Part-8. KEMBALI KE RUMAH


    Semester genap telah tiba, semaksimal mungkin aku berupaya agar bisa berkosentrasi, dan menyelesaikan setiap lembaran soal dengan baik. Hari demi hari, terus ku jalani seperti biasa layaknya tak ada sedikitpun masalah yang kuhadapi.

    Ku tahan setiap rasa sakit dan kesedihan yang melanda hatiku. Terkadang, aku juga harus menahan rasa sakit di bagian tulang belakangku. Pak Wahyu dan Bu Zuhra, rupanya terus memperhatikan ku, mereka tahu kalau aku sedang sakit. Setelah satu pekan semesterpun berakhir, kini kami tinggal menunggu hasil belajar kami selama ini.

    Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga, raport hasil semester genap dibagikan serentak dengan perpisahan siswa-siswi kelas tiga. Seperti biasa aku selalu terlibat dalam acara, mulai dari pepenyambutan sampai acara inti.

    Setelah acara perpisahan selesai, barulah raport siswa dibagikan, Alhamdulillah, aku kembali berhasil meraih juara umum. Segalanya adalah nikmat yang tiada terkira. Setibanya di rumah, Ibu Zuhra memeriksa raportku, beliau memberiku ucapan selamat, dan juga motivasi untuk selalu mempertahankan prestasiku.




Pak Wahyu, juga memberiku nasehat dan juga motivasi. Setelah beliau merasa sudah cukup menasehatiku beliau berkata

"Nisa, bersiaplah kemasi pakaianmu, besok pagi Bapak akan antarkan kamu pulang," ucapnya

    Aku pun mematuhi apa yang dikatakan oleh beliau, dengan perasaan penuh suka cita, aku mengemasi pakaian ku, sudah ku bayangkan betapa bahagianya ayah dan ibu saat aku pulang ke rumah besok.

    Hati ini rasanya sudah sangat tidak sabar menunggu datangnya pagi, karena hati ini sudah sejak lama merasa begitu resah memikirkan kondisi ibu, yang kian hari semakin bertambah buruk.

    Ibu masih sangat shock akan semua yang terjadi, ternyata ujian bagi keluarga kami masih belum usai sampai di situ, kami harus merelakan kebun kami dijual.

Malam hari, seperti biasa aku pergi ke Pondok Pesantren  untuk menuntut Ilmu Agama, Ustadzku bertanya bagaimana perasaanku saat ini. Aku menjawab dengan wajah tertunduk

”Sebenarnya saya, masih sangat terbebani, Kak, tapi setidaknya saat ini saya bisa bernapas lega, karena besok pagi, saya akan pulang ke rumah dan merawat Ibu selama libur sekolah,"




    Kak Muhajir lalu menasehatiku, agar lebih tegar, sehingga aku bisa menjadi kekuatan bagi ibu dan juga ayah, serta hendaklah selalu rendah hati, dan istiqamah, meski semua begitu berat.

Aku mengatakan kepada beliau, bahwa aku akan selalu berusaha mengingat, dan melaksanakan apa yang beliau nasehatkan. Jam sembilan malam pelajaran usai, dan aku segera pulang ke kediaman Pak Wahyu, sampai di rumah, Bu Eni, langsung memerintahkanku untuk makan karena dari siang aku tidak ada  makan apa pun.

    Sebenarnya aku tidak merasa lapar sama sekali, tapi tidak enak menolak karena itu bisa mengecewakan beliau. Aku duduk di meja makan, dan ketika ku sendokkan makanan ke mulutku, mendadak aku teringat apakah ibu, ayah, dan saudara-saudaraku sudah makan, dan apa yang mereka makan?

    Tanpa butuh idzin air mata mengalir dengan sendirinya, aku sangat tahu dengan baik, sejak kebun kami digadaikan susah sekali mencari nafkah, terkadang di rumah hanya makan nasi putih dengan garam. Mendadak, dadaku terasa begitu sesak, karena aku tidak mampu membayangkan betapa sulitnya hari-hari yang dilalui oleh keluargaku, sedangkan di sini, aku bisa makan apa pun yang dimakan oleh keluarga Pak Wahyu. 





    Aku bisa makan beragam makanan, tapi keluargaku bisa makan nasi putih saja sudah sangat bersyukur. Bayangan inilah yang selalu datang silih berganti dalam benakku, sehingga aku sangat sulit untuk bisa makan dengan benar. Aku tidak mampu mengunyah makananku setelah aku teringat setiap kesulitan keluargaku. Akhirnya, aku mengurungkan niatku untuk makan, dan meletakkan kembali makananku.

    Aku memutuskan untuk masuk ke dalam kamar, dan menumpahkan kesedihanku di sana. Dinding kamar yang dingin, selalu setia menjadi saksi kesedihanku. Dalam hati aku terus bertanya pada diriku sendiri. 

    Apa aku  ini anak yang tidak berbakti, yang rela meninggalkan orang tuanya di masa-masa sulit hanya demi pendidikanku, seperti yang dikatakan adikku Adis? Apa aku begitu egois? Berat sekali rasanya, aku melalui malam ini, entah berapa lama aku terus duduk bersimpuh di atas sajadah, dengan air mata yang tiada henti berderai.

    Sayup-sayup terdengar suara adzan, aku bergegas bangun, mandi, dan menunaikan shalat subuh, ku sempatkan membaca Qur’an sebelum memulai pekerjaanku. Setelah semua pekerjaan selesai, Pak Wahyu langsung mengantarku pulang ke rumah.




    Setibanya di rumah, aku merasa sedikit heran. Biasanya, Pak Wahyu, langsung pulang tanpa singgah dulu, tapi hari ini beliau singgah ke rumah dan mengatakan ingin bicara dengan ayah. Selama Pak Wahyu berbincang dengan ayah, aku terus memeluk ibu sambil memandang matanya yang semakin sayu dan terlihat cekung.

    Rasanya ingin sekali aku menangis sejadi-jadinya, tapi kembali ku ingat pesan Kak Muhajir bahwa, aku harus bisa menjadi kekuatan bagi kedua orang tua ku. Jika aku lemah, maka siapa yang akan menjadi pelipur lara bagi mereka, dengan sekuat tenaga ku tahan tangisku dan berusaha untuk tetap tersenyum di hadapan ibu.

    Beberapa saat kemudian, ayah memanggilku karena Pak Wahyu akan pulang.

"Nisa, Bapak, akan pulang, selepas libur sekolah, Nisa tidak perlu lagi pulang ke rumah Bapak," terang Pak Wahyu.

    Aku termangu sambil berusaha memikirkan yang dikatakan oleh Pak Wahyu. Lalu Pak Wahyu melanjutkan ucapannya 

”Nisa kan mendapat bea siswa, jadi, Bapak tidak perlu mengeluarkan biaya untuk kamu sekolah, oleh sebab itu, Bapak pikir, Nisa tidak usah lagi tinggal sama Bapak,




Nisa bisa tinggal bersama keluarga Nisa dan fokus merawat Ibu. Jangan lupa pesan Bapak, pertahankan prestasi kamu dan jangan sungkan untuk datang ke rumah, karena kamu sudah saya anggap anak sendiri!"

    Ada rasa bahagia di hati, karena akhirnya, aku bisa berkumpul kembali dengan orang-orang yang teramat aku sayangi. Namun, di sudut lain, hati ini juga merasa sedih, karena selama satu tahun, aku tinggal bersama keluarga Pak Wahyu, seluruh keluarganya amat menyayangiku, serta memperlakukanku layaknya keluarga sendiri. Rasanya ada sesuatu yang hilang, membayangkan bahwa aku tidak bisa berkumpul lagi dengan keluarga besar Pak Wahyu.

    Selama setahun aku sangat dekat dengan mereka, lebih lagi setiap Jum’at aku selalu bekerja sama dengan Pak Wahyu, membuat telur asin, dan dari beliau, aku yang dulu hanya tinggal makan telur asin tanpa tahu proses pembuatannya, akhirnya berkat tinggal di rumah itu, aku mendapatkan ilmu baru. Bagaimana caranya membuat telur asin.

    Pak Wahyu juga sering menanyakan padaku apa aku mengalami kesulitan di sekolah, dan adakah pelajaran yang tidak mampu ku fahami? Semua itu, hanya contoh kecil kebaikan keluarga besar itu pada ku.




    Aku, memang sedikit sedih harus berpisah dengan orang -orang baik di keluarga tersebut, akan tetapi dibandingkan semua itu, aku sadar ibu lebih membutuhkanku. Pak Wahyu pamit pulang sambil mengusap kepalaku.

    Setelah beliau pergi, aku kembali menemani ibu, ku genggam tangannya dan ku katakan

“Ibu, tidak perlu lagi mengkhawatirkanku, karena mulai hari ini, aku tidak akan pergi ke mana pun, Pak Wahyu menyuruhku untuk tetap di rumah dan tidak perlu lagi pergi ke sana. Sebenarnya, aku mendapat bea siswa sejak dari Semester pertama kemarin, jadi Ibu dan Ayah tidak perlu mengkhawatirkan soal biaya sekolahku,"

    Ibu memelukku sambil tidak berhenti mengucap syukur.

”Sekarang, karena aku sudah di rumah, jadi Ibu tidak perlu lagi ke dapur dan juga mencuci, seperti biasa saat aku ada maka semuanya biar aku yang mengurus, sudah saatnya Ibu kembali istirahat. Satu lagi, jangan terlalu berpikir keras! Kita serahkan saja segalanya kepada Allah, karena Dia tahu apa yang kita butuhkan. Dia juga tahu batas kemampuan kita, jadi Ibu harus semangat dan yakin, hal baik akan segera datang!" hiburku sambil mengusap punggungnya.





    Satu hal yang mesti kita ingat! Kita boleh menangis, atau bahkan menjerit, saat kita merasa tertekan dalam kehidupan ini, tapi, ingatlah kita tidak boleh lemah, apa lagi menyerah pada keadaan! karena jika itu terjadi maka, kita adalah manusia yang paling gagal di dunia ini. Saat kita merasa, bahwa kita adalah orang yang paling menderita di dunia ini, maka cobalah untuk menengok ke bawah! Jauh di luar sana ada begitu banyak orang yang lebih menderita, dan teraniaya dibandingkan kita. Jadi jangan menyerah! Karena matahari tidak akan pernah terbit, sebelum datangnya pagi. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top