Part 7. PERAN SANG USTADZ
Sakit pada tulang belakangku kembali kambuh, bahkan lebih parah dibandingkan sebelumnya. Saking parahnya aku sampai kesulitan untuk bangun dan menggerakkan tubuh, hingga tanpa terasa aku meneteskan air mata. Ibu Zuhra merasa heran, sudah jam 06:00 pagi, aku belum juga ke luar dari kamar, hal ini tidak seperti kebiasaan ku sebelumnya. Lalu beliau masuk ke kamarku
"Apa, Nisa, sedang sakit?" tanya beliau memastikan
"Iya, Bu," jawabku lirih
"Kalau sakit itu bicara terus terang, Nisa, jangan diam saja! Ibu tidak enak, nanti dikira, Ibu terlalu keras pada mu, Ibu juga sudah sering menjelaskan, jangan sampai terlambat makan! Nisa tidak pernah mau dengar ucapan Ibu," tegas beliau
Aku, jadi merasa tidak enak, tapi aku, tidak mungkin bercerita bahwa sakit yang ku alami akibat kekerasan yang ku terima, di masa anak-anak. Aku memilih diam dan mendengarkan semua yang Ibu Zuhra katakan.
"Kalau sakit, tidak usah mencuci pakaian, biar nanti Ibu saja pulang sekolah!" jelasnya penuh penekanan.
Setelah aku merasa lebih baik dan Ibu Zuhra pergi ke sekolah, aku bergegas bangun untuk mencuci pakaian, dan membereskan rumah.
Ibu Munir, dan adik-adik Bu Zuhra melarangku, tapi aku mengatakan kalau kondisiku sudah lebih baik.
Meskipun hari ini begitu berat, tapi atas idzin Allah, aku
mampu melewati hari ini dengan tetap optimis.
Seperti biasa, malam hari aku pergi belajar ke pondok, akan tetapi berita terjualnya kebun kami dan ibu jatuh sakit, sangat mempengaruhi kosentrasiku. Aku tidak fokus seperti biasanya, bahkan saat pelajaran Fiqh, aku tidak bisa menjawab pertanyaan Kak Muhajir dengn benar.
Terkadang, aku justru melamun, biasanya aku banyak bertanya tentang banyak hal, namun kini, hanya diam mendengar penjelasan Ustadzku. Parahnya lagi, aku tidak mampu menyaring penjelasan beliau, tanpa kusadari air mataku justru mengalir dengan sendirinya.
Begitu juga yang terjadi di sekolah, aku tidak banyak memberi komentar saat teman-teman bercerita padaku, bahkan lebih dari seminggu aku jarang bicara, dan senyuman khasku menghilang dari wajahku.
Teman-temanku merasa sedih, dan prihatin dengan kondisi ku, mereka memintaku, untuk mengatakan apa masalah ku, tapi aku, meyakinkan mereka, bahwa semua baik-baik saja. Teman-teman, merasa tidak bersemangat melihat ku, yang selalu diam dari hari ke hari, meski
demikian aku tetap berusaha semaksimal mungkin, untuk tetap fokus dalam belajar.
MKuberikan motivasi, pada diri sendiri bahwa aku, harus maju dan menebus air mata ibu dan ayah, dengan senyum bahagia, karena aku adalah harapan terbesar mereka. Jika aku lemah, maka siapa, yang akan mendukung mereka kelak, saat mereka sudah benar-benar tidak mampu lagi, menggung setiap beban di pundak mereka.
Akan tetapi, entah kenapa air mataku, selalu tidak bisa berkompromi, dia selalu saja seenaknya tumpah dari mata ini. Aku, yang sebelumnya sudah bisa menyesuaikan diri di tengah keluarga Pak Wahyu, kini semua terasa begitu sulit bagiku, bahkan lebih sulit dibanding saat pertama kali, aku datang ke mari.
Belum lagi, isu tentang kedekatanku dengan Ustadz, ternyata tanpa sepengetahuanku telah didengar oleh keluarga Pak Wahyu.
Ketika aku bersama Pak Wahyu, sedang membersihkan telur asin yang siap untuk dimasak, tiba-tiba, Pak Wahyu melontarkan pertanyaan, yang sama sekali tidak ku duga.
"Nisa, Bapak, dengar kamu sangat dekat dengan Ustadz Muhajir?"
Aku menjawab apa adanya
"Iya, Pak, karena beliau adalah guru saya, jadi sudah sewajarnya saya menghormati, dan merasa dekat pada beliau, agar ilmu yang beliau berikan dapat bermanfaat,"
Pak Wahyu melanjutkan ucapannya
"Bapak dengar, Nisa, punya hubungan khusus dengan, Pak Ustadz Muhajir?"
Astaghfirullahal'adziim, aku benar-benar tidak percaya, seorang Pak Wahyu berpikir seperti itu, ingin rasanya aku menangis saat itu juga, tapi aku berusaha semaksimal mungkin untuk menahannya.
"Siapa yang mengatakan itu, Pak? Semua itu sama sekali tidak benar, saya menganggap, Ustadz Muhajir, seperti kakak saya sendiri begitu juga beliau, sejak awal Kak
Muhajir, mengatakan bahwa saya, sudah seperti adiknya sendiri, jadi tidak ada hal yang semacam itu," ucapku sambil menahan agar air mataku tidak terjatuh.
Pak Wahyu kembali berkata
"Bapak, sudah lama mendengar ini, bahkan semua yang ada di rumah ini, juga sudah mendengar, makanya, Bapak berpikir berita itu benar adanya. Bapak pikir, itulah sebabnya kenapa akhir-akhir ini, Nisa kelihatan murung. Mungkin Nisa khawatir, kami, atau keluarga Nisa, akan marah, tapi menurut Bapak, tidak ada salahnya sih. Soalnya, Ustadz Muhajir masih bujang, dan Nisa gadis, it's ok, why not?"
Ibarat luka yang ditaburi garam, rasanya teramat pedih mengetahui itu semua. Bagaimana mungkin, orang bisa berfikir sesempit itu, apa yang mereka fikirkan bahwa, aku memiliki hubungan khusus melebihi hubungan guru dan murid, atau lebih dari sekedar hubungan antara kakak dan adik, dengan Ustadzku, yang sangat ku hormati.
Sebenarnya, Ustadzku sudah mendengar tentang berita ini sejak lama, tapi beliau memilih diam dan tidak menganggap serius berita tersebut. Beliau juga tidak ingin, jika aku mendengar ini, aku akan terguncang dan semakin kehilangan kosentrasi dalam belajar.
Aku merasa sangat marah, jika aku tahu siapa orang yang sudah menyebarkan fitnah yang keji ini, sudah pasti saat itu juga, aku sudah meluapkan emosiku.
Bagaimana bisa seseorang memfitnah seorang guru yang seharusnya dihormati, berani-beraninya, seseorang
mencemarkan namanya dengan berita yang seperti ini.
Amarah, dan juga perasaan sedih, bercampur menjadi satu dalam hati ini. Ayah dan ibu, mengajarkan agar selalu menghormati guru, dan menjaga nama baiknya. Aku berfikir, bagaimana jika Kak Muhajir mendengar ini, pasti beliau akan terpukul, perasaanku bercampur aduk tidak karuan.
Bagiku, beliau adalah guru, yang sangat baik, dan darinya, aku belajar untuk lebih tenang, dan istiqamah dalam menjalani taqdirku. Beliau juga yang telah mengajarkanku, tujuan hidup yang sebenarnya, bukanlah kesuksesan dalam sudut pandang manusia, tapi tujuan sebenarnya adalah taqwa, yang akan menyebabkan Allah ridlo pada diri kita.
Kak Muhajir, merasa sangat heran melihat ku, yang semakin hari tidak seperti biasanya.
"Nisa, ada apa, saya perhatikan sudah hampir sebulan kamu tidak fokus dalam mengaji? Ingat, jangan memikirkan hal lain, selain pelajaranmu! Katakan, ada apa sebenarnya!" desak beliau.
Aku mencoba menyembunyikan hal yang sebenarnya, dengan mengatakan bahwa, aku hanya kepikiran dengan kondisi ibu di rumah. Aku tidak mampu mengatakan tentang gossip yang beredar,karena menurutku, itu tidak perlu diketahui oleh beliau. Kak Muhajir kembali berkata
"Yakin, hanya itu? Saya ini gurumu, seorang guru, itu sama halnya dengan, orang tua, dan seorang guru, tidak pernah mengharapkan apa pun dari muridnya, kecuali kebaikan padanaya. Layaknya orang tua, yang hanya ingin anaknya hidup dengan segala kebaikan,"
Aku terdiam, dan mencerna setiap apa yang dikatakan oleh Kak Muhajir, lalu, Kak Muhajir kembali melanjutkan penuturannya
"Saya, sudah mengatakan sejak awal, kalau saya adalah kakak mu, dan kamu, sudah seperti adik bagi saya, jadi kalau kamu ada masalah, tidak perlu ragu. Nisa, jika ada orang yang paling berhak kau dengar nasehatnya, maka itu adalah aku, karena sebagai gurumu, aku, adalah pembimbing jiwamu.
Ingat, mengenai masalah yang terjadi dengan keluargamu, tentang ibu yang sedang sakit, semua sudah ada yang mengatur. Apa pun yang terjadi, sesungguhnya semua itu tidak luput dari pengawasan, dan idzin Allah SWT. Jadi, serahkan segalanya kepada Allah, karena hanya Allah, yang memegang kendali atas segalanya. Tugas kita, sebagai orang yang beriman, adalah tetap istiqamah pada jalan yang benar, dan jangan sekali-kali, mempertanyakan akan keadilan Allah, karena di sinilah letak keadilan Allah yang sebenarnya. Tanpa diuji, kita tidak akan merasakan manisnya iman," jelas beliau dengan suara yang lembut, seperti seorang ayah yang sedang memberikan wejangan pada puterinya.
Mendengar semua yang diucapkan oleh Kak Muhajir, hatiku perlahan mulai tenang, dan berusaha untuk ikhlas. Aku, mulai kembali menjadi Annisa yang sebelumnya,
yang selalu tersenyum, dan penuh semangat. Semua itu, tidak lepas dari peran, Ustadzku. Semoga Allah SWT selalu merahmati beliau.
Hingga kini, setiap nasehatnya, selalu ku ingat, dan kujadikan motivasi dalam kehidupanku. Tanpa bimbingannya, aku tak kan mampu menjadi lebih kuat, sabar, dan ikhlas menjalani taqdirku.
Banyak hal yang kuperoleh dari beliau, salah satunya pentingnya ilmu pengetahuan, dan keikhlasan. Makna sebuah keikhlasan yang selama ini hanya sebuah ucapan, dengan bimbingannya aku mulai memahami sejatinya dari sebuah kata ikhlash.
Seorang guru, adalah satu-satunya sosok, yang tidak memiliki ikatan darah, atau kerabat, dengan kita, tapi dia, selalu memberi, dan berharap yang terbaik bagi kita.
Jika ada yang berhak menerima pujian, atas keberhasilan kita, maka itu adalah, guru.
Guru, ibarat pelita bagi kehidupan muridnya, dengan segala cara, seorang guru, selalu berusaha memberikan yang terbaik, dan membawa muridnya, pada jalan yang benar tanpa mengharapkan imbalan apa pun.
Maka dari itu, tugas seorang murid, adalah mendengar, dan mematuhi gurunya(سمعن وعطعن).
Hormati, cintai, dan jagalah nama baik gurumu agar ilmu yang kita peroleh bermanfaat!
Pelajaran yang bisa kita petik adalah, sebagai seorang murid taatilah guru, dan tetap semangat serta fokus pada tujuan kita!!!
Jangan lupa kritik dan sarannya ya, suoaya saya lebih giat belajar memperbaiki tulisan saya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top