Part-4.AWAL BARU
AWAL BARU
Hari itu akhirnya tiba, dimana aku harus pergi meninggalkan rumah dan juga keluargaku. Semua itu, demi mewujudkan mimpi melukis senyum di wajah kedua orang tuaku, dengan segala harapan dan tekad yang kuat, aku menapaki jalan hidup ini.
Sebuah awal yang baru, dari kehidupan seorang gadis pemalu yang kurang pergaulan akhirnya dimulai. Berbekal cinta dan bakti sebagai anak, ku tinggalkan rumah atas idzin dari kedua orang tua ku. Di tempat yang asing, orang-orang yang asing, dan tentunya kebiasaan yang juga berbeda. Segalanya tidaklah mudah, akan tetapi untuk mencapai sebuah tujuan, memang diperlukan perjuangan, dan juga pengorbanan.
Keluarga pak wahyu adalah keluarga yang sangat baik, di rumah itu ada kedua orang tua Ibu Zuhra. Lalu, ada kedua adik dan adik ipar Ibu Zuhra juga tinggal bersama di sana. Dalam sebuah keluarga besar seperti ini membuatku merasa kesulitan, karena sikap pemaluku.
Malam ini semakin terasa begitu sulit dan teramat panjang karena fikiranku terus mengingat tangisan ibu saat aku meninggalkan rumah. Setelah shalat isya, pak wahyu menyuruhku untuk makan, tapi aku menolak karena aku teringat, apa yang dimakan oleh ayah, ibu, dan keluargaku, yang lain di rumah.
Selain itu, sejak umur 9 tahun, aku sudah terbiasa melakukan puasa sunnah, jadi aku sudah berteman dengan rasa lapar.
Aku berdiam di kamar, sambil terus membaca Al-Qur'an, dengan air mata yang terus berderai. Hati ini terus memohon dan berharap, agar Allah senantiasa memberikan kesanggupan bagiku, dan juga kedua orang tuaku menghadapi semua ini. Tepat jam 9 malam, aku menyelesaikan bacaan Qur'an ku, ku coba untuk memejamkan mataku tapi begitu sulit.
Akhirnya aku kembali membuka mata, dan ku tatap langit-langit kamar. Terbayang raut wajah ibu di pelupuk mataku, tatapan sendunya dan kondisinya yang teramat lemah. Ditambah lagi, perpisahan ini semakin menyiksanya, kembali air mata ini lolos tanpa ku sadari.
Ibu Zuhra yang saat itu melewati kamarku, mendengar isak tangis yang dia rasa begitu memilukan, dia pun masuk ke kamar dan bertanya
"Kenapa Nisa menangis nak?"
"Saya tidak papa, Bu, saya hanya merasa rindu pada Ibu, apa lagi saat ini Ibu sedang sakit. Sebenarnya, berat hati untuk meninggalkan Ibu, tapi saya tidak ingin hanya pasrah dan berpangku tangan saja. Saya ingin melakukan sesuatu untuk kedua orang tua saya,"
Nafasku semakin memberat.
Lalu, Ibu Zuhra memintaku untuk tidak merasa sedih, karena aku sudah dianggapnya seperti anak sendiri. Beliau memberiku dukungan, dan juga nasehat supaya terus rajin belajar, agar aku tetap bisa mempertahankan prestasiku dan membuat kedua orang tuaku bangga.
Waktu terus berlalu dan malampun telah sampai di peraduannya. Ibu Zuhra memintaku untuk cepat tidur karena pagi-pagi sekali beliau akan pergi mengajar. Aku sendiri harus bisa membujuk putri beliau untuk mau tinggal di rumah bersamaku.
Tanpa terasa, aku pun tertidur, seperti biasa aku bangun saat sepertiga malam untuk mengadukan kegundahan hatiku kepada Sang Pemilik jiwaku. Sambil menunggu waktu subuh, aku melanjutkan tilawah Qur'an, tepat jam 04:00 Ibu Zuhra terbangun, karena mendengar Ayat-Ayat Al-Qur'an yang tengah kulantunkan. Beliau mengira aku tidak tidur semalaman.
Aku menjelaskan pada beliau bahwa, ini merupakan kebiasaanku sejak umur 9 tahun. Setiap sepertiga malam aku terbangun, dan tidak pernah tidur lagi sampai shalat subuh. Beliaupun mengangguk-anggukan kepala mendengar penuturanku, lalu beliau bergegas pergi berwudlu dan melaksanakan tahajjud.
Sehabis shalat subuh, aku membantu Ibu Zuhra di dapur, setelah beliau dan juga pak wahyu pergi mengajar, aku mencuci pakaian. Anak beliau yang mestinya ku jaga masih belum mau denganku, karena ini baru hari pertamaku di sini, jadi putri beliau belum mengenalku.
Ibu Munir dan Bapak Munir yang merupakan orang tua Ibu Zuhra menyuruhku sarapan, aku mengatakan bahwa aku sedang berpuasa hari senin. Bapak Munir sendiri juga seorang PNS, beliau juga pergi ke kantornya tepat jam 09:00 pagi.
Adik ipar Ibu Zuhra seorang Polisi, dia juga sangat menyayangiku, seperti adiknya sendiri.Ya, keluarga itu adalah keluarga yang baik.
Siang hari semua keluarga sudah kembali, saat makan siang Ibu Munir bertanya pada Pak Wahyu dan Ibu Zuhra
"Zuhra, itu si Nisa katanya sedang puasa sunnah loh, apa semalam dia sahur?"
"Loh, saya tidak tahu Bu, dia sahur atau tidak tapi dari jam 02:00 malam dia sudah bangun, dan tidak tidur lagi sampai pagi," tutur Bu Zuhra
Pak Munir juga menerangkan bahwa beliau juga mendengar suaraku membaca Al-Quran dari mulai jam 3 pagi. Tapi, beliau tidak tahu apa aku sahur atau tidak.
Akhirnya Bu Zuhra dan Pak Wahyu menanyakan segalanya padaku untuk mengetahui jawaban yang mereka inginkan. Aku mengatakan, bahwa aku, hanya minum segelas air putih, karena aku tidak terbiasa sahur. Pak Wahyu menjelaskan padaku
"Makan dan minum itu sangat penting, sejak malam Nisa tidak makan sama sekali, itu tidak baik untuk kesehatan, karena tubuh juga punya hak. Lain kali, jangan seperti itu lagi, di sini harus makan tepat waktu, dan kalau mau berpuasa diwajibkan sahur," ucap Pak Wahyu padaku.
Ini adalah hari pertamaku masuk sekolah, Pak Wahyu memintaku berangkat bersamanya, karena beliau juga mengajar di SMA KARYA 45. Sementara itu, aku lebih memilih berjalan kaki, karena letak sekolah tidak jauh dari rumah Pak Wahyu, hanya berjalan sekitar 10 menit saja maka aku sudah sampai ke sekolah.
Berselang sekitar 15 menit setelah aku tiba di sekolah, lonceng berbunyi. Hari ini jam pertama adalah Pendidikan Agama Islam, guru mata pelajaran tersebut adalah Ibu Hera S.Ag, beliau juga merupakan Wali kelas ku. Sebelum pelajaran dimulai Ibu Hera, memintaku maju ke depan kelas dan memperkenalkan diri sebagai murid baru.
Hari demi hari terus berlalu, tidak terasa satu minggu sudah aku tinggal bersama keluarga besar Bapak Wahyu, sebelumnya Pak Wahyu mengidzinkan ku pulang setiap
hari sabtu sore. Akan tapi minggu ini, aku, menahan keinginanku untuk pulang lalu bertemu dengan Ibu dan Ayah, karena, ku pikir hal ini tidak akan baik, aku baru saja seminggu di sini, dan harus belajar untuk menyesuaikan diri terlebih dahulu.
Aku menitipkan pesan kepada temanku yang tinggal tidak jauh dari rumahku, agar Ibu dan Ayah tidak khawatir dan menunggu kepulanganku.
Hari Peringatan kemerdekaan RI, sudah semakin dekat. Sekolah mengadakan berbagai macam perlombaan. Ada perlombaan dari cabang olah raga, karya sastra, bahkan perlombaan pidato.
Aku, mengikuti perlombaan Karya Sastra mengarang, sekaligus Deklamasi Puisi Kemerdekaan, dan juga perlombaan Pidato. Teman SMA yang juga satu kelas denganku saat SLTP mendukungku, karena mereka tahu sejak SLTP aku selalu menjuarai 2 bidang ini.
Perlombaan diikuti oleh seluruh kelas, dari kelas satu sampai dengan kelas tiga. Ada seorang siswi kelas tiga yang selama ini selalu unggul dalam berpidato. Dalam perlombaan pembacaan puisi sendiri, biasanya selalu dimenangkan oleh siswa kelas dua.
Ada beberapa peserta yang merasa nerves sesaat sebelum acara dimulai. Lalu, yang selanjutnya terjadi
adalah, senior kami, siswi kelas tiga yang selama ini selalu menjuarai perlombaan pidato, berkata
"Adik-adik, dengarkan kakak, tidak perlu takut atau merasa gugup! Anggap semua yang ada di depan kalian adalah tunggul! Jadi untuk apa kalian takut dengan sebatang tunggul? Lihat kakak, ya, sedikitpun saya, tidak merasa takut atau pun gerogi, karena saya selalu menekankan dalam benak saya, bahwa semua yang di depan saya itu... begitu kecil dan tidak ada apa-apanya,"
Bisa kulihat air mukanya yang begitu bangga akan dirinya. Senyumku mengembang, mendengar perkataannya. Menganggap orang lain kecil, dan tidak berarti, adalah wujud kesombongan.
Aku hampir tidak percaya, seorang siswi terpopuler dan juga sang juara, ternyata memandang orang sebelah mata. Sebut saja dia, Eis, seorang siswi yang selain mahir berpidato, dia juga sangat mudah bergaul. Eis juga selalu berpakaian dan berbicara layaknya gadis-gadis modern kota metropolitan.
Mungkin karena itulah dia jadi beranggapan bahwa, orang lain tidak sebanding dengannya. Perlombaan pidato siang ini dimulai, dan Eis tampil sebagai pembuka.
Tepuk tangan bergemuruh menyambutnya, lalu dia,
memulai pidatonya. Semua yang hadir begitu terpukau dengan penampilan Eis, dan saat dia menutup idatonya, kembali tepuk tangan bergemuruh, dari para pendukung dan penggemar beratnya.
Satu persatu peserta pidato sudah dipanggil, dan terakhir adalah giliranku. Berbanding terbalik dengan ketika Eis yang berjalan menuju podium, dimana saat itu, dia disambut dengan tepuk tangan dan sorakan yang amat meriah, sedangkan saat giliranku, tidak terdengar tepuk tangan sedikitpun yang mengiringi.
Sebenarnya, hal ini hampir membuat nyaliku menciut, akan tetapi, aku mencoba berfikir positif, dan meyakinkan diri ku, bahwa aku mampu. Jika seorang Eis
bisa maka aku juga bisa "I will never say never"
Aku berusaha bersikap tenang dan penuh keyakinan, ku buka pidatoku, dengan tema
"Cinta Tanah Air Dan Bangsa"
"Assalaamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh," suara lantangku menggema di ruang lomba.
"Wa'alaikumussalaam wa rahmatullahi wabarakaatuh," jawaban yang tak kalah lantang dari setiap orang yang hadir di sana.
Ekspresi yang penuh keheranan terlihat jelas di wajah para hadirin, sejak permulaan pidatoku.Lebih lagi saat aku, masuk pada inti pidato. Selain tentang kemerdekaan, aku juga menggabungkan isi pidatoku dengan unsur religi. Aku juga berhasil menyelesaikan pidatoku tepat pada waktu yang sudah ditetapkan, itupun dengan cara pembawaanku yang santai dan suara yang lantang.
Berbanding terbalik dengan ketika aku naik ke mimbar, saat itu hanya ada kesunyian yang begitu mencekam. Kini, saat aku mengakhiri pidato, semua yang hadir termasuk para juri, berdiri sambil menyambut salam yang ku ucapkan. Bahkan suara tepuk tangan begitu riuh, memenuhi seisi ruangan melebihi saat sang idola tampil sebelumnya.
Saat yang paling mendebarkan bagi para peserta dan juga semua hadirin telah tiba. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya pengumuman untuk pemenang lombapun dimulai. Bak mimpi di siang bolong, di luar dugaan, aku berhasil mengalahkan semua peserta lomba, termasuk sang idola.
Aku, berhasil mendapat juara pertama, mengalahkan sang primadona di sekolah ini.
Menurut para juri, aku layak menjadi juara pidato tahun ini. Selain cara penyampaianku yang tenang, isi pidatoku
juga sarat dengan makna yang amat dalam. Caraku yang unik dalam menyampaikan pidato juga memberikan point tambahan bagiku.
Satupun tidak ada yang menduga, karena aku adalah siswa pendiam, kurang bergaul, sosok kutu buku, dan dianggap sebagai siswa yang cupu.
Anggapan mereka tidaklah salah, karena aku sangat jauh berbeda dengan siswa yang lain,. Baik dari caraku berpakaian, maupun dari gaya bicara, dan kebiasaanku.
Aku, merupakan satu-satunya siswi yang berhijab kala itu, akan tapi itulah hidup yang sebenarnya. Sebuah perubahan memang sangat diperlukan, karena sudah menjadi fitrah dunia, bahwa tidak selamanya yang di atas, akan terus berada di atas, generasi akan terus berganti, dan yang terlihat lemah belum tentu dia tidak berdaya.
Berita bahwa aku menjadi juara pidato di sekolah, didengar oleh kedua orang tuaku, dan tentunya itu membuat mereka merasa bangga, meski setelah banyak hal yang terjadi, putri mereka tetap tegar, terus mengukir prestasi, dan berusaha menciptakan identitas sendiri.
Keesokan harinya merupakan jadwal perlombaan puisi. Hari ini, aku, juga ikut berpartisipasi dalam perlombaan puisi. Para siswa yang kemarin menyaksikan
perlombaan pidato, akhirnya ikut memadati ruangan di mana acara lomba puisi diselenggarakan. Mereka merasa penasaran, apakah, Annisa yang sama, juga bisa mengungguli sang juara bertahan tahun lalu,
seperti saat perlombaan pidato kemarin.
Rasa penasaran merekapun terjawab, dan lagi-lagi, mereka dikejutkan dengan kemampuan yang kumiliki di balik penampilan cupuku. Sama seperti yang terjadi saat lomba pidato, hari ini saat perlombaan puisi, aku juga berhasil unggul, dan mengalahkan sang juara.
Atas segala pencapaianku ini, tentu saja kedua orang tuaku, adalah sosok yang paling berbahagia dan bangga. Selain mereka,ada orang tua angkatku, yaitu keluarga bapak Sani, yang juga mendengar semua kabar ini, beliau ikut merasa bangga.
Setelah aku tiba di kediaman Bapak Wahyu, ayah mertua beliau, yaitu Bapak Munir, yang merupakan seorang Muballigh, bertanya padaku
"Nisa, belajar pidato dan Puisi dari mana nak?"
"Saya belajar sendiri, Pak, dulu saat saya kelas 4 SD, Ayah pernah menjelaskan kepada saya, cara menulis puisi, serta bagaimana cara mengekspresikan perasaan kita, dalam sebuah karya. Kemudian saya terus mencoba mengembangkannya dengan berbekal penjelasan dari Ayah,"
Beliau berpesan agar, aku terus berupaya menggali, serta mengembangkan potensi yang kumiliki.
Aku sangat bersyukur, di tengah kesulitan yang ku hadapi, Allah mengidzinkanku tinggal di tengah keluarga yang amat hangat dan religius.
Aku, terus memotivasi diriku sendiri, untuk terus maju, karena kesuksesan, bukan milik mereka, yang menyerah, saat ditimpa kesulitan. Kesuksesan juga, bukan milik mereka, yang berbangga hati, dan membusungkan dada, saat merasa dia berjaya, tapi kesuksesan, adalah milik mereka, yang pantang menyerah dan tetap rendah hati.
Sebuah awal baru, yang mulanya teramat berat akan tetapi, dengan tekat yang kuat, aku mencoba mengalahkan lemahnya hati, karena aku percaya, saat Allah memberikan sebuah ujian, itu adalah tanda cinta-Nya kepada seorang hamba.
Awal perjalanan baru dalam kisah ini, mengajariku banyak hal, jika kita mencintai seseorang, bukan berarti, kita harus ada di sisinya setiap saat, akan tetapi, cinta yang sebenarnya adalah, ketika kita mencintai maka, kita harus siap berkorban, bahkan jika mesti harus terpisah jarak dan waktu.
Inilah cinta yang ku milik,i untuk kedua orang tua ku, kepergianku, adalah alasan betapa besar cinta, ini untuk mereka. Tak ada yang bisa melihat, tapi perasaan ini begitu kuat dan amat dalam, cinta yang tulus tanpa pamrih.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top