19. Gadis Kaya Raya


Siang itu Devika mengajak Adara ke butik langganannya.

"Mama, udah pesenin Adara model busana muslim bercadar yang bagus," ujarnya menggebu.

Adara menurut saja saat tangannya ditarik oleh Mama mertuanya.

Seorang wanita separuh baya menghampiri mereka. Dari dandanannya yang menor dan pakaian yang dipakainya menandakan dia wanita yang fashionable.

"Silahkan milih jeng, ini beberapa pesanan jeng Devika sudah saya sediakan," ucap pemilik butik, Jeng Kartika.

Devika sibuk memilih gaun muslim bercadar. Kebanyakan berwarna cerah. Merah muda dengan nuansa payet bunga dan assesoris berkilauan. Devika meraih gaun berwarna hijau pastel dengan manik-manik hasil karya handmade yang sangat mewah karena dibalut dengan sutera di bagian luar. Devika juga meraba gaun berwarna biru muda dengan nuansa elegan dengan beberapa taburan mutiara asli. Semua busana yang ditawarkan sangat stylish dan up to date walaupun busananya menggunakan cadar.

Adara terdiam. Busana yang selalu dikenakannya berwarna gelap dan polos. Hitam, hijau tua atau biru tua. Ada rasa tidak nyaman jika harus memilih salah satu dari gaun yang Jeng Kartika tawarkan.

"Adara, cepat pilih sayang. Kamu mau yang mana?" Mama Devika menyuruh Adara memilih gaun itu. Adara menggeleng.

"Kenapa? Kamu gak suka? Ini buatan fashion designer terbaik di Jakarta loh, dan bercadar lagi, keren 'kan? Walaupun islami tapi gak kalah modis lho, Nak," ujar Jeng Kartika sambil memperlihatkan beberapa gaun lagi.

"Bu, apa boleh saya lihat ke depan?" Tanya Adara.

"Oh tentu saja menantu Jeng Devika," jawab Jeng Kartika.

Adara kebingungan di butik itu. Masalahnya ia sudah tidak terbiasa memakai pakaian berwarna mencolok khas bling-bling. 'Ya Allah bantu hamba, kasih hamba yang terbaik.' Harap Adara.

Ia tidak ingin menolak tawaran sang Mama mertua demi menjaga perasaannya, tapi di satu sisi ia tidak sanggup jika harus menolak kata hatinya.

Manik mata Adara menangkap sebuah gaun putih polos di hadapannya. Sesuai keinginan sang mama mertua, ia ingin memakaikan Adara busana berwarna cerah dan mewah.

Adara tersenyum dan meraba gaun di hadapannya. "Putih," gumamnya.

Adara memilih gaun putih itu tanpa manik atau riasan gaun lainnya. Hanya saja terlihat mewah dengan beberapa lapisan baju menggunakan kain kaca yang juga berwarna putih.

"Kamu menyukainya, Adara?" Devika sudah di belakang Adara. Adara menoleh dan mengangguk.

Jeng Kartika yang mengikutinya ikut berkomentar. "Tapi ini murah Adara."

"Aku suka ini, Ma."

"Baiklah, Jeng. Bungkus yang ini ya?"

Jeng Kartika mengangguk dan menyuruh pegawainya membungkus gaun itu untuk Adara.

***

Di dalam mobil, Adara dan Devika terdiam.

"Adara, Mama boleh tanya, nggak?" Devika membuka pembicaraannya.

"Iya, Ma."

"Emang sekeyakinan Adara, gak boleh ya perempuan pake baju warna-warni gitu?"

Adara tersenyum lalu menggeleng. "Gak pa-pa, Ma. Adara hanya suka warna hitam atau putih atau warna gelap. Hanya itu alasan Adara."

"Ooh Mama pikir gak boleh," Devika menghela nafasnya pelan.

"Bahkan dulu Aisyah, istri Nabi sendiri pernah memakai pakaian berwarna merah, padahal ketika itu Aisyah sedang ihram."

"Mama pikir, kamu se ekstrim itu, Nak."

"Mama, Islam itu gak sesulit yang orang bayangkan. Tergantung dari sudut pandang kita saja, Ma. Kembali lagi, kita gak pernah tahu bagaimana akhir hayat seseorang. Bisa jadi dia banyak dosa tapi mati dalam keadaan Husnul khotimah karena amal naik yang pernah dia lakukan dan hanya Allah Yang tahu itu. Yang penting kita tawakkal, Ma. Bagaimana ibadah kita, kita serahkan pada Allah. Karena Allah yang hisab, Allah yang hitung."

"Sampai saat ini Adara menjalankan syari'at. Tetapi hakikat ibadah kita, hanya Allah Yang Tahu. Dalam hal berpakaian memang ada aturannya. Walaupun sudah tertutup setidaknya tidak diniatkan untuk tabarruj, yaitu dandan selain di hadapan suami. Gitu, Ma."

Devika mengangguk dengan paham. "Ajari Mama tentang agama, ya Nak?"

"InsyaaLlah, Ma. Sebisa Adara."

***

Pras duduk di sofa ruang tamunya. Beberapa kali ia menengok jam di tangannya. Jari-jarinya menari di atas pahanya.

"Mana sih Adara, lelet banget," berkali-berkali Pras memperhatikan tangga di atasnya. Adara tak jua muncul.

Adara turun kemudian dengan tenang berbalut gaun putih marun dengan cadar yang masih setia bertengger di bagian bawah wajahnya.

"Lama banget sih lo! Buruan ke mobil!" Adara mengangguk dan mengikuti Pras di belakangnya.

Sesampai di tempat acara...

Beberapa wanita menatap sinis ke arah Adara. Ia iri melihat Pras menggandeng tangannya.

"Cih, gue heran Pras seleranya yang begituan," nyinyirnya.

Pras tahu di dalam pesta itu ia akan bertemu dengan wanita murahan yang ia benci. Oleh sebab itu, dirinya memegang tangan Adara dengan alasan supaya mereka menjauh dari Pras yang sudah memiliki pasangan hidup.

Gisha menatap aneh pada Pras. Ia tersenyum sinis dan menghampiri Pras. Di tangannya ia memegang segelas wine. Ia tersenyum sarkas pada Adara. "Wah, Pras. Ini istri lo? Kayaknya istri lo mesti nyobain minuman lezat ini deh. Ehm... siapa nama lo cewek dengan dandanan aneh ini? Ini gue ambilin khusus buat lo!" Gisha menyodorkan segelas kecil wine pada Adara. Pras hanya diam memperhatikan tingkah laku Gisha.

Adara mengambil gelas berisi minuman alkohol itu dan berjalan menuju tempat sampah. Lantas ia membuangnya dan langsung menyerahkan gelas kosong pada Gisha. "Terimakasih," ucapnya singkat pada Gisha. Pras tersenyum samar. Pras menarik tangan Adara ke tempat di mana Merta berada.

Gisha menatap tajam ke arah Adara. Ia mendekat pada Adara dan menarik hijabnya dengan kencang. Adara mengaduh. Dan memegangi hijabnya agar tidak terlepas. Adara berdoa dalam hati memohon pertolongan Allah sambil lalu membaca istighfar.

Pras menghempaskan tangan Gisha. "Jangan macem-macem lo sama istri gue! Atau lo bakal gue bunuh!" Ancam Pras. Gisha diam menghentakkan kakinya menjauhi mereka.

"Pras!" Panggil Merta di hadapan mereka. Ia lantas mencium pipi kanan dan kiri Pras, namun saat melihat Adara, ia hanya diam tak mempedulikan.

"Ayo kita ke sana!" Merta menyeret Pras menjauhi Adara. Adara hanya diam mematung.

"Ngapain sih Pras, ngajak istri kampungan lo itu?" Bisik Merta.

"Gue lebih baik sama dia dari pada gue harus berurusan sama wanita kadal temen-temen lo itu." Merta semakin memberi jarak antara Pras dan istrinya.

"Gue kenalin deh sama temen-temen gue yang gak kadal. Dijamin mereka masih virgin ting-ting," ajak Merta menemui beberapa temannya yang cantik.

"Hai, nama lo Pras ya? Ternyata bener kata Merta, lo keren abis," puji seorang wanita temen Merta.

"Kenalin gue Sisilia," ucap wanita bernama Sisil menjabat tangan Pras. Pras tersenyum tipis dan membalas jabatan tangan wanita itu.

Pandangannya beralih pada Merta. "Selamat ulang tahun ya Ta," ucap Pras kemudian sembari menjabat tangan Merta. Merta memeluk Pras.

"Makasih Pras lo udah hadir. Taon kemaren aja lo banyak alesan mo hadir ke sini," ia memukul lengan Pras. Pras tersenyum lebar.

"Maafin gue. Gue sibuk, banyak... " belum selesai Pras mengatakan permintaan maafnya pada Merta. Ia menoleh mendengar keributan di ujung ruangan.

"Ada apalagi di pestaku ini," keluh Merta.

Nampak seorang gadis berparas cantik dan berbaju seksi tengah berteriak saat beberapa laki-laki menahan pergerakan tubuhnya.

"Lepasin gue! Kalian siapa hah?! Jangan macem-macem entar gue laporin polisi!" Teriaknya histeris.

Tanpa ampun para lelaki bertubuh tegap dan berjas rapi itu menyeret si wanita keluar ruangan. "Arenda?" Gumam Merta.

"Siapa?" Tanya Pras.

"Pras! Itu Arenda!" Merta dan Pras berlari menghampiri Arenda yang diseret beberapa laki-laki berjas itu.

Adara menatap mereka dari kejauhan. Ia ikut menghampiri wanita itu.

"Lepasin! Dia temen gue! Ngapain kalian di sini? Pergi!" Pekik Merta. Ia menghampiri beberapa laki-laki asing itu.

Pras menahannya. "Biar gue yang bicara," ia menghampiri wanita dan para laki-laki itu. Arenda nampak kesakitan karena tangannya dicekal dengan sangat kuat. Beberapa kali ia meronta minta dilepaskan, apalah daya kekuatan laki-laki itu lebih kuat.

"Apa urusan lo sama dia?" Tanya Pras selidik pada laki-laki di hadapannya.

Seorang laki-laki bertubuh tegap itu maju dan menunduk pada Pras. "Maaf Tuan, dia sudah berlaku kasar pada majikan kami, kami harus mengeluarkannya dari ruangan demi keamanan majikan kami," ucapnya lugas.

"Majikan? Siapa majikan lo?" Pras tak mengerti siapa orang yang membawa pengawal ke pesta ini.

Adara maju ke hadapan mereka. Beberapa laki-laki itu membungkuk. "Lepasin dia. Kalian boleh pergi. Kalian gak usah ikutin aku," ucap Adara.

"Tapi keamanan Nona yang lebih penting bagi kami," sahut salah satu dari mereka.

"Ada Allah yang melindungiku, InsyaaLlah aku gak pa-pa, terimakasih," ucap Adara tenang.

Beberapa pengawal itu mengangguk. "Tuan Pras, jaga Nona Adara baik-baik. Jauhkan perempuan liar ini dari Nona kami. Dia hampir mencelakakan Nona kami," ucap seseorang dari mereka dengan tegas. Pras mengangguk. Para pengawal itu melangkahkan diri berdiri di gerbang halaman.

Pras segera masuk ke dalam ruangan diikuti yang lain. Ia meninggalkan Adara termangu sendirian. Adara memejamkan matanya. Tak seharusnya semua ini terjadi dan Pras mengetahuinya.

Adara kembali masuk dan duduk sendirian di sofa. Ia tahu Pras semakin marah padanya. Adara tertunduk. 'Hamba harus apa Ya Allah?' batinnya.

"Pras, istri lo keren banget punya pengawal gitu, emangnya dia orang kaya?" cibir Merta.

Pras menelan salivanya. "Dia anaknya Tuan Riyadi dan satu-satunya pewaris tunggal semua aset Amara grup."

Merta membuka mulutnya. "Yakin lo? kabarnya anak Tuan Riyadi udah meninggal?"

"Nggak, Ta. Adara itu anak semata wayangnya Tuan Riyadi dan dia masih hidup."

"Gue gak nyangka lo punya istri borjuis gitu," beberapa kali Merta menggelengkan kepalanya.

Seseorang menepuk pundak Pras. Pras menoleh. "Pras," panggilnya.

"Gue kira kalian gak bakal dateng," Tino dan Rian menggeleng.

"Rugi lah Pras gak dateng. Siapa tau temen Merta bening-bening, gue 'kan bisa comot atu," Rian menaikkan alis kirinya ke atas.

"Comot? Lo kira makanan?"

"Hahaa... cewek bro, cewek."

"Pras, wuih istri lo keren banget punya pengawal," puji Rian.

"Istri lo mana?"

"Tauk, males gue," ujar Pras acuh.

Tino menyapu pandangannya pada ruangan sekitar. Ia melihat Adara duduk sendirian di sofa. Ia menghampiri Adara dan hendak menjabat tangannya. Adara hanya menangkupkan tangannya.

"Lo istri Pras ya?" Tanya Tino. Adara mengangguk.

Tino duduk di sampingnya. 'Cantik.' Batin Tino.

"Lo sabar banget ya ngadepin suami lo yang cuek gitu sama lo," cibir Tino. Adara diam tak menyahut.

"Mestinya lo protes kalo laki lo gitu, jangan diem aja. Gue jadi kasian bukan sama lo tapi sama Pras. Gue tau di balik cadar lo, lo cantik, lo kaya. Sayang mata Pras masih rabun. Kalo gue gak punya calon istri, dah gue rebut lo dari suami macem Pras itu," ujarnya asal.

Adara masih saja terdiam. Memang selama ini Pras seringkali mengacuhkannya. Berbicara sekenanya padanya. Semua itu Adara terima walau sebagian hatinya terasa ngilu. Matanya berkabut. Sikap Pras memang sangat menyakitinya tapi ia sudah terbiasa dan ia sudah membiasakan diri.

Pras tak sengaja menoleh ke arah Adara. Ia menoleh lagi, ada Tino sedang mencoba merayu istrinya. Entah kenapa ada rasa kesal di hatinya. Sikapnya mulai tidak tenang. Beberapa kali ekor matanya melirik ke arah Adara dan Tino. Ia tahu Adara diam saja, tapi Tino seolah mencoba mengakrabi istrinya.

Langkahnya menuju ke arah Adara berada. "Ekhm... " Pras berdehem singkat. Adara mengangkat wajahnya. Ia bangkit dan berlalu dari tempat itu. Ia tidak mau ada kesalahpahaman pada Pras. Ia tidak mau berdebat lagi. Bagaimana pun kuatnya dirinya. Dirinya hanya manusia biasa yang mempunyai rasa lelah.

Adara berlari kecil ke luar ruangan. Ia menemui pengawal pribadinya yang berjaga di gerbang. "Anterin aku pulang," perintahnya.

Beberapa pengawal mengangguk dan membawanya pulang. Dua mobil membuntuti di belakangnya, sedangkan Adara hanya bersama sopir di depan dan ia duduk di jok belakang.

Adara menangis dalam diamnya. Cadarnya basah oleh air mata.

"Kau menantangi hamba Ya Allah dengan berbagai ujian? Dengan rahmatMu yang Maha Kuat, hamba memohon kekuatan, La haula Wa la kuwwata illa biLlah.' Batinnya berbisik.

Pras mencoba mengejar, namun mobil Adara sudah melesat jauh dengan cepat.

"Aaarrrggghhhhhh...!!!" teriaknya kesal. Ia menjambak rambutnya sendiri.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top