Part-5. SEMANGAT BARU
Hampir dua bulan, aku tinggal di kediaman keluarga Bapak Wahyu. Semua berjalan apa adanya, aku melakukan semua pekerjaan seperti halnya di rumahku sendiri bersama Ibu Zuhra. Bak Ibu dan anak, kami selalu memasak bersama setiap hari, dan setelah beliau pergi mengajar tugasku mencuci pakaian dan bermain bersama Ainun, putri Bapak Wahyu dan juga si imut Anis putri dari Adik bungsu Ibu Zuhra.
Setelah shalat dzuhur, aku pergi ke sekolah, dan setiap hari sabtu aku pulang ke rumah, terkadang juga tidak pulang, kalau di tempat Pak Wahyu, sedang banyak kesibukan.
Saat aku pulang ke rumah, orang tua angkatku datang berkunjung,
”Bagaimana hari-harimu di sana nak?" tanya Bapak Sani padaku dengan tatapan sendunya.
”Alhamdulillah, Pak, keluarga Pak Wahyu sangat baik, hanya saja, saya masih terus kepikiran soal Ibu, karena kondisi kesehatannya yang semakin memburuk," mataku berkaca-kaca
Bapak Sani, menasehatiku untuk sabar dan ikhlas, suatu saat pasti segalanya akan kembali membaik. Lalu, beliau kembali bertanya
”Kamu, mengaji di mana selama di sana?”
Aku terdiam sejenak, sambil mengatur napasku yang terasa memberat, pertanyaan Bapak angkatku seolah mengingatkan akan cita-citaku untuk ke Pondok yang kini telah kandas.
”Apa kamu mau sekolah terus mengaji di sebuah Pesantren? Ada seorang Ustadz, yang mengajar di sana. Pondoknya baru merintis, tapi tetap sistem pembelajaran nya seperti di Pondok Pesantren pada umumnya.
Hal terbaiknya, letak Pondok tersebut tidak jauh dari sekolah dan juga rumah Pak Wahyu," ucap Bapak Sani
Betapa bahagianya hati ku, mendengar penuturun beliau. Harapan yang tadinya telah terkubur, jauh dan hanya tinggal impian yang mustahil untuk bisa terwujud, akhirnya akan menjadi nyata. Berulang kali aku bertanya pada beliau, apakah semua yang dikatakannya itu benar?
Bapak Sa,ni menjelaskan kepadaku bahwa semua itu benar adanya. Lalu, dengan penuh semangat, aku menjawab
“Aku mau, Pak, di mana tempatnya? Tolong antarkan saya sekarang, Pak, saya mau secepatnya belajar,” aku bicara tanpa jeda.
Bapak Sani berkata
”Tunggu, Bapak, sama Ayahmu, menemui beliau dulu, ya, kalau sudah nanti baru kamu bisa langsung pergi mengaji,”
Akupun mengiyakan ucapan beliau, dan dengan patuh, aku mengatakan akan menunggu sampai beliau memberi kabar selanjutnya. Sore hari, aku kembali lagi di kediaman Bapak Wahyu, aku kembali dengan penuh keyakinan, harapan, dan juga semangat baru.
Setiap rangkaian perjalanan yang ku tempuh beberapa bulan ini, membuat hati ini semakin yakin, bahwa jika kita, tidak menyerah dan terus berjuang, maka Allah pasti akan membantu kita. Barang siapa yang berdo’a dengan tulus, Allah pasti mengabulkan setiap do’a dan harapannya. Meskipun tidak serta merta do’a kita menjadi nyata, akan tetapi pasti akan ada jalan untuk mencapainya.
Hati ini, juga membenarkan setiap apa yang Ayah katakan, bahwa segala sesuatu butuh proses dan juga waktu, serta tidak ada yang instant di dunia ini. Ya, itu benar, karena yang instant adalah Indomie saja.
Malam setelah shalat Isya, aku memberanikan diri, untuk menyampaikan keinginanku belajar di tempat Ustadz, dan Alhamdulillah, Pak Wahyu, dan semua keluarganya memberiku idzin.
Aku memutuskan memilih waktu maghrib, agar tidak mengganggu rutinitasku di rumah karena aku sadar, aku bisa melanjutkan sekolah berkat uluran tangan mereka.
Tiga hari kemudian, Ayah, dan Bapak Sani, datang, mereka mengatakan, bahwa esok hari, aku sudah bisa pergi ke Pondok selepas maghrib. Rasanya sudah sangat tidak sabar lagi menunggu sampai besok, karena keinginan yang sudah teramat menggebu untuk mendalami ilmu agama.
Hari yang ku tunggu-tunggu telah tiba, dengan penuh semangat, aku datang ke Pondok, yang disebutkan oleh Bapak Sani, dan bertemu Ustadz Muhajir.
Pertemuan malam ini, Ustadz belum memberiku materi apa pun, beliau menggunakan malam ini sebagai perkenalan dan ingin tahu alasanku belajar padanya.
"Apa menjadi alasanmu, ingin belajar kepada saya? Orang saya ini tidak tahu apa-apa, ada banyak orang yang lebih faham di luar sana dibandingkan dengan saya," suaranya terdengar begitu datar menandakan kerendahan hati beliau.
Sesuai apa yang tersimpan di hati,aku menjawab
"Saya, hanya ingin belajar ilmu agama, Ustadz. Soal pemahaman, saya percaya sepenuhnya kepada ustadz. Meskipun Ustadz mengatakan ada banyak tokoh agama di luar sana, bagi saya tidak masalah, Ustadz.
Saya sudah memutuskan menerima Ustadz sebagai pembimbing saya,”
Beliau menjelskan untuk memanggilnya dengan sebutan kakak, karena menurutnya, beliau belum layak menyandang gelar sebagai Ustadz. Maa Syaa Allah, sungguh akhlak yang luar biasa. Mulai saat itu, aku memanggil beliau, dengan sebutan Kak Muhajir.
Beliau mengatakan bahwa, beliau sudah tahu segalanya, kenapa, dan bagaimana aku bisa tinggal di kediaman keluarga Bapak Wahyu. Apa pun yang menjadi alasannya, beliau menasehatiku, untuk tetap sabar, dan selalu berhusnudzan terhadap taqdir Allah.
Selalu percaya, bahwa keputusan yang ku ambil adalah benar, karena aku, telah mendahulukan pendidikan, meskipun harus jauh dari keluarga dan orang tua, sebab tugas seorang anak adalah belajar sebagai bentuk baktinya kepada orang tuanya. Ilmu pengetahuan adalah jalan menuju sukses dunia dan akhirat. Tanpa ilmu, maka manusia selalu berjalan di tengah kegelapan.
Banyak sekali nasehat yang diberikan oleh Kak Muhajir saat itu, sampai tanpa terasa waktu shalat Isya pun tiba. Setelah shalat Isya Kak Muhajir memintaku pulang dan datang lagi besok untuk memulai pelajaranku. Malam ini beliau hanya memberikanku jadwal pelajaran dan Kitab-Kitab yang harus kupelajari nantinya.
Meski mimpiku, untuk melanjutkan pendidikanku ke Pondok Pesantren telah pupus, namun Allah memberiku
jalan lain untuk bisa belajar layaknya di sebuah Pesantren melalui Kak Muhajir.
Aku terus giat belajar baik di sekolah, maupun di Pondok, dalam bimbingan Kak Muhajir.
Santri yang lain pergi ke Pondok di siang hari, hanya aku yang belajar malam hari kepada Kak Muhajir. Sontak saja, hal ini menimbulkan banyak spekulasi, sebagian murid Pondok merasa iri padaku, karena merasa aku seperti dianak emaskan oleh Kak Muhajir, padahal semua itu tidak benar. Aku belajar secara terpisah dikarenakan aku tidak punya cukup waktu saat siang hari.
Berita yang tidak patutpun menyebar, orang bergossip bahwa aku memiliki hubungan khusus dengan Ustadzku. Aku sendiri belum mendengar tentang berita itu, tapi Kak Muhajir, sudah mendengarnya. Namun, beliau merahasiakannya karena tidak ingin mengganggu kosentrasi belajarku.
Waktu terus berjalan, dan tidak terasa enam bulan sudah aku tinggal bersama keluarga Pak Wahyu. Kini saatnya semester ganjil, dengan penuh ketekunan dan semangat yang kua,t aku terus berusaha fokus pada pelajaran, hingga akhirnya aku berhasil mempertahankan prestasiku.
Aku kembali meraih peringkat pertama dan atas
pencapaianku itu, aku kembali mendapatkan bea siswa. Artinya kini semua biaya sekolahku, ditanggung oleh pemerintah, dan tidak lagi bergantung pada Pak Wahyu.
Syukur tanpa batas, ku haturkan ,kepada Allah SWT. Satu minggu setelah pembagian raport, Ibu Zuhra melahirkan putri keduanya. Aku tidak lagi bisa sering-sering pulang ke rumah, karena semakin banyak pekerjaan, ditambah lagi setiap hari Jum’at aku harus membantu Pak Wahyu membuat telur asin, yang merupakan salah satu usaha sampingan yang dimiliki oleh beliau.
Padatnya aktifitas yang ku jalani, mengakibatkan kondisi fisikku yang sangat lemah menjadi sakit-sakitan. Tapi aku tetap semangat, dan tidak pernah menunjukkan sakitku.
Sebenarnya sudah sejak lama, aku sakit bseperti ini. Dokter, pernah mengatakan kalau aku, tidak boleh terlalu lelah dan juga stres, saat aku kelelahan dan stres maka kesehatanku akan memburuk. Aku juga kerap mengalami menstruasi yang berlebihan dan tidak teratur, semua itu akibat cidera tulang belakangku.
Dulu ketika umur sembilan tahun, aku pernah dibanting oleh Kak Indra, dan tubuhku membentur ranjang dengan sangat keras, sejak saat itu aku sering merasa nyeri berlebihan di bagian pinggulku, bahkan
kesulitan untuk menggerakkan tubuh, ketika rasa sakitnya sedang kambuh.
Ibu Zuhra, dan juga Pak Wahyu, merasa khawatir, mereka mengira ini akibat aku jarang makan. Inilah dunia, setiap orang berpikir sesuai dengan apa yang mereka lihat, seperti anggapan Ibu Zuhra saat ini atas sakit yang ku alami. Beliau hanya tahu bahwa sakitku ini akibat aku sering tidak makan, dan menurutku itu adalah anggapan yang wajar.
Pada dasarnya, otak manusia, akan mudah merespon sesuatu yang terlihat, tidak salah jika mereka berpikir demikian sebab biasanya, akibat kurang asupan nutrisi akan banyak penyakit yang bersarang dalam tubuh.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top