Part 6. DICINTAI


Di tengah kesulitan yang ku hadapi, aku tetap berusaha menjadi seorang yang selalu tersenyum di depan semua orang, aku juga tetap bisa fokus dalam melakukan apa pun, serta selalu berusaha untuk bisa menempatkan diri pada posisi orang lain.

Ternyata, selain aku, ada seseorang yang mengalami nasib yang sama dengan ku. Zulkarnain, dia harus tinggal bersama paman dan bibinya, karena orang tuanya tidak mampu membiayai sekolahnya. Di balik sikap konyolnya ternyata, dia juga sedang menyembunyikan rasa sedih yang mendalam.

Suatu hari, dia tidak fokus dengan pelajaran yang dijelaskan oleh guru, sehingga hal itu menyebabkan, dia mendapat hukuman berdiri di depan kelas. Aku sudah mendengar apa yang dia alami dari Laela, teman sekelas kami.

Saat hukumannya berakhir, tepat jam istrirahat aku mencoba bicara pada Zul

"Kenapa, kau, tidak fokus saat belajar?"

Aku menatapnya penuh selidik.

"Entahlah, hari ini aku, benar-benar tidak berkosentrasi," Nafasnya terdengar berat, aku bisa memahami bahwa saat ini dia sedang menahan kesedihan yang mendalam.

"Apa yang membuatmu tidak kosentrasi?"



tanyaku, sambil terus menatapnya berharap bisa menemukan kebenaran yang ingin ku ketahui.

Zul menjawab dengan wajah tertunduk dan menahan air mata

"Jam 04:00 pagi, aku harus sudah bangun, Nisa, dan bibiku, orangnya sangat cerewet, itulah sebabnya aku tidak fokus dalam apa pun. Semua hal yang kulakukan selalu saja dianggap salah di matanya," lirihnya

Perlahan, aku memahami, kenapa selama ini dia bertingkah konyol, bahkan terkadang dia juga sangat usil. Dalam hati, aku berucap pada diri sendiri bahwa, aku masih lebih beruntung dibandingkan dengannya. Meskipun, aku tinggal bersama orang yang sama sekali tidak ada hubungan keluarga dengan ku, tapi mereka, memperlakukan aku layaknya keluarga sendiri.

"Zul, kau tahu, hidup itu memang tidak mudah, hidup itu penuh dengan tantangan, tapi, selama kita yakin dan percaya, bahwa di setiap ada kesulitan, Allah juga memberi kelapangan. Kau adalah orang yang kuat, jadi teruslah bersabar, fokus pada tujuanmu!

Bukankah, kau tinggal bersama pamanmu, karena kau ingin melanjutkan pendidikan demi keluargamu? Maka, jangan putus asa! Ustadzku mengatakan padaku, bahwa tugas seorang anak adalah belajar, jadi teruslah berjuang, dan selesaikan yang sudah menjadi tujuanmu!" ucapku memberi semangat padanya.



Kini, aku bisa melihat senyuman menghiasi wajahnya, yang semula terlihat sendu.

"Aku kagum denganmu, Nisa, kau itu seorang gadis, tapi kau sangat tangguh dan juga baik. Kau, orang yang penuh perhatian, selain itu kau sangat pintar, dan dengan posisimu yang sama sepertiku, kau tidak pernah mengeluh. Bahkan, wajahmu selalu dihiasi oleh senyuman.

Mulai sekarang, saya ingin berteman denganmu, dan belajar banyak hal darimu, Bu Guru," ucapnya

Kami tertawa bersama, karena kekonyolannya yang dengan seenaknya menyebutku sebagai "Bu Guru"

Sejak saat itu, setiap ada masalah, dia selalu bercerita padaku, begitu juga ketika dia tidak memahami penjelasan dari guru. Hari itu karena Zul, teman-teman yang lain juga selalu memanggilku dengan sebutan"Bu Guru"

Seorang gadis kuper, kini mendominasi di kelas. Semua itu terjadi karena, aku selalu berusaha menjadi pendengar yang baik disetiap keluh kesah teman-temanku, sehingga mereka merasa nyaman berbicara denganku.

Hal lain yang membuat teman-teman semakin menyayangiku adalah, karena aku selalu memberikan


support pada mereka, saat hati mereka sedang gundah. Sisi lain yang ada dalam diriku, yang selalu mereka rindukan adalah, aku merupakan seseorang yang tidak bisa diam saja, saat hal yang salah terjadi di hadapanku.

Aku berani mengambil tindakan, untuk menghentikan hal yang tidak benar di hadapanku.

Suatu hari, terjadi pertikaian antara Laela dan Imah, meskipun Imah, adalah teman dekatku, tapi karena saat itu yang dilakukannya adalah salah, aku pun marah besar padanya. Aku tidak suka jika mendengar ucapan kasar, apa lagi sampai menghina bentuk fisik orang lain.

Aku, meminta Imah, untuk meminta maaf pada Laela, tapi bukannya meminta maaf, dia malah semakin menghina Laela. Hal ini sangat bertolak belakang dengan hati nuraniku, aku bangkit dari tempat duduk sambil menatap tajam ke arah Imah.

"Kenapa kau sulit sekali untuk sekedar minta maaf, apa kau merasa kau itu seseorang yang perfect, jadi seenaknya kau bisa merendahkan orang lain? Kau tidak takut kepada Allah? Ingatlah!

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا

نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ



"Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim." (Surat Al Hujurat, Ayat 11)

"Apa, kau, ingin disebut sebagai orang yang zalim, dan Allah murka padamu? Minta maaf, sekarang!" ucapku penuh penekanan.

Akhirnya, Imah, bersedia meminta maaf pada Laela, dan sejak peristiwa itu, teman-teman semakin menyayangiku. Mereka menganggap, aku bisa menyelesaikan masalah tanpa kekerasan. Selain itu aku adalah wakil ketua OSIS din sekolah, dan aku adalah ketua kelas yang mereka pilih karena bagi mereka aku layak dan mampu.

Seorang Annisa, yang selama ini dianggap sebagai gadis cupu, dan selalu dipandang sebelah mata ternyata, siapa yang menduga, jika akhirnya keberadaanya begitu membuat kelas yang sebelumnya selalu gaduh menjadi damai.


Kelas yang sebelumnya terkenal dengan gengnya anak-anak, yang suka membuat kerusuhan, kini kelas itu laksana sebuah rumah, di mana setiap penghuninya saling mendukung. Bagi mereka, aku, adalah sosok pemberani dan bijaksana yang selalu mereka cintai.

Kini tidak ada lagi sebutan geng kekacauan, yang ada saat ini adalah kedamaian dan kasih sayang antar setiap seluruh siswa. Hikmah dari setiap kesulitan yang ku hadapi, mengajarkanku, bahwa jika segalanya dilandasi rasa cinta, serta keinginan untuk mencapai kedamaian, dan kebaikan bagi orang lain, maka sudah pasti segalanya akan terwujud dengn idzin Allah.

Musibah yang menimpa keluargaku, telah mengubahku, menjadi gadis pemberani, tegas, dan penuh dedikasi dalam segala hal. Setiap jam istirahat, biasanya aku hanya seorang diri dengan ditemani oleh buku-buku, kini semua teman ikut duduk bersama ku, terkadang mereka ikut membaca, atau sekedar saling berbagi cerita.

Kelas kami, laksana istana, penuh cinta, dan tak ada rahasia di antara kami, setiap ada yang menghadapi masalah, kami bersama-sama saling mendukung. Tidak ada sebutan Geng atau kelompok populer, semua sama.

Akan tetapi, saat seorang diri, aku tetaplah seorang Annisa yang mudah meneteskan air mata, meskipun



sudah hampir satu tahun, aku tinggal bersama keluarga Pak Wahyu, namun hatiku masih saja terus mengkhawatirkan keadaan kedua orang tua ku.

Belum lagi, aku harus selalu menyembunyikan rasa sakit yang kuderita akibat cidera yang kualami. Hatiku, juga merasa sangat gelisah saat ibu sedang sakit, meskipun tidak ada yang memberitahukan padaku, tapi ikatan antara seorang ibu dan anak sangatlah kuat, saat terjadi sesuatu padanya, aku selalu bisa merasakan segalanya.

Keluarga Pak Wahyu, mengira, aku selalu menangis di waktu malam karena, aku merasa tidak betah tinggal di sana bersama mereka, padahal, tangisanku ini karena tekanan dalam hati, yang tak mampu ku ungkapkan.

Adik-adik Ibu Zuhra, dan para iparnya juga sangat menyayangiku, mereka selalu berusaha membuatku nyaman di sana. Mereka tidak pernah membiarkanku duduk melamun seorang diri.Semua itu mereka lalukan agar aku tidak merasa asing dan hanya seorang diri, jadi tidak ada alasan bagiku untuk merasa tidak betah tinggal bersama mereka.

Terkadang, aku ikut membantu adik bungsu Bu Zuhra, menyiapkan segala keperluan untuk berjualan bakso, dari situ aku juga belajar banyak hal tentang memasak, dan akan memberi manfaat untuk ku di masa depan.


Semua kemungkinan telah tertutup, hal ini membuat ayah, terpaksa memutuskan untuk menjual kebun kami yang sebelumnya digadaikan. Setelah berusaha keras, tetap saja, ayah tidak mampu menebusnya dari tangan

pegadai. Bisa ku bayangkan, betapa menderita dan sulitnya kehidupan yang dijalani keluargaku saat ini.

Setiap malam, aku selalu merenungkan segala yang terjadi, ku tanya pada hati ini

"Apa salah orang tua, jika memiliki seorang anak yang buruk akhlaq? Bukankah orang tua selalu berupaya yang terbaik, tapi kenapa orang tua selalu dihukum dan menanggung kesalahan anak-anaknya?"

Aku, terus berupaya menemukan jawaban, dari setiap pertanyaan yang datang silih berganti di benakku,dan berharap suatu ketika, kutemukan jawaban atas setiap pertanyaan itu. Bersama segala impian itu, ku gantungkan seluruh taqdir pada Sang Pemilik jiwaku, yang, karena-Nya, aku hidup, dan pada-Nya, kelak aku dikemballikan.

Ketika nalarku, tak mampu lagi membimbingku dari penatnya hidup, saat itulah aku menyadari, bahwa segala yang kita cintai suatu ketika akan pergi dari kita,bahkan menyisakan rasa sakit. Terkadang hati menolak kebenaran itu, tapi faktanya, hanya Allah yang tidak pernah meninggalkan kita.



Mohon kritik dan sarannya dari para reader.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top