulnya Astha sudah sangat nyaman tinggal di sini, tapi semenjak Hamizan selalu merusuhi kehidupan Astha, rasanya kok jadi jengah dan nggak betah. Ketenangan yang selama ini Astha rasa, sirna seketika karena ulahnya."
"Seenggak mau itu ya Neng sama Hamizan?"
"Iyalah, Bu, nggak mau banget saya!"
"Tipenya Neng Astha pasti sesama santri, ustaz, anak kiai, kan?"
Harastha menggeleng pelan. "Enggak gitu juga atuh, Bu. Astha emang lagi nggak tertarik untuk dekat dengan seorang ikhwan, lagi pula Umi dan Abah sudah mempersiapkan calon untuk Astha. Dan Astha sudah janji, setelah urusan Astha di sini selesai, Astha akan pulang untuk memenuhi permintaan Umi dan Abah."
"Oalah sudah dijodohkan rupanya."
Harastha hanya manggut-manggut saja.
Obrolan di antara keduanya terjeda karena melihat kedatangan seseorang dengan dibarengi salam. Aminah bergegas untuk membukakan pagar, sedangkan Harastha memacu langkah menuju kamar. Namun, langkahnya tertahan kala Aminah memanggil namanya cukup lantang.
"Ya, Bu? Kenapa?" sahutnya saat sudah berada di sisi Aminah.
"Ada yang nyariin Neng Astha," beritahu Aminah.
Kepala Harastha pun tertuju pada seorang pria dengan balutan koko, sarung, serta peci yang berada tak jauh di depannya.
"Saya Hazman yang kebetulan diberi mandat oleh Abah untuk mencari Ustazah. Apakah Ustazah bisa ikut pulang bersama saya ke pesantren?"
Harastha tak langsung menjawab, dia melirik ke arah Aminah sejenak. "Maaf dari mana Anda tahu keberadaan saya? Dan apa tujuan Anda menemui saya? Bukankah saya sudah mengatakan pada Umi dan juga Abah, saya akan pulang jika urusan saya sudah selesai."
Hazman tersenyum samar. "Sebagaimana yang sudah saya katakan tadi, saya diberi mandat oleh Abah untuk mencari Ustazah. Semenjak Ustazah memutuskan untuk pergi dari pesantren, kondisi kesehatan Umi kian memburuk dan beliau sangat ingin bertemu dengan Ustazah."
"Saya tidak pernah melihat Anda berada di lingkungan pesantren. Dan saya sedikit sanksi dengan kesaksian Anda," ujar Harastha penuh akan kehati-hatian, walau pada dasarnya dia sudah merasa waswas sekaligus cemas karena mengkhawatirkan Hamidah.
Lagi-lagi Hazman tersenyum tipis. "Kebetulan saya tenaga pengajar baru di Pesantren Al-Hidayah Islamic Center, dan memang belum sempat bertemu dengan Ustazah. Saya Hazman Rasyid lulusan Pondok Pesantren Daarul Hikmah Al-Islamiyah dari Klaten, Jawa Tengah."
"Klaten?"
Hazman mengangguk pelan. "Bisa Ustazah ikut saya sekarang?"
"Anda Putra dari kerabat Umi dan Abah?"
"Saya akan menjawab pertanyaan Ustazah, tapi tidak di sini. Bisa, kan ikut saya sekarang?"
Harastha berpikir beberapa saat, sampai akhirnya dia mengangguk setuju. Kondisi kesehatan Hamidah jauh lebih penting.
"Sebentar, saya hendak mengambil barang-barang terlebih dahulu," pamitnya yang langsung dipatuhi.
"Kalau Ibu nggak salah ingat, kamu teh kayak putranya Hamzah, bener nggak sih?" cetus Aminah menilik dengan saksama wajah Hazman.
Hazman terkekeh kecil. "Saking lamanya nggak ketemu sampai lupa ya, Bu. Iya, saya putra keduanya beliau."
"Tuhh, kan pantes Ibu kayak sedikit familiar. Ke mana aja atuh, Hazman? Kok baru kelihatan."
"Setelah lulus dari pesantren saya langsung mengabdi jadi salah satu tenaga pengajar di sana, Bu. Karena terlanjur nyaman, alhasil jadi keterusan sampai akhirnya tiga bulan lalu saya dipindah tugaskan untuk mengajar di pondok pesantren yang ada di daerah Tasikmalaya oleh Pak Kiyai dan Bu Nyai."
"Oalah, ustaz muda ini toh."
"Fakir ilmu ini, Bu, masih harus banyak belajar," sangkalnya diakhiri tawa ringan.
"Jangan-jangan kamu lagi calonnya Neng Astha. Bener, kan?" tebak Aminah.
Hazman tak menjawab apa pun, hanya tersenyum tipis yang entah memiliki arti apa.
"Repot ya, saingannya sama saudara sendiri," kelakar Aminah.
"Maksud Ibu apa?"
"Enggak, bukan apa-apa," sahutnya setelah menyadari kalau dirinya telah keceplosan, dan ikut campur terlalu jauh.
"Tuhh Neng Astha-nya datang, titip ya jangan sampai lecet. Kalau bisa bawa pulang lagi ke sini, jangan lama-lama di Tasikmalayanya," imbuh Aminah.
"Insyaallah ya, Bu."
Aminah mengangguk pelan.
"Ibu Astha pamit dulu, insyaallah kalau urusan Astha sudah selesai Astha akan kembali. Maaf ya kalau Astha banyak salah sama Ibu, titip pesan juga sama Tante Zanitha maaf Astha nggak sempat untuk berpamitan langsung dengan beliau," katanya lalu menyalami Aminah.
"Iyaaa, Neng Astha hati-hati di jalannya. Semoga Allah mudahkan segala urusan Neng Astha, dan semoga lekas pulih juga Uminya."
Harastha tersenyum di balik cadarnya.
"Mari Ustazah," ucap Hazman seraya membukakan pintu mobil bagian belakang.
Harastha menurut patuh tanpa kata, setelah sebelumnya mengucapkan salam perpisahan pada Aminah.
Hazman duduk di samping kemudi, karena memang ada salah satu santri yang ditugaskan untuk mengantarnya kala mencari keberadaan Harastha.
"Benar Anda putra dari kerabat Umi dan Abah?" tanyanya ulang.
"Lebih tepatnya saya salah satu santri yang sudah dianggap seperti anak sendiri oleh Pak Kiyai dan juga Bu Nyai," ralat Hazman.
"Bukan Anda, kan ikhwan yang hendak dijodohkan Umi dan Abah?"
"Jika iya kenapa, jika tidak kenapa?"
Padalarang, 02 Agustus 2024
Up lagi nih, diramaikan dulu lapaknya coba. Masih mau lanjut, kan??
Gaskennn??
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top