BAGIAN DUA EPISODE KEDUA: ADIK
Hari ini, di pagi ini, adalah hari yang berbeda dengan hariku yang sebelumnya. Biasanya aku pergi sekolah sendiri, tapi sekarang aku akan pergi bersama Susan. Kalau saja Susan bukanlah orang yang spesial bagiku, maka hari ini dianggap hari biasa.
Sekarang aku sudah selesai memakai seragam dan menyiapkan keperluan sekolah. Kemudian, aku menuruni tangga menuju ruang makan. Tapi, langkahku harus terhenti di tengah perjalanan turun karena aku mendengar keributan di bawah.
"Cepat keluar!"
Itu suara Kak Nida, suaranya begitu keras dan penuh emosi. Apa yang membuatnya menjadi marah seperti itu? Dari ucapannya, sepertinya kakak sedang mengusir seseorang.
"Sudah kubilang, cepat keluar!"
Hanya suara kakak yang terdengar jelas di telingaku, sedangkan orang yang diusirnya tidak terdengar cukup jelas saat membalas pengusiran kakak. Kalau ditebak, suaranya seperti perempuan yang lemah lembut. Selain itu, sepertinya bukan hanya satu orang, tapi dua orang perempuan.
"Aku tidak peduli! Cepatlah keluar!"
Kira-kira apa yang membuat kakak yang kukenal selalu bersikap kekanak-kanakan menjadi pemarah? Apa ada masalah dengan tetangga? Tapi, seingatku kemarin kakak terlihat baik-baik saja. Bahkan, hubungan kami dengan tetangga selalu baik-baik saja.
Langsung saja aku melanjutkan untuk menuruni tangga. Kemudian aku menghampiri kakak yang berada di dekat pintu keluar. Di sana, selain kakak, aku melihat dua perempuan sedang berdiri di dekat pintu keluar. Satu seorang gadis berambut pirang pendek, berkulit putih, baju kuning, dan rok selutut abu-abu. Satu lagi wanita bertopi hitam, rambutnya hitam panjang, gaun hitam panjang bergaya ala Eropa, tas selendang hitam, dan tingginya lebih tinggi dari gadis berambut pirang pendek itu.
Aku tidak mengenal mereka, bahkan kurasa mereka orang asing yang berasal dari luar negeri. Apa mungkin kedua perempuan itu secara kebetulan melakukan kesalahan yang membuat kakak marah atau sebaliknya kakakku lah yang membuat kesalahan kepada mereka? Kira-kira apa masalahnya, ya?
Saat aku ingin menanyakan keadaan kepada kakak, tiba-tiba gadis berambut pirang pendek itu melihat ke arahku. Kedua kontak mata kami saling bertemu, sehingga aku menghentikan niatku untuk bertanya keadaan. Iris mata biru gelapnya begitu terlihat cantik, sampai-sampai aku tertegun diam melihatnya. Kemudian, gadis itu berlari dan memelukku bahkan sampai kepalanya menempel ke dadaku.
"Kakak!" ucap gadis yang memelukku dengan nada terdengar senang.
Aku yang masih mengalami proses pencernaan keadaan setelah mendapatkan pelukan hanya bisa terdiam bingung, apalagi ditambah mendengar pernyataan yang mengejutkan semakin aku harus mencerna baik-baik dan menjadi diam membatu. Sedangkan kakak datang menghampiri kami, lalu memegang kedua pundak gadis ini dari belakang.
"Lepaskan adikku, dasar perempuan penipu!" ujar kakak sambil berusaha melepaskan gadis yang memelukku.
"Aku bukan penipu, aku memang benar-benar adik Kak Filk," balas gadis ini dengan nada tenang dan terdengar lembut.
Entah kakakku yang lemah atau gadis yang memelukku terlalu kuat. Gadis ini masih tetap memelukku, atau bisa dibilang masih menempel kepadaku tanpa terlepas satu mili pun. Seolah tarikkan dari kakakku tidak berarti apa-apa. Kurasa itu juga kenapa gadis ini membalas perkataan kakakku dengan tenang.
"Aku tidak pernah ingat punya adik perempuan, bahkan yang sepertimu! Adikku hanya satu, yaitu Filk!"
"Tentu saja Kak Nida tidak akan ingat, karena aku bukanlah anak dari Bu Lestari."
Wah, gadis ini juga tahu nama Kak Nida dan ibu. Jangan-jangan dia memang benar-benar adikku...
Tunggu! Bukan itu masalahnya! Gadis ini mengaku sebagai adikku, tapi mengatakan bukan anak dari ibuku! Jangan bilang kalau gadis ini hasil dari perselingkuhan ayahku!
"Tepatnya anak dari istri kedua ayah, Ibu Violet," lanjut gadis ini.
Serius?! Aku bahkan tidak tahu kalau ayahku punya dua istri! Kenapa ini bisa terjadi?!
"Bisa-bisanya kau mengarang cerita seperti itu!" kesal Kak Nida yang masih berusaha menarik gadis ini agar terlepas dariku. "Ayah tidak akan melakukan hal seperti berselingkuh!"
"Ayah memang tidak selingkuh, tapi memonopoli. Sebenarnya Ayah punya lebih dari dua istri, malah ada empat."
"HEEHHHHH?!" kagetku dan Kak Nida bersamaan.
"Bohong! Pasti bohong!" tegas Kak Nida tidak percaya.
"Tentu saja aku punya buktinya. Maria."
Wanita berpakaian Eropa itu merogoh tas selendangnya, lalu mengeluarkan sebuah foto. Dia memperlihatkan foto itu kepada kami. Foto itu memperlihatkan laki-laki berjas dan empat perempuan bergaun indah. Sepertinya itu foto pernikahan, karena mereka terlihat bahagia dan memakai setelan pengantin. Dua di antaranya tidak asing bagiku, karena mereka berdua adalah ibu dan ayahku.
"Wanita di sebelah kiri Ayah adalah ibuku," ucap gadis yang memelukku.
"Tidak-tidak, itu pasti hanya editan! Itu hanya bohongan!" elak Kak Nida tidak terima.
Wanita bernama Maria kembali merogoh tasnya, lalu mengeluarkan dua kertas. Satu bertuliskan nama Frida Scotland dan keterangan tanggal kelahirannya, sepertinya itu fotocopy akta kelahirannya. Satu lagi bertuliskan nama Ayahku, gadis ini, Violet, dan data lainnya, sepertinya itu fotocopy kartu keluarga atau disingkat KK.
"Tidak, ini pasti bohong... pasti bohong..." ucap Kak Nida tidak percaya.
"Maaf membuat kalian terkejut, tapi memang inilah kenyataannya," ucap wanita bernama Maria itu. "Sebenarnya kami ingin memberitahu hal ini kepada kalian jauh-jauh hari, tapi Nyonya Besar, yaitu Ibu Nona Frida tidak memperbolehkan. Tapi karena beliau sudah tiada dan memberi wasiat agar memberitahukan informasi ini, jadi kami baru bisa memberitahu sekarang."
"Aku tidak memiliki saudara, karena Ibuku hanya melahirkan aku seorang. Terlebih aku sangat kesepian sekali karena tidak memiliki teman mengobrol dan bermain. Hanya Maria yang setia menemaniku, di kala Ibuku selalu sibuk bekerja dan selalu pulang larut malam," terang Frida yang mulai melepaskan pelukannya. "Jadi, aku senang sekali akhirnya Ibu mengizinkan aku bertemu denganmu, saudaraku~"
"Ah, i-iya..." responku bingung karena masih mencerna kejutan ini.
"Aku tidak bisa menerima ini!" ujar Kak Nida tegas. "Walau memang benar kau saudara kami, tetap saja kau tidak boleh mengambil Filk dariku!"
"Kedatangan kami memang bukan untuk membawa Tuan Filk, itu hanya candaan Nona Frida," ujar Maria. "Kedatangan kami hanya sekedar melaksanakan amanat berupa memberitahu hal ini kepada kalian dan Nona Frida ingin sekali bertemu kalian, terutama kepada Tuan Filk."
"Iya, aku sangat ingin bertemu dengan Kak Filk~" Frida kembali memelukku setelah mengatakan itu.
"Hei, lepaskan Filk! Jangan kegenitan!" Kak Nida kembali berusaha melepaskan Frida dariku.
"Ano... maaf, Frida. Lepaskan aku, aku mau pergi sekolah."
"Ah, maaf." Frida pun melepaskan pelukannya.
"Eh, kau tidak sarapan dulu?" tanya Kak Nida.
"A-Aku teringat ada piket hari ini, jadi aku harus datang lebih pagi."
"Begitu... Walau begitu, kau harus tetap sarapan. Jadi nanti beli roti di kantin sekolah, ya."
"I-Iya..."
"Hati-hati di jalan~"
"Hei, aku yang harusnya mengatakan itu!" protes Kak Nida.
Tanpa memperhatikan pertengkaran selanjutnya Kak Nida dengan Frida, aku berjalan ke luar. Sebenarnya alasan piket itu bohongan dan harus pergi pagi sekali juga. Alasannya aku ingin menenangkan diri. Mendapatkan banyak kejutan seperti itu membuat kepalaku sakit. Aku benar-benar tidak menyangka akan mendapatkan fakta seperti itu.
"Ilk, apa kau tahu semua itu?"
(Sebenarnya aku tahu... dan aku tahu juga kalau fakta ini bisa membuat kepalamu sakit. Maka dari itu, aku tidak memberitahumu. Rencanannya aku beritahu secara perlahan.)
"Begitu... ya..."
Aku tidak habis pikir, ayah melakukan ini... dia menikahi perempuan selain ibu. Aku tidak tahu apakah ibu tidak masalah atau mempermasalahkan itu, tapi tetap saja ini kurang ajar. Ayah... dia seperti mempermainkan perasaan ibuku. Kalau memang ibuku mengizinkannya, kurasa itu tidak masalah untuk ibu, tapi... tetap saja aku rasa itu salah...
Ibu yang kukenal baik, bahkan sangat baik sekali. Dia selalu saja memaafkan, bahkan di saat aku melakukan kesalahan berulang-ulang kali. Dia selalu saja tersenyum, bahkan di saat dirinya memiliki masalah yang berat. Dia selalu saja mengatakan 'baik-baik saja', bahkan di saat dirinya sedang sakit. Jadi, kurasa walau Ibu saat itu mengatakan baik-baik saja kalau Ayah menikahi wanita lain, padahal sebenarnya di hati Ibu ada rasa keberatan.
"Pagi, Filk."
Mendengar sapaan itu, aku langsung mengangkat kepalaku yang awalnya ditundukkan. Aku melihat seorang gadis cantik berdiri di depanku sambil memasang senyuman manis. Dia adalah Susan.
Sepertinya tanpa kusadari aku sudah sampai di tempat janjian kami, yaitu di persimpangan dekat rumahku.
"Pagi..." balasku lemas.
"Kau baik-baik saja, Filk? Kau terlihat lemas."
"Yah... dibilang baik-baik saja kurasa tidak. Tidak baik-baik saja kurasa tidak juga..."
Tiba-tiba Susan memegang dahiku sambil memasang wajah cemas. "Kau tidak panas. Apa kau punya masalah? Kalau ada, ceritakan saja kepadaku. Aku akan membantumu."
"Tidak. Tidak ada masalah. Maaf membuatmu cemas."
"Kalau ada apa-apa, ceritakan saja kepadaku. Aku akan siap menolongmu."
"Terima kasih."
"Kalau begitu, ayo kita pergi."
Kami pun pergi menuju sekolah, dengan berjalan bersebelahan. Kalau saja keadaanku baik-baik saja, aku pasti akan merasa senang sampai-sampai rasa malu menyerangku. Tapi, karena kondisiku tidak baik-baik saja, aku merasa biasa saja berjalan di sebelah Susan dengan jarak dekat.
"Hei, Susan. Ini misalkan... misalkan, ya. Kalau ternyata kau punya lebih dari satu ibu, tepatnya ayahmu memiliki istri selain ibumu. Bagaimana perasaanmu?"
"Biasa saja."
"Kau menerimanya begitu saja?! Kau menerima ayahmu selingkuh dan menyakiti perasaan ibumu?!"
"Te-Tentu sa-saja tidak..." balas Susan sedikit ketakutan.
"Ma-Maaf... aku membentakmu..."
"Ti-Tidak apa-apa... Aku hanya kaget saja. Aku bukannya menerima begitu saja, tentu saja ada rasa kesal. Tapi, aku percaya kalau ayah pasti punya alasan yang bagus untuk melakukan itu."
"Percaya, ya... Kau ternyata orang yang aneh."
"Eh, aku aneh?" kaget Susan.
"Iya, hanya berdasarkan percaya kau menerima begitu saja kondisi seperti itu."
"Tentu saja. Karena aku percaya dengan keluarga dan teman-temanku."
"Hahahahaha!"
"Ke-Kenapa kau malah tertawa?"
Benar juga. Kenapa aku bisa melupakan hal itu? Kalau aku ingat itu, aku tidak perlu merasa sakit kepala seperti ini. Ayah pasti punya alasan yang bagus melakukan itu. Itu bukan berarti ayah tidak mencintai ibu, tapi karena ada alasan. Jadi, aku harus mencari tahu alasan ayah melakukan itu. Kalau ternyata alasannya tidak bagus, maka aku tinggal mengeluarkan kekesalanku saja.
"Hei, jangan tertawa!" pinta Susan sambil menggoyang-goyang tubuhku.
"Maaf-maaf." Aku pun menghentikan tawaku. "Terima kasih, Susan."
"Eh, kenapa tiba-tiba berterima kasih?"
Aku langsung menaruh tanganku di atas kepala Susan sambil tersenyum senang. "Aku hanya ingin berterima kasih. Terima kasih."
"Hm... sama-sama..." balas Susan sambil menundukkan kepalanya.
"Kalau begitu, ayo kita pergi. Nanti kita telat."
"Iya!"
***
Kami sudah di sekolah, di lorong. Masih ada sepuluh menit sebelum kelas dimulai. Maka dari itu sekarang aku sedang makan roti dengan santai, ditemani Susan yang sama sedang makan roti.
"Susan, kau tidak sempat sarapan?" tanyaku.
"Iya. Aku pikir kalau aku sarapan dulu maka aku akan telat ke tempat janjian kita dan kau harus menunggu lama."
Ahhhh, aku senang sekali mendengarnya! Tidak disangka dia memikirkanku. Aku ingin segera menikahinya!
Kurasa bisa dibilang untung saja karena aku segera pergi sebelum sarapan. Kalau tadi aku sarapan dulu, pasti Susan akan menungguku lama di sana. Rencanannya aku ingin diam merenung tentang masalah kejutan yang kudapat pagi tadi, di tempat perjanjian kami sambil menunggu Susan datang.
Kami pun melanjutkan makan roti kami. Setelah selesai, bel masuk kelas pun berbunyi. Semua murid-murid yang di sekitar kami langsung berlarian menuju kelas masing-masing. Begitu juga dengan kami.
Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya guru memasuki kelas. Dia adalah guru matematika, Pak Wijaya.
"Hari ini kita mendapatkan teman baru. Silahkan masuk."
Dapat dilihat semua teman-teman kelasku langsung mengalihkan pandangannya ke arah pintu, bahkan ada yang sampai berdiri agar dapat melihat dengan jelas murid baru itu. Lalu, seseorang berseragam memasuki ruang kelas. Dari seragamnya murid baru ini adalah perempuan. Hal itu membuat para laki-laki sedikit ribut, terlebih murid baru ini memang terlihat cantik.
Namun, beda denganku. Aku yang sudah melihat murid baru ini hanya bisa diam terkejut. Alasannya karena murid baru ini tidak asing bagiku.
"Nah, silahkan perkenalkan dirimu."
"Hallo, teman-teman. Perkenalkan, namaku Frida Scotland."
Kenapa dia bisa ada di siniii?!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top