8. Pak RT


Pras menghempaskan tubuhnya di sofa. Ia baru pulang dari kantor. Baju dan dasinya acak-acakan.

Adara segera datang meraih tas dan membukakan sepatu serta kaosnya.

"Ngapain lo?"

"Buka sepatu Mas."

"Gue gak butuh bantuan lo!" bentak Pras.

Adara tak menyahut dan tetap melepaskan sepatu dan kaos kaki Pras.

"Mas sebaiknya cepat mandi biar segar. Aku udah siapin makan malam buat Mas," ujar Adara sambil beranjak ke kamar Pras untuk meletakkan tas kantornya.

"Tunggu!" Adara menoleh.

"Lo bisa buatin gue kopi kek kemaren?"

Adara mengangguk. "Aku taruh tas Mas dulu."

Sebelumnya Adara sering menyiapkan Pras kopi buatannya. Awalnya Pras menolak. Namun Adara selalu menyediakan di atas meja kamar. Awal mencicipi Pras merasa enggan. Namun setelah mencoba, ia merasakan kenikmatan. Kopi Adara benar-benar mampu menghipnotis indera pengecapnya.

"Ineem!" panggil Pras.

Pelayan yang bernama Inem tergopoh-gopoh menghampiri Pras.

"Lo taruh tas gue di kamar, dan lo buatin gue kopi sekarang," perintah Pras sambil menunjuk Adara.

Dengan sabar Adara mengangguk dan berjalan ke dapur.

Adara mengusap dadanya berkali-kali diikuti doa ta'awudz. Suaminya menyuruh Adara seolah menyamakannya dengan pembantu. Dengan ikhlas ia membuatkan kopi untuk sang suami.

"Ini Mas diminum," ujar Adara sambil meletakkan secangkir kopi di meja di depan Pras.

Pras tak menyahut malah asyik menyeruput kopi buatan Adara. Sedikit banyak Adara tersenyum di balik cadar. Bagaimanapun dingin sikap suaminya, Pras menyukai kopi buatan Adara.

'Semoga ini langkah awal, Mas.'

"Ngapain lo berdiri di situ? Pergi sana! Ennek gue liat wajah lo."

Bukannya pergi justru Adara duduk di samping Pras.

"Heh ngapain lo deket-deket? Mo ngerayu gue? Gak bakal mempan!"

Adara memejamkan matanya sejenak sambil menarik nafas dalam. Ia berdehem singkat.

"Mas, apa aku harus buka cadar di depan Mas supaya Mas kenal sama aku?" tawar Adara yang nampak putus asa menghadapi sikap sang suami.

Pras terkejut dengan pertanyaan istrinya. Ia menoleh. "Lo mulai sarap ya?! Serah lo mo jungkir balik mo telanjang sekalian gue nggak peduli! Gua juga gak bakalan nafsu ma lo! Ngerti lo!" hardik Pras.

"Ya sudah kalo gitu. Aku cuma nanya, Mas."

Setelah mengatakan itu, Adara beranjak dari tempatnya menuju ke dapur.

Ia membantu beberapa pelayannya menyiapkan makan malam untuk Pras.

Secangkir kopi buatan Adara habis diseruput oleh Pras. Ia segera masuk ke kamar dan membersihkan badannya.

***

Seusai sholat maghrib, Adara melanjutkan hafalan yang sempat tertunda.

Pintu kamarnya diketuk oleh Inem. Adara membukakannya pintu.

"Ada apa, Bik?"

"Anu, Non. Ada tamu."

"Tamu? Siapa?" Adara tak mengerti kenapa ia harus dipanggil. Selama ini tamu selalu berkaitan dengan suaminya. Kalau itu mertuanya pasti mama Pras akan datang langsung ke kamar Adara. Karena kedua orang tua Pras tahu mereka masih belum satu kamar.

Kedua orang tua  Pras sebenarnya tidak suka, tapi Adara bisa menjelaskan pada keduanya bahwa mereka masih butuh waktu dalam pernikahan itu. Adara meminta langsung waktu pada Devika dan Andi. Dengan kata pasrah, akhirnya mereka menerima keputusan Pras dan Adara.

Adara segera turun ke lantai bawah untuk menemui si tamu. Pras sudah ada di sana. Dari pembicaraan mereka sepertinya sangat serius.

"Ini dia, Pak," tunjuk Pras pada Adara.

"Ada apa ya, Pak?"

Adara segera duduk di samping Pras, tapi ia tetap memberi jarak.

"Begini, Neng ...."

"Nama saya Adara, Pak."

"Iya, Neng Adara. Saya selaku RT di sini. Nama saya Pak Rahmat. Begini, sebelumnya bapak minta maaf. Ini masalah laporan dari warga sekitar. Masalah ...." Pak RT seakan ragu untuk melanjutkan kata-katanya.

"Masalah apa, Pak?"

"Itu Neng, soal penampilan Neng," ujar Pak Rahmat hati-hati.

Pras melirik pada Adara. Ia sudah tahu permasalahannya. Pras memilih bungkam. Dengan alasan tidak peduli. Biarlah wanita bercadar di sampingnya itu menyelesaikan masalahnya sendiri.

Perawakan Adara yang tenang memahami arah pembicaraan Pak RT.

"Saya tahu, Pak. Apa maksud Bapak. Warga di sini menyangka saya dan keluarga berprofesi sebagai teroris."

Mendengar kata 'keluarga' Pras terhenyak. Sepertinya dirinya ikut terbawa dalam masalah Adara.

"Iya, Neng. Warga di sini menyangka keluarga ini komplotan dari teroris."

Pras langsung berdiri, ia tak terima. Pras mulai tersulut emosi dan naik pitam. Raut wajahnya merah padam.

"Bapak kira keluarga saya teroris?! Asal bapak tau saja, saya bisa membeli seluruh aset di komplek ini beserta semua isinya! Saya tidak cukup bodoh untuk jadi pembunuh tak berperasaan itu!" maki Pras.

"Mas, sabar," ujar Adara pelan.

"Bapak sebaiknya pergi dari sini! Pembahasan kita sudah selesai!"

Pras berlalu pergi dari ruang tamu, menyisakan Adara dan Pak RT yang sama-sama terdiam.

Pak RT pamit undur diri. Namun sebelumnya Adara mengatakan sesuatu padanya.

"Ini semua karena penampilan saya, Pak. Saya bisa meminta maaf. Tapi maaf, saya tak berhak meminta maaf karena cadar dan penampilan saya ini sudah jadi hidup saya. Warga di sini bisa menilai saya apa saja, tapi saya tegaskan. Saya bukan teroris. Ajaran yang saya anut Al-Qur'an tidak pernah mengajarkan membunuh jiwa yang tidak bersalah. Bapak tenang saja, saya bukan teroris. Kami keluarga yang bersih dari itu," tegas Adara.

Pak Rahmat mengangguk puas. Ia tersenyum bangga dengan sikap Adara yang pandai meyakinkan dirinya. Ia mohon pamit dari Adara dan berjanji akan menjelaskan semuanya pada warga.
Adara segera berlari ke kamar. Ia segera meraih Al-Qur'an yang selalu di pegangnya.

Ia langkahkan kakinya ke kamar Pras. Beberapa kali ia ketuk pintu kamar, tak ada sahutan.

'Mungkin Pras masih marah sama aku.'

"Non, tuan tadi keluar naik mobilnya," ujar Karti, salah seorang pelayan rumah Pras.

"Apa dia sama Mang Saiman?"

"Nyetir sendiri, Non."

"Ya udah makasih infonya ya, Bik."

Adara kembali ke kamarnya. Ia memainkan jari jemarinya sambil tertunduk.

'Kalo Pras nyetir sendiri berarti dia ketemu sama temen-temennya.'

Ada semburat khawatir di wajahnya. Takut suaminya mabuk lagi.

'Ya Allah, lindungilah suami hamba dari meminum minuman terkutuk itu lagi, Ya Allah.'

Sementara di luar sana-

Pras tidak menemui temannya dan tidak menuju club. Ia menemui saudara sepupu dari mama.

Seorang gadis berperawakan sedang tengah mendengarkan keluh kesahnya. Dialah Merta, sepupu Pras.

Merta memukul pundaknya, memberi kekuatan pada sepupunya yang tengah frustasi itu.

"Lo sabar aja, Pras. Semua akan ngalir kek air kok." Merta menenangkan.

"Gua frustate tau gak, Ta. Gue terima istri model dia, tapi gue tambah ennek liat warga yang gak suka liat cadar dia," desah Pras kesal.

"Gue juga heran sama mama papa lo. Kek gak ada perempuan lain yang baik aja buat dampingin idup lo. Ngapain coba jodohin lo ama cewe gak jelas gitu. Pas nikahan lo, gue kaget, lo nikah sama cewek aneh gitu," timpal Merta.

"Gua gak ngerti sama papa mama. Gue juga tambah illfeel serumah ama tu cewek cadar."

"Lo mesti sabar dulu, Pras. Saran gue, lo ikutin dulu permainan Om Andi sama Tante Devika. Kalo semua harta mereka udah jatoh ke tangan lo, lo tendang tu cewek aneh dan lo bisa milih cewek sesuka hati lo."

Pras menoleh pada Merta, tampilan senyum sarkas keluar dari bibirnya.

"Ya, bener kata lo. Sekarang gue mesti sabar dulu sampe semua harta papa sama mama jatoh ke tangan gue. Kalo semuanya itu dah jadi milik gue, tu cewek bakal gue usir dari rumah."

"Lo mending ikut gue aja yuk!"

"Ke mana?"

"Ya have fun lah, Bro."

***

"Lo bisa milih cewek sesuka hati lo di sini," bisik Merta ke telinga Pras. Musik berdentang memekakkan telinga mereka.

Saat ini mereka sedang berada di diskotik langganan Merta.

"Hai, Ta. Siapa nih? Gak dikenalin cowok lo?" ujar seorang gadis cantik menghampiri Merta.

"Dia sepupu gue."

"Sepupu lo? Lo gak pernah cerita punya sepupu keren gini."

Gadia cantik itu mengerling nakal pada Pras. Pras memalingkan wajahnya dingin. Ia sangat membenci gadis murahan.

Gadis itu mendekati Pras. "Kamu mau nge-dance sama aku?" ucapnya merayu Pras.

Pras mengisyaratkan pada Merta menyuruh gadis ini pergi dari hadapannya. Merta mengerti.

"Sodara gue lagi gak selera sama lo. Mending lo pergi deh."

"Iih ganteng-ganteng gak napsuan sepupu lo."

"Lo kurang cantik buat die."

Gadis itu berdecak kesal dan berlalu. Lagi-lagi Pras harus menerima godaan setan cantik lagi.

Seorang gadis cantik yang pernah mengemis cintanya dulu datang lagi mendekatinya.

"Pras? Lo ada di club ini? Gue seneng lagi lo di sini. Merta, seenggaknya lo kasi kabar kalo Pras mo lo ajak ke sini."

Merta memutar bola matanya malas. Temannya itu paling agresif pada Pras.

"Lo juga tumbenan ada di sini?" tanya Merta.

"Insting kali. Ketemu sama joodh gue di sini," ucapnya genit dan mendekati Pras.

Pras memalingkan wajah dan tak menghiraukan kedatangan gadis seksi bernama Gisha itu.

Ia memeluk tubuh Pras. "Gue kangen banget sama lo, Pras."

Pras mendorong tubuh gadis itu. "Pergi lo! Dasar cewek murahan!" maki Pras.

"Pras, lo kenapa sih selalu gitu sama gue. Kurang gue apa coba di mata lo?"

"Lo kurang ngaca! Ta, gue balik dulu, gue lebih ennek di sini timbang di rumah." Pras mendengus dan pergi tanpa menunggu jawaban dari Merta.

Sepanjang perjalanan ia berteriak dan memukul setirnya. Ia mengarahkan mobilnya ke jembatan seperti biasanya.

Ia keluar dari mobil dan mengacak rambutnya frustasi. Agak lama ia memandangi air mengalir di bawah sana.

"Daraa!! Lo dimana!" teriaknya di atas jembatan.

Ia tertuduk lesu. "Cuma lo cewek sempurna yang gue mau. Lo cantik, bener-bener cantik. Tapi lo gak murahan kek mereka. Gue pengen ketemu sama lo, Ra. Sekali aja, Ra. Lo di mana?" ucapnya lesu.

Ia bangkit dan terhuyung menuju mobil. Penampilannya mulai lusuh.

Dengan kecepatan tinggi ia mengarahkan mobilnya ke rumah.

Sesampainya di rumah. Adara sudah menunggunya di ruang tamu.

"Mas, Mas gak pa-pa?"

Pras tak menyahut, dengan langkah gontai ia menuju kamar. Ia merebahkan tubuhnya di kasur. Matanya terpejam dalam gumaman, bibirnya tak henti memanggil nama Dara—si gadis impian.

Bersambung.

Situbondo, 17 Maret 2017.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top