EPISODE KETIGA: BAJAK LAUT
Matahari terbit menerangi kota, beberapa kendaraan berjalan melewati aspal yang panas oleh terik matahari. Di hari yang cerah ini, Filk sedang bersantai di ruang keluarga, tepatnya di sofa, dengan minuman dingin sebagai pendampingnya.
"Filk, makanan sudah siap," ucap seorang wanita berpakaian kaos merah muda, dengan rok putih panjang, rambut panjang hitam kecoklatan diikat menyamping, berkulit putih cerah, dan gelang putih di tangan kanannya. Dia menghampiri Filk.
"Iya, Kak." Filk bangun dan berjalan menuju meja makan.
"Filk," ucap wanita itu.
"Iya?"
"Hari ini kamu libur, kan? Bagaimana kalau kita jalan-jalan?"
"Memangnya Kakak punya uang?"
"Tidak. Tapi, kau punya, kan?"
"Iya, tapi aku tidak mau menghamburkan uangku dengan hal yang tidak berguna."
Kakaknya hanya mengembungkan pipinya, dan makan. Kicauan burung dan suara kendaraan menemani acara makan mereka.
Selesai makan, Kakak Filk masih mengembungkan pipinya, tanda kesal.
"Sudahlah, Kak. Jangan cemberut saja, nanti wajahmu gampang tua." Tapi Kakaknya masih saja mengembungkan pipinya, malah ditambah dengan wajah jeleknya. "Baiklah, nanti kita akan jalan-jalan."
"Nah, begitu dong. Kau memang adik yang baik!" Wajahnya berubah menjadi ceria kembali.
"Tapi, jangan banyak membeli barang yang tidak berguna, ya?"
"Baik! Aku sayang adikku." Dia berdiri, menghampiri adiknya itu, dan membentangkan kedua tangannya ke samping.
"Kakak, aku ini bukan anak kecil lagi. Jadi, jangan peluk aku." Kakaknya menghentikan niatnya itu, dan memasang wajah cemberut.
"Dasar, kamu tidak seru."
Suara bel pintu terdengar, Kakak Filk berjalan menuju pintu dan membukanya.
"Kamu siapa, ya?" tanya Kakak Filk kepada tamu itu.
"Perkenalkan, aku Susan Nail. Apakah Filk ada?"
"Oh, temannya Filk. Masuk-masuk." Kakak Filk mengantar Susan ke ruang keluarga. "Filk, ini temanmu." Filk berdiri dan menghampiri mereka.
"Oh, Nail. Ada apa?"
"Kita dapat pekerjaan. Oh ya, Filk, dia siapa?"
"Dia Kakakku, namanya Nida Hamid."
"Salam kenal," ucap Nida. Dia mengulurkan tangannya, dan Susan pun berjabat tangan dengannya.
"Nail?" Filk melambaikan tangannya di depan mata Susan, karena sedari tadi dia seperti melamunkan sesuatu.
"Wajah Kak Nida, sangat cantik." Susan pun tersadar dari lamunannya.
"Terima kasih."
"Apakah wajah Kakak memang secantik itu, sampai membuat dia melamun?" ucap Filk dalam hati.
"Oh ya, Filk. Ayo kita pergi!"
"Eh?! Tapi ini kan hari libur?"
"Pergilah, Filk. Walau ini hari libur, tapi sebagai orang yang menanggung beban keluarga, kau harus tetap mencari nafkah!" ucap Nida dengan semangat.
"Iya-iya. Ayo, Nail." Mereka pun pergi.
"Hati-hati, Filk!" Nida melambaikan tangannya di depan pintu.
"Kau punya Kakak yang baik, ya."
"Terima kasih. Jadi, apa pekerjaannya?"
"Kita akan pergi ke pantai."
Sambil berjalan, Susan menjelaskan perinci pekerjaan mereka. Melewati beberapa perumahan, gang-gang, dan menyebrangi jalan. Akhirnya mereka sampai di tujuan, pantai ini cukup ramai dengan pengunjung.
"Apakah hantu itu ada di tempat yang ramai?" tanya Filk.
"Bukan di sini, tapi di sana." Susan menunjuk bagian pantai yang cukup jauh, tempat itu terhalangi oleh batu-batu.
Setelah sampai di tempat tujuan, mereka menemukan seorang pria berkulit hitam. Pria ini berpenampilan seperti seorang suku pendalaman dengan celana daunnya.
"Jadi ini hantunya?"
"Iya."
"Tapi, mirip manusia dibanding dengan hantu."
"Itu karena rohnya tidak pernah masuk ke alamnya. Kalau hantu-hantu yang sebelumnya kita temui, mereka pernah masuk ke alamnya. Tapi karena masih ada penyesalan, mereka kembali lagi ke dunia. Dan yang satu ini, masih memiliki penyesalan walau sudah mati, jadi belum bisa ke alamnya."
"Begitu, tapi kenapa dia dari tadi melihat kita dengan wajah mengancam?"
"Sebetulnya dia merasa tersinggung dengan perkataanmu tadi."
"Eh? Benarkah? Tahu dari mana?"
"Sebelumnya aku sudah menyentuhnya, jadi apapun yang dia pikirkan, aku mengetahuinya."
"Maaf." Filk menundukkan badannya ke arah pria itu. "Tapi, tak kusangka. Kau berani menyentuh hantu? Biasanya aku harus menarik lenganmu untuk menyentuhnya?"
"Kalau hantu... Maksudku dengan pria ini, tentu saja tidak takut."
"Jadi, di mana transportasi kita?"
"Sebentar lagi muncul." Mereka, termasuk pria hitam itu, melihat ke arah laut. Tiba-tiba kabut datang, dan menyelimuti lautan. Dibalik kabut itu, muncullah kapal bajak laut, tepatnya hantu bajak laut.
"Di mana pria itu?" tanya Filk.
"Dia sudah sampai di pulau tujuan kita."
"Cepat sekali." Filk melihat kapal itu kembali. "Apakah hanya perasaanku saja, atau memang kapal itu menuju kemari?"
"Ka-Ka-Kapal i-itu memang akan kemari, dan pa-para bajak laut itu akan menangkap kita." Tanpa disadari, Susan sudah bersembunyi di balik punggung Filk.
"APAAA!?"
Kapal itu sudah ada di depan mereka, tiba-tiba di sekeliling mereka sudah ada terngkorak para kru bajak laut.
"Bawa mereka ke kapal!" teriak seorang berpakaian kapten bajak laut berwarna merah. Dia ada di atas dek pengemudi kapal, dan dia memiliki jasad.
Filk dan Susan diikat dengan tali gaib, dan dibawa ke atas kapal.
Mereka sudah ada di atas kapal, dan kapten bajak laut sudah ada di hadapan mereka. Sang kapten membawa mereka, menggantikan para kru itu. Sang kapten membuka pintu dengan kunci yang dia bawa, dan memasuki bagian dalam kapal. Sampailah mereka di tempat yang sangat kecil, dan banyak dengan kumpulan tong-tong kayu kosong. Sang kapten melempar mereka ke dalamnya, dan menutup pintu.
"Apakah ini transportasi menuju pulau yang kita tuju?"
"Iya, tapi sebetulnya kapal ini juga pekerjaan kita."
"Jadi, kita punya dua pekerjaan. Pertama, menenangkan penghuni pulau hantu, dan kedua, para penghuni kapal ini?"
"Begitulah."
"Pantas saja kita akan dibayar lima juta. Tapi, apakah kita akan benar-benar diantar ke pulau itu?"
"Sebetulnya, kita diculik, bukan diantarkan ke pulau itu..."
"Kenapa tidak bilang dari tadi?!"
"Sebetulnya, aku mau bilang. Tapi, takut membuatmu berubah pikiran."
"Aku tidak akan berubah pikiran, karena kalau aku tidak menyelesaikan pekerjaan ini, Kakakku akan memarahiku dengan ceramahan yang panjang. Tapi, kenapa harus naik kapal ini. Apakah Tuan Jaka tidak memberikan kita kendaraan?"
"Sebetulnya, ide menaiki kapal ini adalah ide Tuan Jaka." Filk tidak membalas perkataan Susan, dan hanya diam menutup matanya. "Filk, apakah kau marah?"
"Ssstt! Aku sedang berusaha melepaskan ikatan ini."
"Tapi, ini ikatan ga..." Belum selesai bicara, Filk sudah berhasil melepaskan ikatannya dan berdiri.
"Aku akan melepaskan ikatanmu." Filk menghampiri Susan yang sedang tergeletak. Lalu, Filk pun berhasil melepaskan ikatannya.
"Tapi, kita diikat oleh tali gaib? Kenapa bisa dilepas dengan tangan kosong?"
"Sebetulnya aku melepaskan ikatan ini dengan pisau kecil ini." Filk menyodorkan sebuah pisau gaib. "Aku tidak tahu dapat dari mana, tiba-tiba sudah ada di tanganku."
"Ini milik pria hitam itu."
"Ternyata dia tidak meninggalkan kita begitu saja, sebaiknya aku membalas budinya dengan segera. Lalu, selanjutnya apa?"
"Entahlah, apakah kau punya ide?"
"Ternyata dia tidak punya ide apapun. Pantas saja dia membutuhkanku. Kita ke kemudi kapal ini."
Filk mencoba membuka pintu, ternyata tidak terkunci. Dengan jalan perlahan, mereka menuju ke luar. Mereka melewati ruangan yang dipenuhi oleh kru kapal dan sang kapten. Mereka semua sedang tertidur pulas.
"Aku punya ide." Filk memasuki ruangan itu, tentu dengan langkah menjinjit. Filk mendekati sang kapten yang sedang tidur di lantai, dia memasukan tangannya ke dalam jubah sang kapten. Dia berhasil mengambil sebuah kunci.
"Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Susan dari kejauhan, dengan suara pelan.
Filk membalasnya dengan menunjukkan kunci yang dia pegang. Filk berjalan keluar, tapi dia berhenti di dekat salah satu kru kapal yang sedang tidur. Dia melihat ada pedang tergeletak, jadi Filk mengambilnya.
"Kita akan membutuhkannya," ucap Filk kepada Susan. Mereka melanjutkan perjalanan menuju keluar kapal.
Sesampainya di luar, Filk mengunci pintu.
"Dengan ini, kita aman. Susan, kau tahu di mana letak pulau itu?"
"Tahu."
"Bagus, kalau begitu kau yang mengemudi."
Mereka berjalan menuju dek atas, tempat mengemudi kapal. Tapi, jalan mereka dihalangi oleh tiga tengkorak kru kapal yang muncul dari atas.
"Biar aku saja yang menghadapi mereka." Filk menodongkan pedangnya.
Susan mengerti maksudnya, jadi dia berlari ke dek atas. Ketiga kru itu hendak menghentikannya, tapi Filk tidak membiarkannya, dia melemparkan pisau kecil ke arah salah satu dari mereka.
"Maaf, ya. Kalian harus menghadapiku dulu."
Ketiga kru itu tampak marah, mereka melepaskan pedang mereka dari sarungnya. Salah satunya menyerang, tapi berhasil ditahan oleh Filk. Satu lagi menyerang dari samping, Filk melompat ke belakang. Filk membalas serangan dengan mengayunkan pedangnya ke arah mereka, berhasil mengenai badan mereka.
Susan sudah sampai di tempat kemudinya, dia melihat setir kayu besar. Tanpa pikir panjang, Susan mengemudikan kapal ini, dengan memutar setir itu. Kapal bergerak ke arah kanan. Kebetulan angin di sini cukup besar. Tapi, perjalanan kapal ini tidak semudah itu, karena di depan ada beberapa batu-batu.
"Awas!!" Susan memutar setir itu ke arah kanan dengan kekuatan penuh.
Filk dan ketiga kru itu terdorong sesuai arah kapal berjalan. Filk hampir saja kehilangan keseimbangannya. Tiba-tiba, ada yang menyerang, berhasil ditahan, dibalas dengan tendangan ke badan. Kru yang menyerang terdorong ke belakang, kru itu membalas dengan serang menyamping. Filk menunduk, dan mundur beberapa langkah.
"Awas!!" Susan membanting setir ke arah kiri.
Filk dan ketiga kru itu terdorong lagi. Filk terdorong cukup keras dan hampir saja jatuh, kalau tidak ada pagar kayu pembatas. Dari samping, ada yang menyerang, berhasil dihindari. Di belakang ada yang menyerang, Filk berbalik dan menahan serangannya. Dari kedua arah, mereka menyerang Filk yang sedang menahan pedang salah satu kru kapal.
"Awas!!" Susan membanting lagi ke arah kanan.
Kru yang sedang ditahan oleh Filk terdorong ke belakang, dan Filk terdorong ke depan. Jadi, serang dari kedua arah tidak mengenainya.
"Ah!! Kelewat!!" Susan membanting lagi ke arah kiri.
Keseimbangan mereka benar-benar hilang, dan itu membuat mereka jatuh.
"Kita hampir sampai!" teriak Susan.
Suara teriakan Susan tidak kalah keras dengan suara benturan pintu yang terkunci. Ternyata sang kapten dan beberapa kru yang di dalam sedang berusaha mendobrak pintu. Filk berdiri dengan lemas, dan ketiga kru itu tidak berdiri lagi.
"Kita sudah sampai!" Bagian bawah kapal menabrak pasir di pulau ini.
Dengan cepat, Filk berlari ke atas dek, tempat Susan berada. Dia menarik lengan Susan dan membawa lari ke bawah. Pintu berhasil didobrak, kapten dan kru lainnya melihat Filk dan Susan meloncat dari kapal.
Mereka berhasil mendarat ke pasir. Mereka tidak mempedulikan rasa sakit di kaki dan terus berlari ke dalam pulau. Tidak mau melepaskan mereka, kapten dan semua kru mengejar mereka dengan penuh amarah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top