Bab 9

▪︎ Happy reading
︎ Apabila berkenan silakan meninggalkan jejak

~~~

Kepalaku seperti dihantam palu, dada sesak, dan sekujur tubuh gemetar hebat. Aku meringkuk di atas kasur menahan rasa sakit ini. Perkataan Ibu tadi masih terngiang di telinga. Ibu kandung yang begitu kusayangi dan kuhormati sama sekali tidak percaya kepadaku. Dia terlalu dibutakan oleh cintanya kepada laki-laki tidak tahu diuntung itu.

"Kamu harus berhenti menjelekkan Papa dan saudara kamu. Ibu tau kamu nggak pernah setuju dengan pernikahan ini. Tapi, nggak seharusnya kamu memfitnah Papa yang udah mau nerima kita."

"Bu, aku nggak fitnah Om Ardan. Ibu aja nggak percaya sama aku. Aku mesti gimana lagi? Selama ini aku selalu ngalah, Bu. Apa Ibu nggak bisa dengerin aku sekali ini aja?"

"Dara! Ibu sama Ayah nggak pernah ngajarin kamu manja. Jadi, nggak usah ngerengek kayak anak kecil cuma karena kamu nggak suka sama ayah dan saudara baru."

"Aku nggak pernah bilang kalo aku nggak suka sama mereka, Bu. Aku udah coba buat nerima mereka. Sayang sama mereka. Tapi, apa yang mereka lakuin sama aku? Aku nggak sanggup, Bu. Apalagi kalo sampe Ibu nggak percaya sama aku. Aku nggak tau harus gimana lagi?"

"Dara, setop! Ibu nggak mau denger lagi kamu ngomong jelek tentang mereka. Ibu udah denger dari Papa. Kalo selama Ibu pergi kemarin, kamu sengaja godain Papa supaya bisa memfitnah Papa, kan? Masih untung Papa itu ngebelain kamu. Kalo nggak, mungkin Ibu udah nggak ngakuin kamu sebagai anak."

Aku mengejar Ibu yang hendak masuk ke rumah dengan memegang tangannya. "Aku mohon, Bu. Percaya sama aku. Keizha juga liat apa yang dilakuin papanya ke aku, Bu. Aku cuma nggak mau keluarga ini jadi hancur. Aku sayang Ibu. Aku sayang semua keluarga kita, Bu."

"Ibu nggak mau denger apa-apa lagi dari kamu. Lebih sekarang kamu masuk ke kamar. Ibu dapet laporan dari tetangga kalo kamu sering pulang tengah malam. Ibu nggak ngerti lagi harus ngomong pakek bahasa apa sama kamu."

"Bu!"

"Cukup, Dara! Masuk ke kamar sekarang!"

Sialan! Kepalaku makin sakit mengingat semua kata-kata Ibu. Lebih parahnya lagi, laki-laki bajingan itu sudah memutarbalikkan fakta dan membuatku makin terlihat hina di mata Ibu.

Ah, Keizha. Iya, aku masih ingat dengan jelas kalau kakak tiriku itu sempat melihat perbuatan papanya kepadaku. Namun, dia hanya lewat begitu saja di depan kamarku tanpa mau menolong. Sekarang, apa yang harus kulakukan? Bodoh! Bodoh! Bodoh! Kenapa aku nggak punya bukti? Siapa juga yang memikirkan bukti ketika mengalami pelecehan seperti itu? Aku hanya ingin membersihkan diri secepatnya dari jejak-jejak menjijikkan yang ditinggalkan laki-laki bejat itu di tubuhku.

Aku terus memukul kepalaku yang makin terasa sakit. Bunyi notifikasi dari ponsel menyelamatkan kepalaku dari pukulan yang akan kulayangkan. Tanganku menyusuri kasur yang berantakan untuk mencari keberadaan ponselku. Aku menemukannya di bawah bantal dan langsung membuka chat yang masuk, dari XXX.

Ternyata dia menanyakan perkembangan masalah yang kuhadapi.

Lipan: Gagal. Target tidak memercayaiku dan berpihak pada musuh.

XXX: Nggak papa. Kamu bisa coba plan B. Lapor polisi.

Ponsel masih menampilkan ruang obrolanku dengan XXX. Aku mencoba mencerna saran darinya. Lapor polisi. Apa bisa? Ibu saja tidak memercayaiku, apalagi mereka?

Seakan mengetahui apa yang kupikirkan, XXX mengirimi chat lagi.

XXX: Aku tau ini memang sedikit rumit. Tapi, kamu bisa mencobanya dengan menyebut nama kakak tirimu sebagai saksi.

Lipan: Terima kasih.

Aku merenung untuk mengambil keputusan selanjutnya. Bisakah Keizha diajak bekerja sama?

Tidak terasa sudah hampir tengah malam. Aku terlalu asyik menikmati rasa sakit hingga melewatkan waktu. Aku bahkan tidak memedulikan ketukan di pintu kamar dan panggilan Junior untuk turun makan malam. Saat berjalan ke kamar mandi, aku mendengar ketukan lagi di pintu kamar. Dengan ragu, aku mendekat ke pintu. Kupikir Junior tidak bisa tidur karena belum meminum segelas susu dan meminta pertolongan kepadaku untuk mengambilkannya. Aku memutuskan membukakan pintu dan akan langsung menolak permintaan tolongnya. Namun, saat pintu terbuka, yang kulihat ternyata ....

"Halo, Cantik!"

Seketika suaraku tercekat ketika melihat seringai di wajah laki-laki yang menahan pintu kamarku itu. Aku sudah membuka mulut untuk berteriak, tetapi dia lebih cepat membungkam mulutku dengan tangan. Kemudian, dia masuk dan menutup pintu dengan kakinya.

Aku meronta, sekuat tenaga berusaha membebaskan diri. Tidak! Kali ini aku tidak akan menyerah begitu saja. aku harus memikirkan cara agar laki-laki itu keluar dari kamarku. Otakku yang pas-pasan ini memikirkan cara tercepat dan paling mudah untuk kulakukan. Aku menggigit tangan yang digunakannya untuk membekap mulutku. Berhasil. Suara teriakkannya tertahan karena tidak ingin ketahuan oleh penghuni lain di rumah ini.

"Udah berani ngelawan sekarang. Hah!"

Aku terus mundur karena dia beringsut maju. Aku berhenti setelah menabrak kasur dan dia berhasil menangkap lenganku.

"Lepasin! Keluar dari kamarku!"

Bulu kudukku berdiri melihat seringai di wajah yang ingin kuhancurkan itu.

"Aku sudah peringatkan untuk tidka memberi tahu siapa pun tentang perbuatan kita. Tapi, kamu justru mengadu kepada ibumu itu. Dia sangat mencintaiku yang takut kehilangan lagi. Jadi, dia tidak akan mendengar semua ocehanmu tentangku."

Air mata yang sedari tadi kutahan, kini meluncur ke pipi dengan leluasa. Teganya laki-laki yang harus kupanggil "papa" itu melakukan hal keji ini.

"Sekarang kamu harus menerima hukuman."

Dia mendorongku hingga terjatuh di atas kasur. Laki-laki itu langusng menindih tubuhku. Aku masih berusaha melepaskan diri. Aku tidak mau kejadian malam itu terulang lagi. Bahkan, rasa nyeri di tubuhku belum sepenuhnya hilang. Tanganku meraba-raba dan menemukan gunting di atas meja di samping kasur. Aku menggenggamnnya, menarik napas dalam, lalu mengembuskannya sebelum mengarahkan gunting itu ke wajah laki-laki di atas tubuhku.

"Aku nggak akan segan-segan melubangi matamu kalo nggak menyingkir dari tubuhku!"

Dia memelotot melihat ujung guntim yang tajam mengarah ke wajahnya. Perlahan dengan mengangkat kedua tangan di depan dada, dia turun dari kasur. Aku terus mengarahkan benda tajam itu ke wajahnya.

"Jangan kamu kira aku bakal diem aja. Aku nggak akan diem kali ini. Aku pastikan aku bakal ngelawan apa pun caranya."

"Kamu nggak akan bisa ngelawan aku. Udah, nyerah aja. Taruh gunting itu dan kita main bareng. Kamu cukup nikmati aja."

Terlingaku makin panas mendengar ocehannya yang masih mengangkat tangan di depan dada itu. Kemudian, mengarahkan gunting ke pergelangan tanganku sendiri.

"Selangkah aja kamu maju, gunting ini bakal ngelukain pergelangan tanganku. Kalo sampe aku mati, kamu nggak akan bisa lolos dari hukuman. Aku pastikan itu."

"Oke-oke. Kamu tenang dulu, Dara. Aku bakal keluar, tapi kamu taruh dulu gunting itu."

Aku makin menempelkan guntingnya di pergelangan tangan hingga menggores kulitku. Wajah laki-laki biadab itu terlihat pucat setelah melihat cairan merah kental merembes dari kulitku. Dia segera berbalik dan keluar dari kamarku.

Aku terduduk di kasur sambil bernapas lega, lalu meringis saat luka di pergelangan tangan makin mengeluarkan darah. Aku mengambil kotak P3K di laci meja samping kasur dan mengobati lukaku.

Mengambil ponsel dan memeriksa chat yang masuk. Ada satu chat dari XXX lagi. Aku segera membacanya.

XXX: Kalo mereka tidak bisa diajak kerja sama, maka mereka tidak pantas dijadikan keluarga. Apa keinginan terbesarmu saat ini?

Lipan: Aku hanya ingin Ibu kembali menyayangiku seperti dulu. Dan kami bisa hidup bahagia berdua tanpa ada orang asing lagi dalam keluarga kami.

XXX: Kalo begitu, singkirkan mereka.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top