12. Pertolongan-Mu


"Mas, aku boleh ijin gak?" Adara duduk di samping Pras. Pras tetap asyik mengubah channel tivinya.

Ia melirik Adara sejenak. "Mo ke mana lo?" tanyanya sengit.

"Aku mau ke mushola. Diajak ikut pengajian ibu-ibu sama Nenek Karsimah. Kalo boleh, entar Nenek Karsimah jemput aku ke sini."

Pras menoleh. "Gue heran sama lo, otak lo taro di mana sih? Gak jera lo dibilang teroris sama mereka?"

"Karena aku gak seperti itu, jadi apa yang mesti dijera'in mas?"

"Entar lo dibilang teroris lagi, nangis," ejeknya.

Adara menggeleng. "Karena mereka belum kenal aku, Mas. Kalo mereka kenal, mereka akan tahu gimana aku," sanggahnya meyakinkan Pras.

"Serah lo deh! Gue curiga lo mo nemuin ustadz gak jelas itu," tuduhnya pada Adara.

"Nggak, Mas. Ngapain juga. Lagian aku udah punya suami yang baik." Adara memberi penekanan kata baik dengan maksud menyindir.

Pras mendengus kesal. Adara berdiri melangkahkan kaki hendak ke depan rumah. "Bagus bener istri baik, gak salim lo sama suami baik?" Pras malah memberi penekanan balik.

Hati Adara campur aduk. Selama menikah hanya sekali waktu selesai akad saja ia menyentuh tangan Pras. Ia meraih tangan suaminya lalu menciumnya.

'Mas Pras mulai aneh.'

Nenek Karsimah baru sampai di rumah Adara. Ia memilih jalan kaki di usia senjanya itu.

"Nenek kenapa gak minta jemput mobil aja kalo gitu?"

"Adara, kalo dari muda kebiasaan naik mobil terus, nenek gak akan kuat jalan di usia sepuh ini."

Adara tersenyum. "Iya, Nek." Dia membenarkan ucapan Nenek Karsimah.

Mereka berjalan kaki menuju mushola yang letaknya sekitar 300 meter dari rumah Adara.

Sesampainya di mushola, seperti biasa para ibu sudah berkasak-kusuk melihat Nenek Karsimah bersama wanita bercadar di sampingnya.

"Kena pelet apa ya sampai Nenek Karsimah mau jalan sama teroris," bisik mereka.

"Ih tambah begidik gua. Pengaruh tu orang kuat banget."

"Jangan-jangan dia juga pake ilmu hitam lagi."

"Iya, Bu. Wah gawat. Kalo ilmu hitam kan minta tumbal. Gimana kalo anak-anak kita yang kena. Uuu ... jangan sampek deh."

"Pak RT ke rumahnya aja gak mempan."

"Ya harus kita sendiri yang ngomong lah, Buk."

"Nah kalo kita sendiri kena guna-guna, gimana?"

Ibu-ibu berbicara tambah ke mana-mana. Bisik-bisiknya mirip ular yang mendesis.

Seorang ketua pengajian datang ke tengah-tengah mereka.
"Huss huss, sudah, sudah, orangnya udah masuk. Udah yuk liat ke depan," ia menghentikan para ibu pengajian yang sedang bergosip ria.

Adara duduk di samping para ibu pengajian. Sementara Nenek Karsimah maju ke depan. Ia menuju ke mimbar di depan.

Setelah membetulkan letak mikrofon, sang nenek memulai ceramahnya. Sedikit banyak ia punya suatu niatan ingin memperkenalkan Adara pada semua warga terutama ibu-ibu yang sering menggosipnya.

"Seperti yang kita tau di sini bahwa kita kedatangan tetangga baru. Namanya Adara Prasmaya. Kalian boleh bersalaman dengannya," jelas Nenek Karsimah.

Seperti layaknya anak buah yang diperintah komandan, mereka langsung bersalaman dengan Adara. Hanya saja raut muka mereka masih menampilkan mimik wajah tak bersahabat.

"Adara, itu panggilannya. Saya harap kalian tidak memanggilnya seorang teroris. Apa kalian mau dihukum oleh Allah atas ucapan tak berdasar kalian?" Semua terdiam mendengar pertanyaan Nenek Karsimah.

"Dia gadis yang kuat. Mata batin saya mengatakan itu. Mata batin saya tidak pernah menilai dia seorang teroris, justru dia wanita sholehah dan kalian bisa belajar agama darinya," tunjuk Karsimah pada Adara. Semua ibu yang hadirin kebanyakan tertunduk.

"Falaa tuzakku anfusakum, huwa a'lamu bimanittaqoo."

Suara merdu Nenek Karsimah melantunkan sebuah ayat.

"Qur'an surah An-Najm ayat tiga puluh dua, yang artinya adalah maka jangan merasa dirimu suci, Dialah Allah Yang paling tahu tentang orang yang bertakwa. Jangan menilai sesuatu dari kulit luar karena hanya Allah satu-satunya Yang mengetahui segala isi hati, waLlaahu aliimum bidzaatish shuduur."

Penjelasan Nenek Karsimah membuat para ibu terdiam karena malu dan karena lantunan sepotong ayat di akhir ucapannya.

Adara berlinang air mata dalam diamnya. Ia tertunduk dan hatinya berbisik, 'Ya Allah, Kau menolong hamba-Mu yang lemah ini melalui hamba-Mu yang sholeh, hamba tak perlu sedih lagi, karena pertolonganMu sangatlah dekat.'

"Para ibu sekalian saya harap setelah ini tidak ada lagi fitnah yang menimpa orang lain karena taqlid buta kalian," lanjut Nenek Karsimah.

Nenek Karsimah mengucap salam dan setelah itu kembali ke tempat duduknya di dekat Adara.

"Nak Adara, ibu minta maaf ya?" Seorang ibu menemui Adara dan meminta maaf.

Ibu-ibu yang lain pun menyusul. "Mbak Adara, maafin saya ya?"

"Saya juga minta maaf."

Para ibu yang hadir bersalaman dengan Adara. Adara benar-benar terharu. "Semua ini berkat Nenek, makasih ya, Nek?" ucapnya berterima kasih pada Karsimah saat para ibu pengajian sudah banyak yang pulang.

"Tidak, Nak. Kamu percaya Allah, 'kan? Dialah yang menuntun setiap hamba-Nya, begitu pula apa yang saat ini Nenek lakukan, berterima kasih-lah kepada Allah."

Nenek Karsimah tersenyum seraya mengelus puncak kepala Adara.

Mata batinnya sudah tahu apa yang pernah dialami Adara. Ia berpikir bahwa Adara adalah wanita yang sangat kuat.

"Pesen Nenek, lupakan masa lalu yang selalu membayangimu sekarang. Lupakan semuanya. Bukankah Allah sudah menutupnya?"

Adara tercengang, "Nenek, tahu?"

"Aku tahu, Allah Yang memberitahuku."

Adara menangis lalu memeluk Nenek Karsimah. "Sabarlah, Nak," lanjutnya.

***

Malam itu temaram lampu di taman belakang tidak terlalu terang. Memang sudah di atur sedemikian rupa oleh si empunya agar menambah kesan eksotis di taman belakang.

Semua penghuni rumah sudah tertidur pulas. Semua kamar pelayan di rumah megah itu sudah gelap. Tanda alam mimpi yang saat ini sedang mereka kunjungi.

Selepas melaksanakan sholat tahajud, Adara duduk di sisi kolam. Ia tertunduk dan memejamkan matanya seraya membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an yang dihafalnya. Ia sengaja melepas cadarnya karena ingin menikmati udara malam dengan leluasa.

Bibirnya tak henti mengucapkan takbir, tahlil, tahmid dan tasbih.

Agak lama terduduk, Adara bangkit hendak menuju kamarnya. Ia memasang cadarnya lagi.

Saat berbalik ia terkejut karena Pras sudah berdiri di depannya. Hampir saja ia menabrak dada bidang Pras.

"Mas? Ngapain di sini?" tanya Adara heran karena Pras hanya mematung.

"Gue, gue lagi liatin lo. Lo sendiri ngapain di sini?"

Bau alkohol menyeruak dari mulut Pras. Adara menahan penciumannya.

"Lagi duduk-duduk."

Pras memutar tangan kiri untuk melihat jam tangannya. "Jam setengah tiga malem lo duduk-duduk di sini? Gue jadi curiga, jangan-jangan lo turunan dedemit."

Adara memilin ujung hijabnya. "Papa mamaku manusia, Mas."

Ia berlalu dari hadapan Pras sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ada-ada saja suaminya mengatakan dirinya turunan dedemit.

Ia menghentikan langkahnya dan berbalik pada Pras. "Sekali-kali kurangi minuman beralkohol itu, Mas, Mas mau mati muda?" sindirnya.

"Serah gue."

"Cuma ngingetin."

"Gak perlu, bukan urusan lo." Nada Pras dingin.

Adara lelah berdebat dengan suaminya. Ia segera berlalu ke kamarnya.

"Tunggu!"

Adara menghentikan langkahnya seketika. Ia tak berbalik, hanya diam di tempat. Ia tak mau berdebat lagi.

"Lo! Dara?" Pras memicingkan matanya.

Adara tersentak dan mematung. Ia tak menyangka suaminya akan secepat itu mengetahui dirinya. Ia memejamkan matanya pasrah.

'Mungkin ini jalan dari Allah, biarlah yang terjadi, terjadilah. Andaikan suamiku semakin membenciku, aku akan ikhlas,' bisik hatinya.

Adara berbalik dan menatap tajam ke arah Pras. "Ah gak, lo bukan Dara, Dara cantik gak kayak lo, kampungan," ujarnya santai. Gerak tubuhnya masih terlihat kelimpungan karena pengaruh alkohol.

"Gimana Mas bisa bedain antara Dara dan Adara. Sementara Mas sendiri masih mabuk. Hentikan dulu mabukmu, Mas. Baru Mas bedakan, aku Dara atau Adara," sanggahnya sengit.

"Makin hari, lo makin berani aja ya sama gue. Gue suami lo!"

Adara tak menyahut. Setengah berlari, ia melangkahkan kakinya ke kamar.

***

Pras mengerjapkan matanya perlahan. Adara sudah berdiri di dekatnya. Ia terkejut.

"Hahh! pagi-pagi juga. Gue kira lo hantu berjubah hitam."

Pras mengucek kedua matanya lalu menyibak selimut.

"Aku taruh kopi di atas nakas. Kalo Mas bangun bisa langsung minum," ujar Adara seraya menujuk secangkir kopi di samping tempat tidur suaminya.

"Lo ngapain masuk-masuk kamar gue?" Masih saja Pras sengit.

"Tadi kamar kebuka sedikit. Sepertinya semalem Mas lupa mengunci pintu. Maaf, Mas. Aku masuk tanpa ijin karena ini udah siang. Aku pikir Mas pingsan karena kebanyakan minum."

"Enak aja lo ngomong gue pingsan habis minum. Gue gak secemen itu. Gue bangun siang capek habis kerja seharian kemaren."

"Ya sudah, Mas cepetan mandi. Setelah itu minum kopinya."

***

Setelah membersihkan dirinya, Pras mengambil kopi di atas nakas dan meletakkan di atas meja balkon.

Pras menghisap kopi panas itu sedikit demi sedikit. Ia mengakui baru merasakan kopi senikmat ini dari tangan sang istri.

Duduk di balkon depan kamarnya sambil membaca koran menjadi aktivitas minggu paginya. Seharusnya, ia lari pagi. Namun karena bangun siang, ia mengurungkan niatnya.

Ia masih tak mengerti kejadian semalam. Bagaimana bisa Adara berubah wujud menjadi Dara. Separah itukah perasaannya pada Dara sampai ia merasa sang istri seperti Dara.

Ia menggelengkan kepalanya sejenak. Lalu membakar ujung sebatang rokok. "Gue benar-benar gak ngerti sama lo, Ra. Kenapa sampe sekarang gue belum bisa lupain lo. Lo udah ilang dari gue, tapi bayangan lo gak pernah bisa ilang juga."

Pras menghisap rokoknya dan menghembuskannya ke atas.

"Istri gue yang kampungan itu aja bisa berubah wujud jadi lo. Gue heran, Ra. Lo ada di mana sekarang," ucapnya sendirian.

"Ekhm ...." Adara berdehem singkat di belakang Pras. Pras menoleh.

Istrinya sudah berdiri di ambang pintu yang membatasi kamar dan balkon.

"Lo masuk kamar gue sembarangan lagi?" Pras sengit.

"Aku tadi ketok-ketok pintu, tapi Mas Pras gak denger. Makanya aku masuk aja."

"Mo ngapain lo? Betah banget di kamar gue. Sampai kapan pun jangan harap lo bakal bisa tidur di kamar ini!"

Adara tertunduk. Entah kenapa rasa perih menyayat hatinya. Ia menghempaskan perasaannya seketika. Bukankah sang suami sudah terbiasa menghardiknya.

"Mas, aku cuma mau ijin pulang kampung. Ibuku sakit dan aku harus jaga ibu. Dia sendirian di sana."

"Kampung? Lo ngomong gitu seolah lo itu babu gue. Bagus! Emang itu yang gue harepin. Sekalian lo gak usah balik!"

Adara sudah terbiasa dengan makian suaminya. Ia menekan dadanya pelan.

"Ya sudah, makasih Mas."

Bersambung.

Situbondo, 29 Maret 2017.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top