Epilog
▪︎ Happy reading
▪︎ Apabila berkenan silakan meninggalkan jejak
~~~
Udara sore ini begitu panas. Makin panas karena aku harus satu mobil dengan orang tua yang tidak pernah mengharapkan kehadiranku dalam hidup mereka. Aku yakin masih bisa hidup sampai detik ini karena mereka membutuhkanku sebagai bukti bahwa mereka masih normal dan mampu memiliki keturunan. Selebihnya, tidak ada hal yang menarik dalam diriku, hingga mampu membuat mereka mau bersusah payah menemaniku belajar atau bermain. Atau setidaknya menemaniku makan.
Aku hanyalah boneka yang mereka miliki untuk dimainkan sesuka hati. Mereka menetapkan standar tertentu yang harus kucapai untuk mendapat pengakuan. Jika gagal, maka aku harus menerima konsekuensinya. Mereka akan memukuliku dengan kayu panjang yang memang sudah disiapkan. Aku harus membayar kegagalanku dengan menjadi budak di rumah sendiri. Bayangkan saja! Anak umur lima tahun harus mencuci seluruh pakaian stu rumah, menyapu, mengepel, bahkan menjadi tukang kebun. Dan semua itu masih berlanjut hingga umurku lima belas tahun.
Berusaha semaksimal mungkin hanya membuatku lelah. Karena meski mendapat nilai bagus dan aku berhasil memenuhi standar mereka, tidak ada satu kata pujian pun yang keluar dari mulut mereka. Mereka justru menaikkan standar karena aku mampu mencapainya. Hal itu membuatku berpikir dan tidak mau bersusah payah lagi memenuhi standar mereka.
Hukuman yang kuterima makin berat tiap tahunnya. Aku harus bekerja untuk mengganti biaya hidup yang sudah mereka keluarkan untukku karena aku gagal masuk SMP pilihan mereka. Mereka bukan orang tua, melainkan monster yang memangsa anak-anak.
Kini, aku harus mengikuti mereka pergi ke suatu tempat yang tidak kuketahui. Namun, aku yakin mereka berencana membuangku. Tidak! Aku tidak mau menjadi boneka yang bisa seenaknya mereka buang saat tidak berguna lagi, atau penampilanku sudah tidak menarik lagi.
Aku begitu marah dan sangat membenci mereka. Saat jalanan lengang, aku yang duduk di jok belakang berdiri dan memajukan tubuh di antara kursi depan. Aku tidak memedulikan omelan Ibu yang menyuruhku duduk kembali. Aku justru mengganggu Ayah dengan memainkan setir yang dikendalikannya. Mobil kami oleng karena aku terus berusaha mengambil alih setir.
Ibu berteriak dan memohon agar aku menghentikan perbuatanku. Enak saja! mereka mau membuangku? Tidak! Aku yang akan membuang mereka. Kalau perlu, kami mati bersama malam ini. Aku membanting setir yang dipegang Ayah ke arah kanan, hingga masuk ke jalur yang berlawanan. Ayah panik ketika melihat truk besar melaju ke arah kami. Dia membanting setir lagi dan justru membuat mobil kami kehilangan kendali. Mobil kami berputar cepat, menghantam pembatas jalan dan akhirnya terbalik.
Aku tersadar saat seseorang memanggil-manggil dan seketika, suara bising memenuhi telingaku. Meski berat, aku membuka mata dan mengamati sekeliling. Banyak mobil polisi dan ambulans yang terparkir. Petugas medis berseliweran di depanku. Rupanya, aku sudah diangkut dengan brankar dan hendak dimasukkan ke ambulans. Namun, sesuatu yang sangat samar terdengar olehku. Aku menoleh ke kiri dan mendapati seorang gadis yang mungkin lebih muda dariku juga diangkut menggunakan brankar. Matanya terpejam, tetapi bibirnya terus menggumamkan sebuah lirik lagu anak-anak yang kalau tidak salah judulnya Satu-satu.
Kurasa takdir membawa kami untuk bertemu kembali. Di kamar perawatan di rumah sakit, aku dan gadis kecil itu menjadi teman sekamar. Selama tidak sadarkan diri, gadis itu sesekali menggumamkan lirik lagu Satu-satu. Sepertinya, lagu itu adalah lagu kesayangannya. Dan sejak saat itu, aku mulai mengagumi gadis manis yang menjadi teman sekamarku di rumah sakit.
Tamat
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top