18. Alasan Pernikahan
"Apa aku buatin Mas kopi dulu?" tawar Adara.
"Boleh," jawab Pras singkat.
Pintu kamar Pras yang terbuka sedikit Pras dorong. Ia terkejut mendapati Papa dan Mama Pras di depan pintu berdua sedang tertunduk dengan fokus.
Mereka tak kalah terkejutnya melihat Adara berdiri di ambang pintu.
"Papa? Mama? sedang apa di sini? Papa sama Mama ada perlu dengan Pras? Bentar... " Adara masuk kembali ke kamar tanpa bisa dicegah oleh Andi dan Devika.
"Ra, Adara..., yah Adara keduluan masuk, Pa. Gimana dong? Pras marah lagi," cemberut Devika.
"Mas, Papa sama Mama di depan pintu. Mungkin mereka ada perlu sama Mas," ujar Adara. Pras diam dan melangkahkan kakinya menuju pintu.
Di luar dugaan Andi dan Devika, ternyata Pras malah tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. Andi, Devika dan Adara melongo.
"Gue tau, Papa sama Mama nguping ya? Masuk aja sekalian, kita gak ngapa-ngapain," tebak Pras.
"Ng-nggak ya Pa, kita gak nguping orang kita mo nyamperin Adara, anak kita yang cantik, ya kan Pa?" Manja Devika pada Andi.
Adara tersenyum geli. Pras menoleh pada Adara.
"Gue heran deh sama bokap nyokap gue. Jodoh, sama-sama sarap. Lo Adara jangan ikut sarap kayak mereka. Kalo nggak, bisa jadi keluarga sarap kita," cibir Pras.
Adara memberanikan diri memukul lengan Pras. "Mas, gak boleh ngomong gitu sama orang tua," tegur Adara.
"Biarin, punya orang tua sarap."
"Cie ciee Pa, Mama barusan denger Pras bilang keluarga kita sama Adara, kayaknyaa... sinyal mo punya cucu makin dekat," goda Devika.
Adara menggelengkan kepalanya melihat tingkat tiga makhluk yang disatukan dengan nama keluarga itu.
"Pa, Ma, Adara mau ke dapur dulu ya. Adara mau buat kopi buat Mas Pras," Adara dengan sopan pamit ke dapur yang diikuti anggukan Andi dan Devika. "Papa minta kopi juga?" Tawar Adara.
"Papa gak ngopi, Nak. Mama aja buatin, Mama pecinta kopi," sahut Andi.
"Oiya, Pa," Adara lanjut ke dapur.
Devika menarik lengan suaminya masuk ke dalam kamar Pras.
"Pras, ngapain aja kamu sama Adara?" Tanya Mamanya kepo.
"Gak ngapa-ngapain, Adara cuma bantuin aku bungkus kado buat Merta. Dia besok ulang tahun."
"Adara diajak kan, Nak?"
Pras mengangguk. "Pa, kayaknya anak kita udah mulai lirik menantu cantik,hihii... " kekeh Devika.
"Nggak Ma, terpaksa. Dari pada Pras sendirian diganggu sama wanita-wanita kadal mending Pras punya gandengan."
"Ih Pras gak asyik ah, gak kayak Papa dulu. Ekhmm... Papamu tu so sweet banget, romantis gitu Pras, ya kan Pa?" Devika dengan manja bergelayut di lengan Andi. Andi mengangguk.
"Papa dulu gak salah cari istri? Kok bisa Pras punya Mama gini?" Cibir Pras. Devika memukul lengan Pras kesal.
"Jangan jadi anak durhaka, ya Pras. Mama kutuk jadi suami sholeh kamu! Yang sayang istri dan anak," Devika kembali cekikikan.
Pras memutar bola matanya malas melihat mamanya yang labil.
"Pras, jangan liat seseorang dari luar. Kamu tahu kenapa Papa gak pernah selingkuh atau sekedar lirik wanita lain?" Pras menggeleng mendengar pertanyaan Andi.
"Karena Mamamu istri idaman. Mamamu centil dan manja, Mamamu juga suka merawat diri, setia dan memenuhi semua kebutuhan Papa. Apa lagi yang kurang dari Mamamu? Buat Papa, cuma Mama Devika, wanita tercantik dalam hidup Papa," seru Andi membanggakan istrinya.
Devika semakin mengeratkan dekapannya pada Andi. "Makasih ya suamiku sayang. Udah bela pendamping hidupmu di depan anak yang belum tahu nikmatnya berumah tangga," sindir Devika sembari terkekeh pelan melihat Pras yang tambah merengut.
"Dramanya udah, Papa dan Mama sayang?"
Adara masuk membawa dua cangkir kopi di atas nampan.
"Ini kopinya, Mas, Mama," Adara meletakkannya di meja.
Yang disebut langsung menyeruput kopi panas secara perlahan. "Wah, asli enak banget kopi buatan menantu mama yang cantik, emm... Adara kamu memang sempurna sayang," puji Devika sambil mengusap kepala Adara. Adara tersipu malu.
"Pa, Ma, keluar deh. Pras pengen ngobrol sama Adara," tukas Pras.
"Iya deh iya, Mama sama Papa keluar. Yuk Pa, jangan diganggu yang lagi pengen mesra-mesraan," goda Devika. Mereka lanjut keluar kamar.
***
Pras dan Adara memandangi hamparan bumi dari balkon kamarnya.
"Kenapa lo gak pernah cerita kalo lo itu si kecebong?" Tanya Pras sambil menyeruput kopinya.
Adara menggeleng. "Aku gak tahu, Mas."
"Gak tahu apanya?"
Adara tertunduk pilu. "Jujur, aku pernah mengalami hal yang paling membuatku hampir mati. Sejak itu aku belajar melupakan semuanya. Dan aku bahkan terbiasa tidak mengingat apapun lagi," Adara tertunduk pilu.
"Apa itu?"
"Aku gak bisa cerita. Maafkan aku, Mas."
"Baiklah. Tapi lo masih ingat kan kejadian kecebong sama orang yang lo panggil Kak Setia?"
"Aku inget semuanya, tapi semuanya sudah berlalu."
"Apa itu gak penting buat lo?"
Adara hampir menitikkan air mata tapi ditahannya. "Aku mohon, Mas. Jangan ungkit lagi masa lalu. Aku sudah menutupnya," harap Adara.
"Baiklah. Gue menghargai privasi lo," tukas Pras.
"Apa aku boleh kembali ke kamar, Mas?"
Pras seolah berpikir. "Baiklah."
Adara bangkit dan berlalu ke kamarnya.
Pras terus memandangi hamparan bangunan di hadapannya. Ia terdiam memikirkan Adara. "Kenapa tu anak jadi diem gue bahas masa lalunya? Apa dia masih sedih soal orang tuanya? Gue aja gak bisa bayangin hidup tanpa kedua orang tua," gumamnya sendiri.
Berbeda dengan Pras, Adara memilih menunduk dan menangis sejadinya. Ia segera meraih air wudhu yang batal sejak tadi dan menghamparkan sajadahnya. Sajadah, sahabat setia yang menemaninya bersujud pada Sang Kuasa.
Dalam sujud Adara menangis. Menangis sejadinya.
"Jika itu jalan hamba untuk bisa dekat denganmu, hamba ikhlas Ya Allah. Jiwa dan raga ini milikMu, Ya Allah." Lirihnya dalam doa.
***
"Kenapa Mama sama Papa gak pernah cerita soal Tante Maya dan Om Riyadi yang udah wafat?"
Andi dan Devika saling berpandangan. Wajah mereka tiba-tiba kelu.
"Kita ngadepin hal yang gak mengenakkan waktu itu, Pras."
"Apa?"
"Bu Haniyah yang kamu temui tempo hari di rumahnya. Dia itu punya suami, namanya Pak Haryu. Pak Haryu ini ngefitnah Papamu ngambil uang perusahaan milik Riyadi, Haryu itu pengacara utama Riyadi," jelas Devika.
"Apa?!"
"Iya Pras. Haryu nuduh Papa ngambil uang perusahaan Riyadi," sahut Andi.
"Bagaimana bisa? Papa sama Om Riyadi kan punya perusahaan masing-masing. Gimana bisa suami Bu Haniyah itu nuduh Papa?"
"Om Riyadi itu perusahaannya besar. Usahanya sukses. Papa sama Om Riyadi kerja sama waktu itu. Kerja sama tentang proyek pembangunan mall di Bandung. Gak tahu gimana ceritanya, Papa difitnah."
"Dan Om Riyadi percaya?"
"Gak, sama sekali Om Riyadi gak percaya. Tapi Om Riyadi gak berkutik saat semua data mengarah ke Papa. Hanya saja waktu Papa mau ditangkap sama polisi dengan alasan gratifikasi ke karyawan yang dukung Papa. Om Riyadi mencabut tuntutan dan meminta Papa dibebaskan," jelas Andi.
"Iya Nak. Waktu Om Riyadi dan Tante Maya dikabarkan kecelakaan dan meninggal di tempat, Papa sama Mama udah mau ke sana. Tapi si Haryu itu ngelarang kami masuk," timpal Devika.
"Papa sama Mama cuma bisa bersedih dari sini. Dan kami gak cerita ke kamu karena kamu kan lagi sekolah di luar kota, Nak," lanjut Devika.
"Trus kenapa Mama gak cerita kalo Adara itu anak Om Riyadi sama Tante Maya?"
"Mama sama Papa juga gak ngerti, Nak, kalo dia itu Adara anak Maya, kita taunya pas pengacaranya yang sekarang ngasi tau kalo menantu cantik kami itu anaknya Maya."
"Aku memang dengar Bu Haniyah sudah bercerai dengan suaminya."
"Yang aku dengar juga Haryu itu nikah sama Haniyah cuma buat manfaatin Haniyah karena Haniyah itu sudah seperti keluarga Riyadi."
"Kami juga punya alasan kenapa kami menikahkanmu dengan Adara setelah kami mengetahui siapa dia," sahut Andi.
"Jadi Mama sama Papa sudah tahu tentang Adara sebelum kami nikah?" Tanya Pras.
"Sebenarnya Papa sama Mama awalnya gak setuju kamu nikah sama Adara waktu Sang Guru nyuruh kami nikahin gadis pake cadar dengan anak kami, Mama takutnya kamu malah lari walaupun diiming-imingi warisan," wajah Devika tertunduk.
"Tapi waktu kami tahu dia Adara, teman masa kecilmu, kami menerimanya. Dia keturunan orang yang baik dan sukses, Pras. Dia pasti cocok denganmu. Sejak sekolah dulu, dia anak cerdas."
"Dan kami yakin pada akhirnya kamu akan bisa menerimanya. Lagi pula anaknya sholehah pasti kamu bahagia sama dia."
"Tapi seharusnya Mama cerita kalo dia Adara si kecebong."
"Mama sama Papa yakin kamu tambah gak bakalan mau. Kan kamu sendiri yang bilang gak mau dijodohin dengan relasi Papa."
"Papa takut kamu nyangka kami jodohin kamu karena harta, Pras."
"Harta?? Bukannya Adara udah jatoh miskin dan hidup sebatang kara?"
"Tau dari mana kamu?"
"Bu Haniyah pernah cerita kalo suaminya yang bawa semua hartanya. Bu Haniyah sendiri yang cerita sambil sujud-sujud minta maaf karena kesalahannya."
"Memangnya sesederhana itu dia ngambil semua harta?"
"Maksud Papa?" Tabya balik Pras. Andi dan Devika terkekeh.
"Bahkan koruptor sekalipun bisa terendus oleh anak buah Riyadi. Percuma dia sukses tapi bodoh. Dia dulu mendiamkan Papa sewaktu Haryu menuduh Papa, sebenarnya dia tahu Papa gak bersalah. Dia masih mencari tahu kelemahan Haryu untuk mengusirnya. Beruntung Haryu menikah dengan Haniyah jadi Haryu tidak langsung didepak oleh keluarga Riyadi."
"Jadi semua harta Adara masih aman, Pa? Lalu kenapa Adara...?"
"Itulah hebatnya istrimu, Nak. Dia sederhana dalam segala hal," puji Andi.
"Riyadi pengusaha sukses. Berbagai usaha selalu ia coba. Dan hampir semua usahanya berjalan sesuai harapan. Mulai dari mencoba usaha perhotelan dan transportasi di bali sampai real estate yang ada di sepanjang tanjung di Singapura. Dia juga punya usaha produksi daging halal dan bagus yang ia jual di dalam negeri dan ekspor ke luar negeri. Oya dia juga punya usaha media pertelevisian dengan banyak sponsor. Apa dia kurang kaya menurutmu?" Tanya Andi. Pras hanya diam tak bersuara.
"Jangan sia-siakan Adara, Nak. Kau tahu sampai saat ini dia pemegang kunci semua kekayaan Riyadi. Cuma dengan persetujuannya semua usahanya berjalan dan semua itu ia kendalikan sendiri. Jelasnya, tanpa sepengetahuanmu."
"Apa Papa berminat dengan semua harta Om Riyadi itu?"
"Bukan Papa, tapi kamu dan anak-anakmu kelak akan bahagia berkecukupan dengannya kelak. Camkan itu!"
Devika mendekati Pras. "Nak, memang harta bukan segalanya. Tapi sebagai manusia kamu juga masih butuh harta. Kodratmu, Nak."
Pras diam mencerna ucapan kedua orang tuanya.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top