EPISODE KEDELAPAN: KERJA SAMA
"Apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanya Filk.
"Kau sendiri sedang apa?"
"Bekerja. Kalau kau?"
"Sama."
"Jadi... Apa pekerjaanmu?"
"Pe-penjaga museum."
"Bohong, penjaga museum tidak mungkin pakai jas. Kau pasti dari clan Ore?"
"Ke-ke-kenapa kau bisa tahu?"
"Tujuan kita sama, tapi beda cara."
"Ja-jangan-jangan, kau dari clan Ure."
"Salah, aku hanya partner. Temanku lah yang dari clan Ure."
"Teman? Di mana dia?"
"Itu dia masalahnya, dia tiba-tiba menghilang. Padahal dia takut sendirian di tempat seperti ini."
Suara dobrakan pintu yang terhalang sofa, terdengar.
"Baiklah, sebaiknya kita cari tempat yang lebih aman. Ngomong-ngomong, kau masuk dari mana?"
"Dari pintu masuk."
"Ternyata benar-benar untuk umum."
"Tapi kenapa hantu harus mendobrak pintu? Bukankah mereka bisa menembus pintu?"
"Mereka bukan hantu, tapi patung lilin yang hidup." Suara dobrakan pintu semakin keras. "Sebaiknya kita pergi." Mereka berlari keluar, lewat pintu yang sebelumnya Adrian gunakan.
Mereka berlari di lorong, melewati beberapa pajangan yang ada. Di depan mereka ada rolling door yang terbuka. Tanpa pikir panjang, mereka memasukinya dan menutup rolling door itu.
"Kau bawa senter?" tanya Filk, karena di sini cukup gelap.
"Bawa." Adrian menyalakan senter. "Kita ada di mana?" Adrian mengarahkan senter ke langit ruangan.
"Kuharap mereka semua tidak hidup. Tapi, seingatku saat aku berharap di situasi seperti ini, pasti tidak dikabulkan."
"Apa maksudmu?"
Filk menunjuk ke arah samping depan mereka. Adrian berusaha mengamati apa yang ditunjuk oleh Filk, karena tidak jelas, dia menyinari tempat yang ditunjuk Filk. Ternyata yang ditunjuk adalah jajaran patung zombie. Dengan cepat Adrian mematikan senternya.
"Apa yang kau lakukan?!"
"Memakan batu! Tentu saja mematikan senter!"
"Maksudku, untuk apa?"
"Supaya keberadaan kita tidak diketahui."
"Kau ini bodoh atau apa. Mau gelap atau terang, mereka pasti mengetahui lokasi kita."
"Baiklah, akan aku nyalakan." Adrian menyalakan senter kembali. Tapi, tiba-tiba lampu di sini menyala. Hal yang paling mengejutkan adalah, para zombie itu sudah ada di sekeliling mereka.
"Lihat, akibat dari perbuatanmu."
"Berisik, ini juga salahmu!"
"Kenapa aku yang disalahkan!?"
"Tentu saja, karena kau tidak memberi..."
"Kau langsung saja mematikannya!"
Mereka terus berdebat tanpat mempedulikan apa yang ada di sekitar mereka. Zombie-zombie itu hanya bisa melihat mereka dengan bingung.
Sementara itu, di ruangan misteri. Susan sedang bersandar di sofa, atau tepatnya ketakutan.
"A-a-a-a-a-aku di-di-di-di mana?" Dengan tangan yang menutup kedua telinga, mata ditutup, keringat mengalir, dan gemetaran. Dia terus mengulangi kalimat tanya itu.
Suara langkah berat terdengar semakin mendekati Susan. Semakin keras suaranya, semakin ketakutan Susan dibuatnya. Akhirnya suara itu menghilang, tapi Susan tidak lega, karena tak lama kemudian, terdengar suara seorang pria.
"Ternyata seorang gadis." Dengan gemetar, Susan melihat sosok suara itu. Ternyata itu adalah sebuah patung lilin seorang raja dengan mahkotanya, berpakaian mewah, kumis lebat, dan perutnya yang buncit. Setelah melihat sesosok itu beberapa saat, Susan pingsan. "Sepertinya aku membuat dia sangat ketakutan, tapi itu memang tugasku. Hahahah!"
"Untung saja mereka kaku," ucap Filk.
"Iya, tak kusangka kau jago bela diri. Kau pasti seorang juara?"
"Tidak, aku mempelajari bela diri hanya untuku, bukan untuk memenangkan piala kosong."
"Pasti kau sering berlatih."
"Tidak, aku hanya mempelajari dari sebuah game."
Banyak sekali patung-patung lilin berbentuk zombie yang terkapar tak bergerak di lantai. Dan semua itu ulah Filk.
"Kalau kau bisa mengatasi patung-patung ini, kenapa kau tadi kabur?"
"Aku hanya tidak ingin membuang tenaga. Kita akhiri dulu saja pembicaraan ini, aku mau mencari temanku." Filk berjalan ke arah pintu selanjutnya.
"Tunggu." Adrian mengejar Filk.
Dengan ditemani cahaya senter, mereka menelusuri lorong yang cukup gelap. Mereka berjalan dan menemukan sebuah pintu aneh bertuliskan 'jangan dimasuki'. Mereka memutuskan untuk memasukinya. Ada sebuah tangga.
"Kita turun ke sana?" tanya Adrian.
"Hm." Filk mengangguk.
Mereka menuruni tangga itu, jarak antara anak tangga cukup jauh, jadi mereka harus extra hati-hati melangkah. Sampailah mereka di ujung bawah tangga. Tempat ini mirip dengan lorong bawah tanah dengan lilin-lilin yang menempel di samping dinding lorong. Adrian mematikan senternya, dan mereka melanjutkan perjalanan. Setelah cukup lama berjalan, mereka sampai di depan sebuah pintu besi sedikit berkarat.
Filk membuka pintu itu. Saat masuk, mereka disambut oleh sinar cahaya dari langit.
"Selamat datang di turnamen patung lilin!" Suara itu berasal dari sebuah pengeras suara yang menempel samping langit. Mereka melihat ke arah depan, dan melihat ada tiga prajurit berbaju besi dengan senjata pedang, tombak, dan kampak kecil.
"Apa maksudnya ini?" tanya Filk.
"Kau harus mengalahkan ketiga prajuritku dan memasuki pintu yang ada di depanmu. Kalau kalian gagal, gadis berambut putih ini akan kami kirimkan ke neraka."
"Nail! Sial!"
"Apakah gadis itu temanmu?"
"Iya." Filk mengepalkan kedua tangannya, dan melihat ke arah ketiga prajurit itu, yang sedari tadi berdiri bersiap menyerang. "Adrian, kau punya senjata?"
"Ada." Adrian menyimpan koper itu, membukanya, dan menyerahkan sebuah tongkat besi kecil ke Filk. "Tarik ujungnya." Filk melakukan seperti yang dia katakan. Tongkat itu berubah menjadi tongkat yang cukup panjang.
"Mirip katana." Tanpa basa-basi lagi, Filk melesat ke depan dan mengayunkan tongkat itu dari samping.
'TING' berhasil ditahan oleh prajurit yang memegang pedang. Yang memegang kampak menyerang dari samping, berhasil dihindari. Sebuah tombak melayang ke arah Filk dari belakang. Filk menyadarinya dan jongkok. Prajurit yang memegang pedang tidak melepaskan targetnya, dia menyerang saat Filk mau berdiri. 'TING' berhasil ditahan. Filk memutar tongkatnya, menendang perutnya, dan berhasil membuatnya mundur dan jatuh. Pemegang kampak menyerang dari samping, Filk memiringkan tubuhnya, menangkap lengannya, lalu membantingnya. Satu lagi, dia menyerang dengan tangan kosong. Dia maju bersiap untuk meninju, Filk menurunkan badanya, memukul dagu dari bawah, memukul dada, dan terakhir menendang perutnya dengan keras sampai dia terhempas cukup jauh.
"Hebat!" kagum Adrian.
"Ayo kita lanjutkan!"
"Hm!"
Mereka berlari menuju pintu yang di depan mereka. Filk mendobrak pintu itu dengan kakinya. Mereka mendapati diri di sebuah ruangan yang cukup besar, dengan sebuah ring tinju di tengah ruangan.
"Ini museum atau tempat olahraga extrim?" gumam Filk dalam hati.
"Selanjutnya, pertarungan tinju. Salah satu dari kalian harus mengalahkan bintang juara kami. Tuan...! Boxing!" Sinar lampu dari atas menerangi sesosok patung lilin dengan sabuk juara di pinggang, celana pendek merah, sarung tinju sudah terpasang di kedua tangannya. Dia menaiki ring.
"Adrian, kau yang maju."
"Aku? Kenapa harus aku?"
"Karena kau seorang dari clan Ore yang mampu membunuh hantu."
"Memang benar aku dari clan Ore, tapi ini pekerjaanku yang pertama kali."
"Hah!?"
"Begitulah." Filk hanya meliha Adrian dengan wajah sebal. Dengan pasrah, Filk memasuki ring tinju.
Sesampainya di sana, sang wasit yang sedari tadi berdiri di sana, mengangkat tangan untuk memulai pertandingan. Sang juara berjalan mengelilingi Filk dengan posisi siap menyerang. Dia terus mengelilingi Filk, dan Filk hanya diam memasang wajah malas. Tanpa aba-aba, sang juara menyerang dari belakang. Filk berputar 'DUKKK' pukulan berputar dari Filk berhasil membuat sang juara tersungkur. Wasit menghitung mundur. "Sepuluh... Semblian... Delapan... Tujuh... Enam... Lima... Empat... Tiga... Dua... Satu... KO! Pemenangnya adalah penantang!" Wasit mengangkat satu tangan Filk.
"Hebat! Kau memang hebat!"
"Kau ini baru bekerja, kan?"
"Iya."
"Kenapa malah mendapatkan yang berat seperti ini?"
"Sebetulnya, ini pekerjaan Kakakku. Dia sekarang sedang ada urusan, jadi dia menyerahkan tugas ini kepadaku."
"Dan... kamu menerimanya begitu saja?"
"Iya, karena setelah mendengar penjelasan dari Kakakku, aku bersemangat untuk menangkap hantu."
"Begitu, ya. Nanti lagi saja ceritanya, kita harus segera ke pintu selanjutnya." Mereka pun pergi.
Saat membuka pintu yang selanjutnya, mereka meliha ada seorang gadis tergeletak di lantai. Itu adalah Susan. Filk berlari menghampirinya, megangkat kepala dan menyimpannya di lengan Filk.
"Nail, bangun! Nail!" Dia mengguncang-guncang pelan tubuhnya. Susan mulai membuka mata dengan perlahan. "Nail..."
"Filk..." Susan menatap wajah Filk dengan lemas. "Tugas kita sudah selesai!" Dia kembali ceria dengan sekejap.
"Heh?"
"Terima kasih, Filk." Dia berdiri dan merenggangkan tubuhnya.
"Tunggu, apa maksudmu? Padahal aku cuma memukul..."
"Itu tujuannya, dia ingin melihat pertarungan dari seorang pria yang jago bela diri."
"Keinginan yang aneh. Kalau begitu, kita pergi dari museum ini."
"Eh? Oh... pasti kau ketakutan, ya?" goda Susan.
"Tidak, hanya saja di sini menyebalkan. Lagipula, bukannya kau yang ketakutan?" Filk ikut menggoda.
"Tidak! Siapa yang bilang?!"
"Itu." Filk menunjuk ke arah mata Susan. "Matamu merah, pasti habis menangis ketakutan."
"Ti-ti-tidak! Aku hanya menangis karena tadi aku berpikir ke..." Tiba-tiba wajah Susan memerah.
"Ke?"
"Bu-bukan apa-apa! Tidak penting!" Lalu Susan melihat ke arah Adrian. "Dia siapa?"
"Nanti saja penjelasannya, lebih baik kita keluar dulu dari museum yang menyebalkan ini."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top