10. Kalian Di Mana?
"Nyonya, sebaiknya Nyonya Adara gak usah belanja. Biar saya saja yang belanja ke pasar," tawar Inem yang disambut senyuman oleh Adara.
"Kemaren Bik Inem gak enak badan. Biar saya aja yang belanja di depan. Baru nanti sore saya ke pasar," dengan lemah lembut ia menolak tawaran Inem.
"Tapi, Nyonya ...."
Adara mengernyitkan keningnya. "Tapi kenapa?"
"Itu, ibu-ibu ...."
Raut wajah Inem terlihat khawatir. Ia takut ibu-ibu yang beli sayur akan melukai perasaan majikannya itu lagi.
"Soal fitnah itu? Bik, apapun yang orang katakan pada kita, jangan pernah merubah keadaan kita sendiri. Biarlah mereka berpendapat. Toh, Allah Yang tahu bagaimana kita," Adara memegang pundak Bi Inem. "Bik Inem santai aja. Aku nggak pa-pa kok." Adara tersenyum dan berlalu membawa keranjang belanjaan.
Bayangan Adara hilang dari balik tembok dapur. Bik Inem mengelus dadanya pelan.
"Ya Allah sabarkan Nyonya Adara. Dia wanita yang sabar. Ujian gak berhenti nimpa dia." Bik Inem menghela nafasnya pelan.
***
"Pak, daging ayamnya dua kilo sama sayur sopnya ya, Pak. Sekalian sawi sama lombok." Jari telunjuk Adara sibuk memilih bahan makanan yang dijual pak sayur.
"Ayamnya tinggal sekilo, Neng?" Ujar pak tukang sayur-Pak Tini.
"Iya sudah, Pak. Sekalian tambahi daging sapi aja, Pak."
Adara nampak antusias memilih bahan makanan. Kali ini ia berencana masak dendeng sapi sama kari ayam. Ditambah sayur sop. Dalam hati ia bahagia karena sang suami menyukai masakannya.
"Masak apa, Neng?" tanya salah satu ibu di depan Adara. Adara tersenyum.
"Masak kari sama dendeng, Buk."
"Banyak banget masakannya?" tanya ibu yang lain.
"Iya, Bu. Ini untuk makan siang sama malem."
Si ibu-ibu celingukan. "Suaminya mana, Neng?"
"Siap-siap berangkat kerja, Buk."
Ibu-ibu kembali berkasak-kusuk. Adara hanya diam memaklumi.
"Kerja di kantoran ya, Neng? Gak curiga apa suami Neng jadi anggota teroris gitu ya? Makanya Neng disuruh pake cadar. Biasanya 'kan di tipi-tipi gitu, ya 'kan, Buk?" tanya ibu itu pada ibu-ibu di samping kanan kirinya. Mereka semua mengangguk.
"Iya, Jeng. Di tipi tu ya teroris rata-rata istrinya pake cadar. Begidik gua jadinya tetanggaan ma orang model gini." Ibu itu berucap dengan memasang tampang mencibir.
"Hati-hati aja, Neng. Bukannya apa-apa, suami istri itu harus saling menasehati, sama-sama ngingetin." Ibu yang lain menimpali dengan gaya menceramahi.
Adara diam. 'Kenapa jadi suamiku yang dibawa-bawa?'
"Iya betul tu, Neng."
Adara terpejam menahan emosi. Bagaimana pun juga, ia hanyalah manusia biasa-gadis akhir zaman yang banyak kekhilafan.
"Buk, sebenarnya sebelum kami menikah, saya sudah memakai cadar dan pakaian tertutup ini. Justru suami saya malah menyuruh saya membukanya, tapi karena ini prinsip saya, jadi saya menolak. Jangan salahin suami saya. Sebaiknya Ibu koreksi dulu sebelum bicara." Raut wajah Adara terlihat marah. Rasanya mereka tak pantas mencampuri urusan rumah tangganya.
"Apa gak kualat suami dah suruh buka, belum dibuka juga.''
Adara tak menghiraukan ucapan ibu-ibu. Apapun ucapan mereka, takkan kan mempengaruhi iman Adara.
Adara segera berlalu dari tempat itu daripada harus berlama-lama bersama para perempuan yang tidak memiliki hati nurani dalam berucap.
Adara mendesah pelan. Ia sadar begitu banyak cobaan yang harus ia hadapi selepas berhijrah dan berhijab.
Dalam benak, ia hanya ingin menjadi seorang muslimah kaffah. Dalam hati ia bertanya, apakah salah jika dia berubah? Tidak. Ia tahu dirinya tidak bersalah. Hanya orang-orang yang tidak mengenalnya dan tidak mengenal ajaran yang ia yakini saja yang memandang rendah dirinya.
***
Di balkon kamarnya, Adara terduduk sendiri. Senja saat itu ramai dengan suara Qiro'atil Qur'an. Suara rekaman lantunan ayat-ayat suci seorang qori' terdengar menentramkan hatinya.
Adara yang memang sudah hafal separuh isi dari Al-Qur'an mengikuti lantunan ayat itu.
Sekelebat bayangan orang tuanya hadir memenuhi isi kepalanya.
Saat itu ....
"Dara, mama mau ke airport jemput papa kamu."
Mama Dara terlihat terburu-buru memasukkan dompet dan ponselnya ke dalam tas.
Dara saat itu sedang menonton drama korea kesukaannya. Ia asyik mengunyah cemilan yang tadi siang ia beli dari minimarket.
Dara menoleh pada sang mama. "Ngapain dijemput, Ma. Papa 'kan bisa dijemput sopir?"
"Dara, kamu kayak nggak ngerti papa kamu aja. Dia kan manja banget harus mama yang jemput."
"Hati-hati ya, Ma."
"Iya, Ra. Kamu juga hati-hati, Nak. Kamu gak keluar malem ini?"
"Bentar lagi Prity jemput aku."
Dara kembali menatap layar di depannya. Ia menyuapkan beberapa cemilan ke dalam mulutnya lagi. Kakinya ia selonjorkan ke atas meja.
"Ra, mama berangkat dulu ya?"
Mama segera masuk mobil diantar sopir.
Tak lama berselang, sahabatnya-Prity datang.
"Enak banget hidup lo kek tuan putri," ujarnya di belakang Dara.
Dara terkekeh. "Tuan putri dari mana? Biasa aja."
Prity ikut mencomot kripik kentang di tangan Dara.
"Jadi kan malem ini kita ke konser Bruno Mars?"
"So pasti, ayuk! Eh bentar ganti baju dulu."
Dara naik ke lantai atas. Kaki jenjangnya menaiki tangga yang meliuk ke arah kamar.
Kamar yang berukuran luas. Tema girlish mewarnai aksen kamarnya. Jendela bingkai ukiran yang indah bermotif bunga senada dengan gorden yang berenda bunga dan bermotif kupu-kupu. Warna peach menjadi warna pilihan yang mendominasi kamarnya.
Selepas berganti pakaian, ia meraih dompet dan ponsel pintarnya dan dimasukkan langsung ke dalam tas.
Celana jeans pendek dan sweeter lengan panjang menjadi busana pilihannya malam ini. Assessoris kalung dari kulit kerang ia kenakan. Rambutnya yang ikal panjang ia gerai begitu saja. Tak lupa ia merias wajahnya dengan make-up minimalis khas teen.
Ia selempangkan tas warna cokelat di bahu. Flat shoes senada dengan sweeter. Cukuplah menjadikan dia gadis yang cantik.
Prity tersenyum melihat penampilan sahabatnya-Dara.
"Lo cantik banget, Ra. Pantes aja banyak cowok ngintilin elo, tapi kenapa sampe sekarang lo masih jadi jomblo karatan?"
Adara tertawa lebar. "Apaan lo, emang gue besi, bisa karatan. Lagian nih ya kata papa mama, gue gak boleh pacaran."
"Dih, jaman sekarang gak pake pacaran? Apa kata dunia, Ra?"
"Gue gak pernah dengerin kata dunia. Bodo!"
Mereka masuk ke dalam mobil yang dibawa Prity.
"Ra, gue udah putus sama si Pras."
Dara diam. Ia ingat kejadian malam itu di atas jembatan. Pras malah menyatakan suka padanya padahal status Pras masih menjadi pacar Prity waktu itu. Masa bodoh dengan kata "paksaan" toh Pras menyetujui kesepakatannya dengan Prity.
"Ra, lo dengerin gue gak sih?" Prity mendecak kesal sambil memukul pelan setirnya.
"Fokus Pret sama kemudinya. Gue gak mau mati muda."
"Habis, gue cerita, lo malah bengong."
Dara sempat gelagapan, tapi kemudian ia menormalkan ekspresi wajahnya.
"Ehm ... nggak. Gue cuma heran sama lo, kenapa gak cari cowok laen aja. Gue yakin di luar sana masih banyak cowok yang ngejer lo." Adara beralasan.
"Itu dia, Ra. Gue suka gaya tu cowok. Cool abis. Jutek sama cewek dan yang pasti nih ya walopun dia gantengnya gak ketulungan mana pernah dia tepe."
"Apaan sih ngomongnya pake tepe segala."
"Etdaah ... tepe tu tebar pesona. Cowok, kerenan dikit aja langsung gayanya, becgh ... kek artis pendatang baru gitu."
Adara tertawa lebar mendengar celotehan sang sahabat.
"Gue kira paan. Dasar abg labil lo!" Adara malah sibuk memainkan ponsel.
Tubuhnya menegang seketika, saat mendengar notif line berbunyi. Dara membacanya sebentar. Namun langsung ia hapus.
Prasetya Anggara
Ra, lo lagi apa? Entah kenapa gue gak bisa lupain lo sekalipun lo tolak gue.
Read.
Delete chat.
Dara memasukkan ponselnya ke dalam tas.
"Lo kenapa, Ra?" Prity terlihat khawatir karena wajah Dara terlihat pucat pasi.
Dara tak mau Prity tahu kalau Pras menyatakan perasaan padanya. Ia hanya ingin menjaga perasaan sahabatnya itu.
Ponselnya berdering. Dara meneguk salivanya sendiri.
'Jangan sekarang Pras, gue gak mau Prity terluka.'
Berkali-kali ponselnya berbunyi di dalam tas. Namun Dara tetap mengacuhkannya. Prity menoleh.
"Ra, angkat dong siapa tahu penting."
"Nggak usah, nomer baru biarin aja."
"Gak bisa gitu, Ra. Ayo diangkat takut penting. Dari tadi tu orang ngubungin lo. Mungkin penting."
Dara yang ogah-ogahan mengusap tombol kunci dan mendekatkan ponsel pada telinganya.
"Hallo," sapa Dara masih dengan sedikit ragu.
"Benar ini dengan Nona Adara Prasmaya?"
Dara mengerutkan keningnya dan melihat kembali nomer yang menghubunginya. Nomer kantor polisi. Ia heran selama ini dirinya tak pernah berurusan dengan polisi.
"I-iya, Pak, ada apa ya?"
" ... "
Dara melepaskan ponsel begitu saja. Ponselnya terbagi menjadi beberapa bagian.
Prity yang melihatnya ikut tersentak. Ia menepikan mobilnya. Dara terlihat syok.
"Dara, lo kenapa?"
Dara tak menyahut. Air matanya terlihat berkaca-kaca. Namun tubuhnya kaku. Prity menguncang tubuh sahabatnya berkali-kali. Dara hanya menutup mulutnya sendiri.
"DARA! LO KENAPA!" teriak Prity. Ia benar-benar panik melihat Dara.
"Pret, mama ... papa ...."
Badan Dara tiba-tiba lemah lunglai.
"Ra! Lo kenapa!? Jangan lemes gitu, Ra. Gue bingung, Ra. Sumpah! Lo ngomong, Ra!"
Prity panik sembari mengguncang-guncang tubuh Dara. Dara tetap lemas tak berkutik.
Dara menjerit histeris di dalam mobil. "MAMA PAPA GUE KECELAKAAN PRET DAN MEREKA GAK BISA DISELAMATKAN!"
Prity seolah tak percaya. Dirinya juga ikut syok. Ia segera tancap gas dan mengarahkan mobilnya ke TKP.
Sesampainya di TKP, korban kecelakaan sudah dibawa ke rumah sakit terdekat. Mereka langsung menuju ke rumah sakit.
Dara berlari kencang sambil menangis histeris mencari ruangan kedua orang tuanya.
Dara sesak melihat dua mayat terbujur kaku itu. Ia terdiam. Hening. Kilatan bayangan kedua orang tuanya yang terakhir kali ia lihat.
"Papa berangkat dulu ya, Sayang. Kamu hati-hati di rumah."
Adara tersenyum. Ia mengecup pipi papanya. "Hati-hati juga, Pa. Aku sayang Papa," ujarnya manja.
"Papa juga sayang kamu, Nak."
"Dara, mama mau ke airport jemput papa kamu."
"Ngapain dijemput, Ma. Papa kan bisa dijemput sopir?"
"Adara, kamu kayak nggak ngerti papa kamu aja. Dia kan manja banget harus mama yang jemput."
"Hati-hati ya, Ma."
"Iya, Ra. Kamu juga hati-hati, Nak."
"Papa ... Mama ...." Dara terdiam sejenak.
Dirinya masih belum percaya kedua orang tuanya itu sudah terdiam dingin dan kaku. Dara seketika menjerit histeris.
"PAPA!! MAMA!! JANGAN TINGGALIN DARA!!"
"PAPA!! MAMA!! BANGUN!!"
Dara mengguncang-guncangkan tubuh keduanya bergantian. Prity memeluknya dan menahan pergerakan Dara. Ia mencoba menenangkan Dara.
"Dara, tenangkan dirimu. Tante sama om udah gak ada. Ikhlasin ya?" Prity pun menangis di pelukan Dara.
Dara tetap histeris. Prity mengeratkan pelukannya agar sang sahabat bisa lebih tenang. Tubuh Dara melemah.
"Papa sama mama, Pret. Mereka udah gak ada. Mereka pergi, Pret. Mereka ninggalin gue .... Gue sendirian, Pret," ceracau Dara.
Prity menahan isaknya demi sang sahabat. Bagaimanapun juga, kedua orang tua Dara sudah seperti orang tuanya juga. Ia menutup mulut saat melihat wajah pucat keduanya terbaring kaku di atas pembaringan.
Bibir Dara bergetar, wajahnya pucat, tubuhnya melemah. Prity mengusap rambutnya pelan.
"Ada gue, Ra. Lo gak sendirian," bisik Prity ke telinga Dara.
Pagi itu acara pemakaman Riyadi dan Maya-orang tua Dara. Langit tak secerah biasanya. Langit dengan awan berarak seolah mengiringi hari itu. Hari mengantarkan kedua orang tua Dara menuju ke tempat pembaringan terakhirnya.
Dara terdiam memandangi kedua pusara dan batu nisan. Ia memandangi foto papa mamanya bergantian.
Ia menggigit bibir bawahnya. Dara kembali terisak. "Bagaimana bisa kalian pergi tanpa mengajakku? Aku harus bagaimana sekarang? Sedangkan aku terbiasa hidup dengan kalian? Aku akan ke mana sekarang tanpa kalian?" Dalam lirihnya ia terisak.
***
Adara menghapus air matanya yang jatuh. Ia memandangi langit di atasnya.
"Papa sama mama sekarang ada di mana? Kalian pasti bahagia sekarang liat aku. Papa ... mama ... aku sekarang bukan Dara yang manja lagi. Doakan aku supaya masih punya kesempatan melihat kalian di surga Allah nanti."
Bersambung.
Situbondo, 23 Maret 2017.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top