Part-1. SENYUMAN YANG SIRNA
Namaku Annisa, aku lahir sebagai anak tengah dari tujuh bersaudara, dengan empat saudara laki-laki dan dua perempuan.Kakak pertamaku bernama Indra, kedua Asfar, lalu ada Fir, baru diriku. Kemudian ada adik perempuan pertamaku bernama Adis, Ditha, dan adik bungsu lelaki bernama Yudha.
Aku memiliki sikap yang sangat berbeda dibanding saudaraku yang lainnya, aku seorang yang pendiam lagi pemalu, namun merupakan putri kesayangan Ayah. Teman-teman sering menyebutku sebagai gadis kuper alias kurang pergaulan, itu disebabkan karena aku tidak pernah pergi kemana pun tanpa dikawal oleh Ayah.
Aku adalah seorang gadis kutu buku, tidak seperti para remaja pada umumnya yang sangat suka pergi ke sana ke mari dan menghabiskan waktu untuk bersenda gurau. Aku justru memilih menghabiskan waktuku seorang diri.
Ku isi waktu luangku untuk membaca buku atau Kitab Al-Qur’an, Hadits dan berbagai kisah Tauladan. Apa lagi mengingat saat ini begitu banyak ketegangan dan kesulitan yang tengah menimpa keluargaku, yang mana waktu pendaftaran sekolah SMA tinggal tersisa satu
minggu lagi, begitu juga tanggal jatuh tempo yang diberikan oleh rentenir kepada Ayah.
Ayah harus membayar 13 gram emas yang dipinjam oleh kak indra. Hal ini merupakan guncangan yang sangat berat bagi kami, kak indra sendiri melarikan diri entah ke mana bersama istrinya dengan hutang yang dibebankan kepada ayah dan ibu. Sedangkan, tidak ada harta yang kami punya, selain sebidang kebun karet seluas 3 hektar yang saat ini menjadi satu-satunya sumber mata pencaharian keluarga kami.
Orang tuaku benar-benar merasa semakin tertekan, mereka merasa sangat terhimpit mengingat saat ini adalah tahun ajaran baru, di mana kedua adikku Ditha dan Yudha sudah waktunya masuk SD, aku sendiri harus masuk SMA, dan sesuai kesepakatan setelah kelulusan, aku akan melanjutkan ke Pondok Pesantren.
Kekhawatiran, kegelisahan, dan putus asa terlihat di wajah ayah dan ibu. Ibu merasa dirinya telah gagal, semua yang dilakukan kak indra telah sangat membuatnya kecewa. Aku sendiri tidak bisa berbuat banyak, kecuali berdoa agar Allah menangguhkan keimanan kami, agar kami semua tidak kehilangan kesabaran dan harapan.
Tidak ada lagi keceriaan di rumah kami sejak saat itu.
***
Ayah merasa begitu bangga dan juga bahagia, hingga tanpa disadari dia meneteskan air mata untuk prestasi yang telah ku capai. Sejak SD aku selalu menoreh prestasi yang cemerlang begitu juga hari ini, saat kelulusan SLTP.
Saat acara pelepasan siswa-siswi kelas tiga aku berdiri di atas podium mewakili seluruh siswa kelas tiga untuk memberikan sambutan, saat acara inti aku juga tampil membacakan Ayat Suci Al-Qur'an dan membawakan Puisi tentang ungkapan hati seorang siswa
kepada gurunya, serta pesan untuk seluruh adik kelasnya yang ku tulis sendiri.
Ketika pertengahan Puisi, seluruh dewan guru berdiri sambil terus menyeka air mata mereka karena sangat terharu dengan isi puisiku. Lalu, satu persatu para guru menghampiri dan memelukku.
Kini tibalah saat yang sangat dinantikan oleh seluruh siswa dan juga para wali murid, yaitu pengumuman hasil Ujian Akhir Nasional. Kepala Sekolah mengumumkan hasil ujian para siswa. Ayah merasa semakin bangga dan terharu karena putrinya kembali memperoleh nilai terbaik.
Setibanya di rumah ayah tidak ada hentinya bercerita pada ibu, akan apa yang telah dia saksikan di sekolah.
Ibu mendengarkan cerita ayah sambil tanpa berhenti mengusap matanya yang basah.
Kak Asfar juga Kak Fir ikut bangga padaku, mereka berkata
”Untung ya,Ni, kamu tidak seperti kami yang malas belajar dan suka kabur dari sekolah. Setidaknya ada yang bisa diandalkan di antara anak Ayah dan Ibu,"
"Nasi sudah menjadi bubur, apa yang sudah terjadi tidak bisa kita hindari. Ayah tidak pernah membeda-bedakan kalian semua. Ayah selalu berupaya semaksimal mungkin untuk memberikan kalian pendidikan yang layak, dengan harapan agar di masa depan kalian bisa menghadapi kejamnya dunia ini di atas kaki kalian sendiri. Namun, kalian sendiri yang memilih jalan kalian.
Kami selaku orang tua hanya berkewajiban mengarahkan kalian, tapi kami sama sekali tidak punya hak untuk memaksakan kehendak kami. Satu hal yang mesti kalian ingat! Jangan ada penyesalan di kemudian hari dan menyalahkan kami!" tegas Ayah pada kak Asfar dan kak Fir, juga adikku Adis.
“Iya Ayah kami mengerti,” jawab mereka.
Ba’da Isya’, seperti biasa aku duduk bersimpuh di atas sajadah dengan terus melantunkan Ayat-Ayat Al-Qur’an, lalu tiba-tiba Ayah memintaku untuk berhenti dulu dan
ikut duduk bersama yang lain. Aku pun mematuhi perintah ayah dan menutup Qur’an ku, lalu ikut bergabung bersama keluarga yang lain.
”Anni,” kata Ayah
Anni adalah panggilan sayang dari Ayah untuk ku.
”Iya Ayah,” jawabku .
”Kau, sudah lulus SLTP dengan nilai yang sangat baik, tadi kepala sekolah mengatakan kepada Ayah, sebaiknya kamu masuk SMA Negeri, karena sayang jika kamu masuk sekolah Swasta dengan nilai yang sangat baik saeperti itu.
Jika kamu masuk Sekolah Negeri kamu bisa dapat bea siswa seperti sebelumnya, tapi semua terserah padamu, Ayah tidak memaksa," jelas ayah
Sejenak aku berfikir, hingga kemudian aku menjawab,
”Ayah, sebenarnya aku ingin melanjutkan ke Pondok Pesantren, karena di sana aku bisa mendalami ilmu agama. Bukankah Ayah pernah bilang, bahwa doa anak sholih akan bisa menolong orang tuanya, dan aku ingin kelak do’aku akan menjadi sebab pertolongan Allah bagi Ayah dan ibu.
Bagaimana aku bisa mewujudkan impian itu, jika aku tidak memiliki pengetahuan agama yang cukup, Ayah? Selain itu, di Pondok juga diajarkan Ilmu Pengetahuan Umum, jadi selepas dari sana, aku tetap bisa
menjadi apa yang aku cita-citakan," bujukku
Awalnya, ayah tidak setuju, karena mengingat kondisi fisikku yang sangat lemah. Sementara itu di Pesantren kegiatannya sangat padat, jadi, ayah khawatir aku akan sakit dan fatal seperti saat kelas satu SLTP. Namun, aku terus berusaha meyakinkan ayah, hingga akhirnya ayah menyetujui dan mendukung keputusanku.
Malam semakin larut, kami semua memutuskan untuk segera tidur dan melanjutkan percakapan esok hari.
Saat kami terbuai dengan indahnya mimpi, tiba-tiba ada orang menggedor pintu rumah kami dengan sangat keras. Ku lihat jam di dinding, menunjukkan pukul 01:00 dini hari.
“Siapa bertamu di jam segini dan itupun dengan cara yang tidak sopan?” batinku.
Ayah dan ibu melarangku ikut membuka pintu, karena mereka khawatir yang datang adalah seorang penjahat, tapi aku tidak bisa membiarkan ayah dan ibu menghadapi bahaya sendirian, jika yang datang ternyata benar seorang penjahat.
Aku memutuskan untuk mengikuti ayah dan ibu dari belakang, sambil memegang sepotong kayu untuk berjaga-jaga dari kemungkinan buruk.
Ayah membuka pintu dengan perlahan dan hati-hati, saat pintu terbuka, terlihatlah seseorang yang kami kenal
yaitu seorang rentenir di Desa ini, yang terkenal tidak punya belas kasih, kepada sesama.
Sambil mngacungkan sebilah golok, kepada ayah, Kermok, si rentenir tak punya hati itu berkata
“Kak Yan, saya tidak mau tahu malam ini juga, Kakak harus membayar emas saya sebesar dua belas gram!"
Tentu saja Ayah terkejut, karena tidak pernah merasa berhutang dengannya.
”Kapan saya meminjam nya dari mu?” tanya ayah.
"Aku tidak pernah meminjam apa pun pada mu,”heran ayah.
Rentenir kejam itu, kembali membuka mulutnya yang penuh bisa.
“Bukan kamu, tapi Indra, bukankah Indra itu anak mu?” tandasnya
"Ya, Indra memang anakku, tapi saya tidak menyuruh dia berhutang padamu. Bahkan sejak tiga bulan ini, dia tidak pernah datang ke mari, jadi saya tidak ada sangkut pautnya dengan hutang yang kamu katakan," tegas ayah.
“Saya tidak mau tahu, anakmu, datang ke tempat saya tiga bulan yang lalu, meminjam emas enam gram. Dia mengatakan untuk biaya pernikahan adik iparnya!" ucap rentenir itu penuh penekanan.
Lalu aku memberanikan diri ikut bicara
“Kalau begitu, kenapa Paman tidak menagih pada dia, atau keluarga istrinya, apa hubungannya dengan Ayah saya?” geramku
"Apa Paman tidak dengar, apa yang Ayah saya katakan? Dia, sudah tiga bulan tidak pernah datang ke mari, dan dia berhutang untuk keluarga istrinya. Jadi mintalah pada keluarga istrinya!" ketusku.
Ayah menyuruhku diam dan tidak ikut bicara, karena itu urusan orang tua. Lalu, rentenir itu kembali berkata
”Aku sudah menemui Indra, dan keluarga istrinya, katanya emas itu kamu yang punya tanggung jawab untuk membayarnya. Kalau kamu, tidak bisa membayar malam ini, maka jumlah emas itu menjadi tiga belas gram!"
Kata lintah darat itu tanpa perasaan dan belas kasih.
Malam itu, dengan ditemani kak asfar, ayah berkeliling mencari pinjaman. Setelah berusaha ke sana ke mari semalaman, ayah tidak mendapat hasil apa pun.
Meski ayah mempunyai banyak teman, dan juga kerabat, dari pihak ibu di desa ini, tetap saja tidak satupun yang sudi membantu.
Benar yang dikatakan oleh, Ali Bin Abi Thalib Ra bahwasannya
“Jika kita ingin mengetahui dan melihat siapa teman sejati kita, maka lihatlah siapa yang ada saat kau dalam kesulitan."
Semua itu terbukti saat ini, tatkala kesulitan benar-benar menghimpit keluarga kami.
Aku dan ibu, terus menunggu kedatangan ayah, berharap ayah datang dengan membawa kabar baik, akan tetapi, ternyata hasilnya nihil.
Beberapa saat setelah ayah kembali ke rumah, rentenir itu kembali lagi ke rumah kami.
Tanpa sedikitpun rasa prikemanusiaan,rentenir itu, menetapkan jumlah yang ayah harus bayar, yaitu tiga belas gram emas, karena ayah belum bisa membayar pagi ini. Sedangkan hal yang paling parah adalah, dia hanya memberi waktu selama dua minggu, atau dia akan menyita satu-satunya kebun kami.
***
Baru saja aku melihat senyum kebahagiaan merekah di wajah kedua orang tuaku, namun seketika itu juga segala harapan mereka dihempaskan hingga hancur tak bersisa. Siapa yang salah, dan kenapa semua ini terjadi, hanya Allah yang tahu alasan dari semua itu.
Sepertiga malam menjadi satu-satunya jalan bagiku untuk mengadu dan bermunajat kepada Allah SWT. Dalam do’a aku meminta kepada Allah, agar aku bisa melihat senyum kebahagian, dari kedua orang tuaku, dan
menjaga mereka untuk tetap teguh, serta tidak kehilangan harapan.
Usai bermunajat kepada Allah, ku baca Ayat-Ayat suci Al-Qur’an, dan Kitab Hadits Shahih Buchari dan Muslim, pandanganku terpaku pada sebuah Hadits tentang arti tanggung jawab dan kepemimpinan. Jantungku berdetak begitu cepat, tanganku gemetar dan ada desiran yang tak biasa di hati ini.
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ. فَالإمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَهِي مَسْئُولَةٌ، وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ. أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ
“Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.Seorang kepala akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya.Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya.Seorang istri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tugas dan tanggugjawab dan tugasnya.Bahkan seorang pembantu yang bertugas memelihara barang milik majikannnya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya.Dan kamu sekalian pemimpin akan ditanya(diminta pertanggungjawaban)dari hal-hal yang dipimpinnya".(H.R. Buchari Muslim).
Tanpa sadar, air mata ku mengalir,aku membayangkan saat kelak Allah SWT memanggil kedua orang tua ku.
“Apakah kedua orang tuaku, memang telah gagal mengemban tanggung jawab mereka, sebagai orang tua?” tanya hati kecil ini.
Terbayang olehku, saat Allah, bertanya pada ayah dan ibu, tentang tanggung jawab mereka atas kami anak-anaknya.
“Benarkah ini salah kedua orang tuaku? Bukankah, ini jalan hidup yang sudah dipilih sendiri oleh kakakku?”
Berbagai macam pertanyaan datang silih berganti di dalam benakku. Hatiku tak mampu menahan beban ini,jika kelak aku harus menyaksikan, hukuman yang akan kedua orang tuaku terima, akibat perilaku anak-anaknya.
Aku berjanji pada diriku sendiri, suatu saat nanti, akan ku tebus setiap kesedihan, dan air mata ayah dan ibu. Meskipun aku tahu dengan baik, bahwa hal ini sangatlah mustahil, tapi aku tidak pernah kehilangan harapan.
Dalam do’a, aku terus meminta kepada Sang Maha Pemurah, agar suatu saat aku menjadi alasan bagi kedua orang tuaku untuk tersenyum, dan berani mengangkat wajah mereka dengan bangga.
Lalu aku pergi ke kamar ayah dan ibu, aku duduk di hadapan mereka yang sedang tertidur. Ku pandangi wajah keduanya. Pipi yang mulai keriput, dan mata yang terlihat begitu cekung, menandakan kesulitan hati mereka di usia mereka yang kian menua, dengan air mata yang terus berhamburan membasahi wajah. Perlahan, ku cium kening ayah dan ibu, hati ini begitu sakit, mengingat penderitaan yang mereka alami.
Apa kesalahan mereka, sebagai orang tua mereka telah melakukan segalanya demi kami. Mereka juga, tidak pernah merasa bosan untuk selalu mengingatkan, dan mengarahkan kami, pada jalan kebenaran. Lalu kenapa seperti ini balasan yang mereka terima dari anaknya? Aku merasa tak sanggup melihat duka mereka. Kucoba menyembunyikan kemarahan dan air mataku, agar tidak menambah kesulitan serta kesedihan meraka.
Saat ini, aku ingin menumpahkan segala rasa yang
berkecamuk di dalam hati ku. aku terus menangis sepuas hati, meskipun hanya air mata saja yang mengalir deras tanpa suara, ya aku terus menangis dalam diam. Setidaknya, aku bisa menuangkan emosiku yang selama ini terpendam. Hingga tanpa ku sadari waktu shalat subuh telah tiba.
Sayup-sayup telingaku menangkap suara adzan subuh yang dikumandangkan oleh Muadzin.
Kuhapus air mata yang sejak tadi membasahi wajah ini, agar ayah dan ibu tidak tahu, kalau aku habis menangis.
Ku atur nafas agar tidak tersengal-sengal, lalu aku membangunkan ayah dan ibu untuk melakukan shalat berjamaah.
”Apa ini sudah subuh nak?” tanya ibu
" Iya Bu, saat ini adzan sedang berkumandang," jawabku.
Setelah itu, aku shalat berjamaah bersama Ayah dan Ibu, sedangkan kakak dan adik-adik, seperti biasa mereka menolak untuk bangun dan shalat subuh.
Sehabis shalat berjamaah, aku langsung ke dapur memasak sarapan pagi, dan membuat kopi, akan tetapi tidak ada satupun yang mau makan sarapan yang telah ku siapkan. Semua, larut dalam pemikirannya masing-masing.
Ayah terlihat begitu khawatir, sedang ibu hanya bisa berurai air mata tanpa sepatah katapun yang terucap dari
bibirnya. Kak asfar sendiri terus saja melamun, tanpa menghiraukan apa pun yang terjadi di sekelilingnya.
Kak fir dan adikku adis, yang biasanya selalu membuat semua orang tertawa, dengan sikap konyol mereka, kini keduanya juga hanya membisu.
Mereka tidak mampu mengucapkan apa pun. Ditha dan si kecil yudha, juga tidak lagi pernah pergi ke luar rumah untuk bermain. Seolah mereka memahami, penderitaan dan kesulitan yang kini tengah dihadapi oleh keluarganya.
Aku meminta ibu untuk tidak selalu menyalahkan dirinya sendiri, dan menganggap dirinya gagal menjadi seorang ibu.
Apa pun yang terjadi, adalah jalan hidup yang dipilih sendiri oleh kak indra, jadi bagaimana bisa ini menjadi kesalahan ayah dan ibu. Sedangkan selama ini, mereka selalu berupaya menjadi orang tua yang terbaik.
Aku juga meminta ayah untuk tidak pernah kehilangan harapan, karena ayah adalah satu-satunya tempat kami bersandar. Jika ayah sendiri menjadi lemah, maka bagaimana dengan kami? Akan tetapi, semua ucapanku tidak bisa memberikan pengaruh apa pun, karena hati dan fikiran setiap orang saat ini bebar-benar hancur.
Keluarga yang selama ini rukun, damai, dan penuh keceriaan seolah telah terkubur. Semua keharmonisan, keceriaan, dan juga canda tawa, yang selalu mewarnai hari-hari keluarga kamipun tak ada lagi.
Senyuman yang selalu menghiasi wajah setiap anggota keluarga juga sirna. Entah sampai kapan, keadaan ini akan terus berlangsung. Hanya untaian do'a, yang terus kulambungkan dengan harapan, kemelut ini akan segera berakhir.
Aku yakin, selalu datang kebaikan setelah hadirnya kesulitan. Mungkin Yang Maha Kuasa ingin, agar kami selalu mengingat-Nya dan mengembalikan segalanya pada-Nya semata.
Mungkin saja, selama ini kami terlalu terbuai dengan silaunya dunia. Maka dengan demekian, Allah menimpakan musibah ini, agar kami sadar bahwa dunia bukanlah tujuan yang sebenarnya.
Segala yang ada di dunia ini, selalu saja akan pergi. Hal ini mampu membuatku sadar, bahwa yang kita cintai, justru bisa membuat kita sakit dan jatuh begitu dalam. Hanya Allah saja yang selalu mencintai hamba-Nya, tanpa syarat dan tanpa pamrih.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top