EPISODE KEDUA: ORE
"Partnermu?"
"I...ya, tentu dengan bayaran."
"Bayaran?"
"Iya, satu hantu paling kecil dua ratus ribu."
"Tunggu dulu, aku tidak mengerti. Bisa kau jelaskan dari awal?"
Susan menjelaskan apa maksudnya, kepada Filk. Dia mengatakan bahwa tugas dia adalah memulangkan hantu-hantu kembali ke alamnya, dan setiap tugasnya selesai, dia akan diberi uang. Dia juga menjelaskan kenapa dia meminta Filk menjadi partnernya.
"Baiklah, lagipula aku membutuhkan uang untuk biaya hidupku."
"Kalau begitu, kita sepakat." Dia mengulurkan tangannya, Filk pun menjabat tangannya.
Keesokan paginya, di kelas Filk, guru fisika sedang menerangkan rumus mencari kuat arus listrik. Filk memperhatikan dengan serius, sedangkan Dimas mengantuk, mata dan pikirannya berbeda pendapat. Sang guru melihat Dimas seperti itu, jadi dia menunjuk Dimas untuk ke depan dan menjelaskan rumus yang barusan beliau terangkan.
Di kelas lain, Susan sedang pemanasan, dia yang paling semangat dibanding dengan teman-teman sekelasnya. Setelah selesai pemanasan, guru olahraga menjelaskan tentang cara menendang bola sepak dengan benar.
Pelajaran kedua pun telah selesai, dan berlanjut ke jam istirahat.
"Bagaimana hukumannya?" ejek Filk kepada Dimas.
"Hahh... capek tahu, berdiri dengan satu kaki dan memegang telinga." Dimas duduk ke bangkunya. Setelah duduk, Dimas membuka tasnya dan mengeluarkan kotak makanannya.
"Tumben bawa bekal?"
"Iya, kata Ibuku, ini untuk penghematan."
"Begitu, ya." Filk berdiri. "Aku mau ke kantin, mau ikut?"
"Enggak, masih capek. Boleh nitip, enggak?"
"Beli aja sendiri." Lalu Filk meninggalkan Dimas.
Dengan kedua tangan di dalam saku, Filk berjalan menuju kantin. Saat sampai di kantin, ada seseorang yang memanggil namanya. Ternyata itu Susan, dia berlari ke arah Filk.
"Ada apa?"
"Ikut aku sebentar." Susan menarik tangan Filk, dan berlari menuju gudang sekolah, letaknya berada di belakang sekolah. "Kita mendapatkan pekerjaan."
"Sudah dapat pekerjaan lagi?"
"Iya, sebetulnya ini bisa saja setiap hari, mungkin setiap jam. Tergantung Tuan Jaka."
"Tuan Jaka? Siapa dia?"
"Pemimpin clan kami, dia yang memberikan pekerjaan kepada kami."
"Hm... Lalu, apa pekerjaannya?"
"Kita harus menenangkan penghuni gudang ini." Dia menunjuk gudang sekolah yang ada di depan mereka.
"Kelihatannya kau sangat bersemangat."
"Tentu saja, ini adalah pertama kalinya aku secara resmi mendapatkan pekerjaan!"
"Baguslah kalau begitu, jadi berapa biayanya?"
"Lima ratus ribu."
"Lima ratus ribu!?"
"Iya, tentu saja kalau berhasil, kau hanya mendapatkan dua ratus lima puluh ribu."
"Iya, aku tahu. Jadi, kapan kita akan memulai pekerjaannya? Malam ini?"
"Iya."
Setelah itu Susan menjelaskan perinci tugasnya, dengan nada semangat dia menjelaskannya. Tak terasa bel sudah berbunyi kembali, tanda jam istirahat sudah selesai. Susan pun meninggalkan Filk.
"Sampai jumpa, jangan sampai telat, ya." Dia pergi dengan melambaikan tangannya.
"Hah... sepertinya, setelah pulang aku harus banyak makan." Filk pun berjalan menuju kelasnya dengan mengusap perut yang lapar.
Di tempat lain, tepatnya di toko dekat sekolah, ada dua orang pria sedang duduk meminum soda kaleng.
"Jadi target kita di sekolah itu, di gudangnya?" tanya salah satu pria itu. Pria ini berpakaian jas hitam dengan dalamnya berwarna putih, celana hitam, berambut pendek hitam, dan koper hitam di dekatnya.
"Iya, kita harus memusnahkan "dia"," jawab yang satu lagi. Dia berpakaian sama persis seperti dengan pria itu, hanya saja wajahnya lebih muda dibanding pria itu, dan kopernya berwarna putih.
"Begitu, ya. Jadi, kapan kita akan melaksanakannya?"
"Malam ini."
Malam hari pun tiba. Filk dan Susan sudah berhasil memasuki halaman sekolah, dan pergi menuju gudang sekolah. Tapi mereka bersembunyi di balik tembok sekolah, karena ternyata di dekat gudang sudah ada dua pria berjas berdiri melihat gudang.
"Kenapa ada dua orang berjas di sini? Apakah mereka Ure?" tanya Filk kepada Susan sambil membenarkan tas yang dia gendong.
"Bukan, mereka adalah Ore."
"Ore?"
"Iya, pemburu hantu. Kau lihat koper yang mereka pegang, di dalamnya ada senjata untuk memusnahkan hantu."
"Ternyata hantu bisa dimusnahkan. Jadi, bagaimana?"
"Entahlah. Apakah kau punya ide?"
"Hmm... Bagaimana kalau begini." Filk mendekatkan mulutnya ke telinga Susan, dia memberitahukan rencananya. "Bagaimana?"
"Tidak ada ide lain. Ayo kita lakukan!" Mereka berdua meninggalkan gudang sekolah itu.
Dua pria berjas itu berhasil membuka pintu gudang itu.
"Ayo!" Di dalam sangat gelap, dipenuhi dengan debu dan sarang laba-laba, dan ukurannya cukup besar. Mereka menyalakan senter mereka, membuka koper. Ternyata di dalam koper itu berisi pistol kecil, tapi bentuknya aneh, dengan ujung laras yang tidak memiliki lubang.
Mereka mencari di setiap pelosok gudang ini, mencari hantu itu berada. Akhirnya mereka menemukannya, tepatnya di sudut ruangan. Hantu itu sedang berdiri menatapi mereka berdua. Tanpa basa-basi, mereka berdua menodongkan pistol itu.
"Ha-ha-ha." Suara itu terdengar dari belakang mereka, ternyata itu adalah penjaga sekolah.
Karena kaget, mereka berdua mengalihkan perhatiannya ke arah suara itu. Hantu itu memanfaatkan keadaan itu, dia pun pergi menembus tembok menuju ke luar.
"Kejar dia!" perintah pria berjas hitam. Mereka berlari menuju pintu keluar, melewati penjaga sekolah yang sedang duduk dengan lututnya, ketakutan.
Hantu itu terbang ke langit, dan melihat ada sesosok yang tidak asing lagi di bawah, tepatnya di atap sekolah. Hantu itu menghampiri sesosok itu, dan ternyata itu adalah Filk dan Susan.
"Sesuai dengan perkiraanku, pasti dia akan datang kepada kita." Filk menurunkan tas yang dia gendong, membukannya. "Barangnya sudah kami temukan." Filk mengeluarkan sebuah bingkai. Bingkai itu cukup besar, berwarna emas, dan ada foto seorang pria bergaya bangsawan belanda. Yang tidak lain adalah hantu itu.
Setelah menerima pemberian dari Filk, butiran-butiran cahaya berterbangan di sekitar tubuh hantu itu. Tak lama kemudian hantu itu hilang.
"Dengan ini tugas kita sudah selesai," ucap Filk melihat Susan yang sedari tadi mengintip di balik pintu atap sekolah.
"Iya." Susan keluar dengan langkah ragu-ragu. "Nanti aku kirim upahmu. Ditambah dengan upah kemarin, menjadi tiga ratus lima puluh ribu."
"Aku sekarang mengerti, kenapa upahnya lima ratus ribu." Filk berjalan menuju pagar pembatas, dan melihat ke bawah, tepatnya melihat dua sosok pria berjas itu. "Karena mereka dan tugas mengambil barangnya, kan?"
"Mungkin."
"Kuharap Pak Dani tidak menyadari ada barangnya yang hilang."
***
"Jadi kita harus mengambil foto hantu itu?" tanya Filk membenarkan tas yang digendong. Mereka sedang di depan rumah Pak Dani.
"Iya."
"Kau tahu di mana letaknya?"
"Di gudang, di dalam rumahnya."
"Baguslah kalau di gudang. Baiklah, jadi rencanannya, kau masuk ke dalam rumah Pak Dani, Setelah masuk dan dipersilahkan masuk, kau pura-pura ke belakang. Lalu kau mampir ke ruangan yang ada di samping kanan itu, buka jendelanya dan kembali lagi ke ruang tamu. Aku akan masuk lewat jendela yang kau buka, dan mengambilnya. Mengerti?"
"Baik, tapi kalau nanti aku ditanya kenapa datang kemari? Aku harus jawab apa?"
"Bilang saja kalau kau ada kesulitan dengan pelajaran sejarah."
"Baiklah, tapi aku ti..." Filk menyerahkan buku paket sejarah. Susan mengambilnya. "Baiklah, aku akan berusaha."
Mereka berdua pun masuk, kebetulan pagar itu tidak digembok. Seperti rencana, Susan menghampiri pintu depan, sedangkan Filk berjalan ke samping rumah. Bel ditekan, dan tak lama kemudian pintu dibuka.
"Oh... ternyata Susan, ada apa?"
"Maaf mengganggu, Pak. Bolehkah saya masuk?"
"Silahkan-silahkan." Mereka pun masuk dan duduk di kursi.
"Begini Pak, aku ada kesulitan dengan pelajaran sejarah yang kemarin. Maukah Bapak menjelaskannya lagi?"
"Boleh. Bagian mana dulu yang mau dijelaskan?"
"Maaf Pak, tapi bolehkan aku ke kamar kecil dulu?"
"Boleh-boleh, biar aku antar." Pak Dani mengantarkan Susan ke kamar kecil. Sampailah mereka di tempat tujuan, kebetulan letaknya cukup dekat dengan ruangan yang dimaksud oleh Filk.
"Maaf Pak, sebaiknya Bapak kembali ke ruangan depan, aku bisa sendiri." Pak Dani pun pergi. Setelah pergi, Susan tidak masuk ke kamar kecil, melainkan ke ruangan yang dimaksud oleh Filk. Ternyata itu adalah ruangan keluarga, ada TV, sofa, rak buku, dan lain-lainnya. Tanpa berlama-lama, Susan membuka jendela yang cukup besar.
Filk yang sedang bersembunyi di balik pohon yang ada di sana, keluar dan memasuki rumah. Setelah masuk, Susan memberi tahu Filk di mana letak dapur. Setelah selesai, Susan meninggalkan Filk. Dengan langkah hati-hati, Filk berjalan menuju dapur yang letaknya di samping tangga.
'TRENGGG TRENGGG' suara dering telepon rumah. Telepon rumah kebetulan letaknya berada di ruang keluarga. Dengan cepat Filk melangkah menuju dapur. Di dapur, Filk melihat ada pintu. Dia memasukinya, dan ternyata itu adalah gudang.
"Jadi, di mana bingkai itu?" Filk mencari-cari di segala pelosok ruangan ini. Tidak mudah untuk menemukannya, karena di sini banyak sekali barang-barang besar yang menumpuk. "Uhuk uhuk! Banyak sekali debu!" kesalnya dengan nada kecil. Filk mengangkat kardus, memindahkan kaleng-kaleng, dan memindahkan barang-barang bekas lainnya. Setelah banyak mengeluarkan keringat dan banyak memindahkan barang-barang, akhirnya dia menemukan bingkai itu.
Lalu Filk memasukannya ke dalam tas yang dia gendong. Filk keluar dari gudang itu, tentu dengan pelan-pelan. Dia mengintip untuk melihat situasi dulu, aman. Dia melangkah dengan perlahan menuju ruang keluarga.
"Hacihh!"
"Apa itu?" tanya Pak Dani, melihat ke sekitarnya.
"Itu aku, maaf, Pak."
"Tapi suaranya seperti laki-laki."
"Suara bersinku memang mirip laki-laki."
Filk menutup hidungnya, dan melanjutkan perjalanannya. Saat sampai di pintu ruang keluarga. 'DUKK' tas itu membentur bagian sisi pintunya.
"Suara apa itu?"
"Suara apa? Memangnya ada suara aneh?"
"Tadi ada suara seperti benda terbentur, aku akan memeriksanya."
"Oh itu. Itu tadi suara otakku yang terbentur."
"Otak terbentur?"
"Iya, kalau aku terlalu banyak berpikir, biasanya suka ada suara benturan di kepala. Ternyata Bapak bisa mendengarnya."
"Mana mungkin ada yang seperti itu. Aku akan memeriksanya." Pak Dani berjalan menuju ruang keluarga, dan tidak menemukan sesuatu yang aneh, atau benda jatuh. "Mungkin memang benar, itu suara benturan otak Susan." Pak Dani pun kembali lagi.
***
Dua pria itu pun keluar dari daerah sekolah.
"Sepertinya sudah pergi. Ayo kita juga."
"Iya. Untung saja sore tadi kita ke gudang itu."
"Apa kataku juga, lebih cepat, lebih baik." Awalnya mereka akan ke gudang itu malam hari, tapi karena Filk sangat bersemangat. Jadi mereka memutuskan untuk ke gudang sore hari.
"Tapi bagaimana dengan Pak Budi?"
"Oh iya, sepertinya kita harus membalas budinya, dengan membelikan barang atau makanan kesukaannya. Tapi tadi aku lihat, dia tidak keluar dari gudang itu. Apakah dia pingsan?"
"Mungkin saja."
"Aku merasa bersalah kepada Pak Budi, tapi mau bagaimana lagi. Sebaiknya kita ke gudang dulu."
Sesampainya di gudang, mereka menemukan seorang pria dengan baju satpam sedang tergeletak tak sadarkan diri.
"Ternyata benar-benar pingsan. Nail, bantu aku." Mereka berdua mengangkat tubuh Pak Budi, membawanya ke tempat posnya.
"Sepertinya kita kehilangan target kita," ucap pria berjas putih ke pria jas hitam.
"Sialan! Ke mana perginya..." Suara dering telepon berbunyi di dalam saku kiri jas hitamnya. "Hallo?"
"Sepertinya kalian gagal," jawab sang penelopon.
"Ga-Gagal?"
"Iya, para Ure itu sudah mendahului kalian."
"Apa!?" Pria berjas hitam itu mengepalkan tangannya, tanda kekesalan. "Ma-Maafkan kami, Bos."
"Sudah tidak apa, lagipula Ure yang mereka kirim adalah Ure andalan mereka. Sedangkan aku, malah mengirimkan anggota yang payah... SEPERTI KALIAN!" Setelah mengatakan itu, sang penelopon menutupnya. Pria berjas hitam itu hanya bisa mengeraskan kepalannya, bukan kesal dengan kekalahannya, tapi dianggap payah oleh Bosnya.
"Ayo kita kembali ke markas," ucap pria berjas hitam.
"Heh? Bukankah kita harus mencari hantu itu?"
"Sudah terlambat, kita sudah didahului oleh para Ure itu."
Keesokan harinya, Susan pergi ke rumah Filk, untuk memberikan upah dia. Setelah itu, mereka pergi ke sekolah bersama.
"Bagaimana kabar Pak Budi, ya?" tanya Susan.
"Kurasa mungkin dia tidak akan datang ke sekolah."
Sampailah mereka di sekolah, dan ternyata mereka bertemu dengan sesosok yang tidak disangka di depan gerbang. Dia adalah Pak Budi.
"Selamat pagi, Pak Budi," sapa Susan.
"Selamat pagi, Susan, Filk. Tumben kalian bareng?" balas dia dengan ramah dan ceria.
"Kebetulan ketemu di jalan, jadi jalan bareng, deh."
"Begitu, ya."
"Baiklah, kami masuk dulu." Susan melambaikan tangannya ke Pak Budi, dan mereka pun masuk ke gedung sekolah.
"Sepertinya kita tidak per..."
"Tidak bisa! Kita harus memberikan dia hadiah. Kau sudah berjanji, kan?"
"Baiklah, terserah." Mereka pun sampai di kelas.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top