EPISODE KETUJUH: TEMAN DAN LAWAN
Di pagi yang cerah, burung-burung berkicauan, sinar matahari yang baru datang menyelimuti bumi, dan suara-suara orang-orang yang sedang sibuk. Susan, berjalan menuju sekolahnya, dengan hati yang riang berjalan dengan loncatan kecil, dan mengayunkan kedua tangannya. Dia tiba-tiba berhenti di persimpangan, karena melihat sesosok yang di depannya.
"Kamu?"
Filk, dia sedang duduk dengan menompang dagu, melihat langit lewat jendela yang bening. Pikirannya terisi dengan hembusan angin yang sejuk dari jendela yang terbuka sedikit.
"Oi!" Filk membuka matanya dan melihat sesosok yang membuat dia bangun. Ternyata itu adalah Dimas. "Kamu lagi mikir apa?"
"Tidak ada."
"Bohong, jangan-jangan kau memikirkan..."
"Tidak, aku hanya memikirkan pemandangan langit yang indah itu."
"Kau ini, tidak asik. Oh ya Filk, aku punya..."
"Bukankah kau takut dengan hantu?"
"Mengerikan, padahal aku belum selesai bicara, kau sudah tahu apa yang ingin kukatakan."
"Anggap saja aku punya kekuatan spiritual."
"Eh? Bukankah kamu tidak percaya dengan hal-hal seperti itu?"
"Memang. Aku kan bilang, "anggap saja"."
"Begitu. Oh ya, katanya kita dapat murid baru."
"Terus?"
"Aku hanya ingin memberitahu saja!" Dengan wajah kesal, dia duduk di bangkunya dan melipatkan kedua tangannya di dada.
"Iya iya, maaf, aku hanya bercanda. Jangan marah, dong." Filk memegang pundak temannya itu.
"Baik, aku akan memaafkanmu. Tapi, ada syaratnya?"
"Ya udah, lebih baik kamu enggak usah memaafkanku."
"Kamu ini ikhlas meminta maafnya, enggak?!"
"Iya iya, bercanda. Apa syaratnya?"
"Belikan aku jus apel."
"Baik, mana uangnya?" Dimas memberikan selembar uang ke Filk. Filk menerimanya dan pergi menuju kantin.
Dengan kedua tangan di saku, dia berjalan melewati lorong. Saat di persimpangan, dia hampir menabrak seorang siswa laki-laki berambut coklat pendek dengan poni sealis, berkulit putih kehitaman, seragam sekolah, tingginya sepantar dengan Filk. Filk hanya sedikit menundukkan badannya, lalu pergi melewatinya.
"Hei, kamu," panggil siswa itu.
"Iya?"
"Boleh aku tanya sesuatu?"
"Apa?"
"Ruang guru di mana?"
"Kau tinggal lurus saja ke sana, lihat ke kanan, nanti ada pintu bertulisan ruang guru."
"Terima kasih..."
"Filk, itu namaku."
"Terima kasih, Filk. Perkenalkan, namaku Adrian Nugraha."
"Hm," jawab Filk singkat. Lalu dia meninggalkan siswa itu.
Filk sudah sampai di kantin dan membeli jus pesanan temannya. Dia kembali ke kelas, tapi di tengah jalan dia bertemu dengan Susan.
"Filk, selamat pagi!" sapanya dengan semangat.
"Selamat pagi."
"Kita dapat pekerjaan lagi!"
"Padahal baru saja kemarin. Apa tidak ada istirahat?"
"Aku kan sudah..."
"Baik, aku akan membantu. Jam istirahat kita bertemu di taman sekolah."
"Baik! Aku akan ke kelas dulu, sampai jumpa!"
Setelah Susan memberikan lambaian tangan dan pergi. Filk melanjutkan perjalanannya menuju kelas, dengan gelas pelastik berisi jus di tangan.
Bel jam mulai pelajaran berbunyi, seluruh siswa masuk kelas. Guru masuk ke kelas, dan ada seorang siswa di belakang mengikutinya.
"Anak-anak, kita dapat teman baru. Silahkan perkenalkan dirimu."
"Namaku Adrian Nugraha, kalian boleh memanggilku Adrian atau Rian." Dia melirik ke arah Filk. "Pak guru, bolehkah aku duduk di samping Filk, di sana kosong?"
"Ternyata kau sudah mengenal dia? Boleh-boleh."
Adrian berjalan dengan wajah senang, menuju bangku yang ada di samping Filk.
"Ternyata kita sekelas."
"Iya," balas Filk, malas.
Bel istirahat berbunyi. Seperti biasa, seluruh siswa keluar kelas menuju kantin. Filk dan Susan sudah duduk di bangku taman, kebetulan di sana sepi, jadi mereka tidak perlu mempelankan pembicaraan mereka.
"Di museum?"
"Iya."
"Dan bayaranya tiga juta, dan aku mendapatkan satu juta setengah?"
"Iya."
"Aku punya firasat yang buruk, kalau bayarannya mahal begini?"
"Kita akan menenangkan penghuni museum yang selalu menyerang penjaga museum di malam hari."
"Ternyata firasatku benar. Memangnya kau tidak takut?"
"Sebetulnya aku sangat takut, tapi, demi memenuhi amanat dari orang tua, aku harus menghadapinya. Lagipula kita pernah mendapatkan yang lebih berbahaya."
"Memang sih, tapi kalau sampai kamu mati terbunuh?"
"Tidak akan, aku percaya kalau kau bisa melindungiku."
"Terserah. Oh ya, aku ingin menanyakan hal ini dari dulu. Dari mana asal uang yang diberikan dari kita?"
"Dari Tuan Jaka."
"Maksudku, dari mana Tuan Jaka mendapatkan uang?"
"Dia memiliki perusahan yang besar, aku tidak tahu perusahan apa itu."
"Seorang pengusaha, ya. Pantas saja dia bisa memberikan imbalan yang besar-besar. Kapan kita mulai?"
"Malam ini."
"Sungguh luar biasa."
Di tempat lain, tepatnya di atap sekolah. Ada seorang pria yang sedang berbicara dengan handphonenya.
"Di museum?" tanya pria itu.
"Iya, di sana pekerjaanmu selanjutnya."
"Apa yang harus aku lakukan?"
"Tentu saja membunuh hantu."
"Maksudku, siapa targetnya?"
"Rinciannya, setelah pulang sekolah."
"Baik, Bos." Telepon ditutup. "Semoga tidak merepotkan."
Malam hari tiba. Filk dan Susan sudah sampai di depan pintu masuk museum yang dimaksud. Museum ini sangat besar, mirip istana.
"Ini museum atau istana?" gumam Filk. "Jadi, kita masuk lewat mana?"
"Tentu saja lewat pintu masuk."
"Hah? Memangnya bisa?"
"Tentu saja bisa, memangnya fungsi pintu itu buat apa?"
"Tapi, ini sudah malam. Pasti sudah tu..." Kalimatnya berhenti, karena melihat pintunya berhasil dibuka dengan mudah oleh Susan.
"Sebetulnya museum ini buka dua puluh empat jam."
"Museum macam apa ini?"
"Ayo kita masuk." Mereka pun masuk.
"Apa tidak membayar dulu?"
"Tidak usah, museum ini masuknya gratis."
"Buka dua puluh empat jam, dan gratis? Sungguh aneh museum ini." Terlihat ada beberapa pajangan lukisan, dan benda-benda antik yang disimpan di balik kaca. "Memangnya bakal ada pengunjung malam hari?"
"Ada, tapi jarang."
"Memangnya tidak takut ada pencuri?"
"Sebetulnya pencurilah yang takut."
"Siapa sih pemilik museum ini? Buka dua puluh empat jam, gratis, dan ditakuti pencuri?"
"Milik Tuan Jaka."
"Tuan Jaka?!"
"Iya. Oh ya, sebetulnya gratis itu khusus untuk malam hari."
"Kurasa aku tahu apa alasan gratis di malam hari."
Sekarang mereka ada di tempat pajangan masa purba. Tulang dinosaurus, fosil-fosil, senjata-senjata batu, patung lilin orang purba, dan lain-lainnya. Susan berhenti, lalu bersembunyi di balik punggung Filk.
"Me-me-mereka tiba," ucapnya lemas.
"Mereka? Siapa?" Setelah itu, tiba-tiba patung-patung lilin orang purba bergerak. Mereka berjalan menuju mereka berdua. "Ternyata ini." Filk menarik lengan Susan dan membawa lari ke samping mereka, tepatnya di ruangan selanjutnya.
Mereka terus berlari, dengan patun lilin mengejar di belakang. Saat melewati pintu, Filk menutup pintu itu dan menutupnya dengan lemari besar yang kebetulan ada di ruangan itu. Setelah berhasil menutup pintu itu, mereka berdua berbalik dan melihat banyak sekali pajangan ala istana, perhiasan, patung lilin anggota kerajaan, senjata kerajaan, dan lain-lainnya.
"Ku-ku-kuharap mereka tidak hidup." Susan semakin takut setelah melihat banyak sekali patung-patung dengan baju besi dan senjata di tangan.
"Kurasa kau akan kecewa." Seperti sebelumnya, patung-patung itu hidup, tapi hanya patung berpakaian besi yang berjalan menghampiri mereka, dan bersiap untuk menyerang dengan senjata yang mereka pegang. "Untung saja tidak ada yang memegang panah." Filk menarik lengan Susan dan berlari menerobos prajurit-prajurit itu. Mereka berhasil menghindar dengan mudah, karena pergerakan mereka kaku.
Mereka berlari keluar ruangan itu, berlari di lorong. Sampailah mereka di sebuah ruangan lagi, dan tidak lupa Filk sudah menutup pintu dengan sofa. Dengan wajah cemas, mereka melihat ke sekeliling ruangan ini. Mereka lega karena tidak ada patung lilin.
"Akhirnya aku bisa istirahat juga." Filk duduk di sofa yang tersedia di ruangan ini.
"Menurutmu ini tempat pajangan tentang apa?" Susan ikut duduk.
"Mungkin tentang sofa dari zaman ke zaman." Filk menujuk ke sofa lain. Mulai dari sofa batu sampai sofa yang mewah, terpajang di sini. "Aku berpikir, sepertinya Tuan Jakan suka dengan sofa."
"Memang benar. Bahkan di rumahnya, di setiap ruangan selalu ada sofa."
"Orang yang aneh." Susan berdiri dan melihat-lihat sofa yang lain, sedangkan Filk hanya bersandar menghilangkan penat.
Susan mencoba-coba sofa-sofa itu, dengan mendudukinya. Lalu dia mencoba dengan sofa yang mewah dengan warna yang cerah. Saat duduk, tiba-tiba muncul lantai jebakan. "AAAAA!" teriak Susan. Sofa dan Susan jatuh ke bawah.
"Nail!?" Filk bangun dan melihat ke sekeliling. Dengan wajah cemas dia mencari Susan, di kolong sofa, celahnya, dan berbagai tempat di ruangan ini dia cari.
Terdengar suara langkah kaki, Filk menghentikan pencariannya dan melihat ke arah pintu yang tidak ditutupi. Filk berancang-ancang, dan waspada. Suara langkah itu semakin terdengar keras di balik pintu itu. Lalu terbukalah pintu itu.
"Filk?"
"Adrian?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top