Bab 8

▪︎ Happy reading
︎ Apabila berkenan silakan meninggalkan jejak

~~~

Sepanjang hari selama mengikuti mata kuliah, pikiranku bercabang pada obrolan terakhir bersama XXX. Awalnnya, aku tidak mengerti tujuan dari komunitas itu. Namun, setelah membaca obrolan dari anggota lain─kami menyebutnya sebagai saudara─aku mulai sedikit paham jika kami yang berkumpul dalam komunitas itu adalah orang-orang yang memiliki masalah dengan keluarga.

Meski terbilang baru sebentar berada di sana, tetapi aku merasa memiliki keluarga dan menganggap mereka semua seperti saudaraku sendiri. Mungkin karena kami memiliki nasib yang sama. Tidak diinginkan oleh keluarga.

Aku sudah memikirkan saran yang diberikan oleh XXX mengenai solusi untuk masalahku. Sepulang kuliah, aku akan menceritakan kejadian malam itu kepada Ibu. Ya, Ibu harus tahu bagaimana kelakuan suaminya itu. Aku harus bisa membuat Ibu percaya. Paling tidak, untuk mengembalikan keluarga bahagia yang dulu pernah kurasa.

"Dara!"

Aku terkejut dan langsung mendongak menatap dosen yang sedang mengajar di depan kelas. "I-iya, Pak."

"Coba sebutkan langkah apa saja yang harus dilakukan untuk menarik investor?"

Mampus! Aku tidak mendengarkan penjelasan dosen. Alhasil, aku hanya mengerjap tanpa menjawab satu kata pun.

"Bagus! Saya pikir dari tadi tidak mendengarkan penjelasan karena sudah paham dengan materinya. Ternyata, tidak tahu apa-apa. Lain kali jangan melamun di kelas saya. Habis kelas ini, saya tunggu kamu di ruangan saya."

Aku hanya bisa menunduk malu. Setelah memberikan tugas untuk minggu depan, dosen keluar kelas dan aku segera mengikutinya.

"Dara, kamu nggak apa-apa, kan?"

Aku menoleh ke kanan. Risa mengikuti dan menyamakan langkahnya denganku.

"Enggak apa-apa. Kenapa?"

"Aku khawatir aja. Beberapa hari ini kayaknya kamu sering ngelamun. Kalo ada masalah kamu bisa cerita sama aku. Yah, walau aku nggak bisa bantu nyelesain masalahmu. Tapi, seenggaknya kamu bisa berbagi beban masalah denganku."

Aku tersenyum mendengar ucapan Risa. Hanya mendengar kata-katanya saja, aku merasa masih memiliki seseorang yang peduli kepadaku. Namun, aku belum bisa percaya penuh kepadanya untuk menceritakan segala masalahku. Apalagi kejadian malam itu.

"Makasih, ya, Ris. Kamu memang temen terbaik."

"Dara, kamu bisa cerita apa aja sama aku. Aku boleh tanya sesuatu?"

Aku mengangguk.

"Apa kamu habis ngalamin pelecehan?" tanyanya sambil berbisik.

Aku sempat terkejut mendengar pertanyaan itu. Namun, aku berusaha untuk tetap tenang. "Maksudnya?"

"Sori. Pertanyaanku terlalu sensitif, ya? Cuma aku ngerasa agak aneh aja sama sikapmu. Kamu keliatan panik dan nggak nyaman waktu ada temen cowok yang deket-deket. Jadi, aku hanya mengira-ngira kejadian apa yang udah menimpa kamu. Karena sebelumnya kamu nggak pernah kayak gini."

Aku bernapas lega. Kupikir, Risa benar-benar tahu kejadian yang telah kualami. Ternyata dia hanya menebak-nebak.

"Enggak, kok. Aku cuma risi aja kalo dideketin cowok yang nggak begitu akrab."

"Oh, syukur, deh. Aku pikir kamu kenapa-napa."

"Ya udah, Ris. Aku ke ruangan dosen dulu."

"Oh, iya. Semangat, ya!"

Aku membalas senyum Risa. Dia berhenti berjalan di sampingku. Aku menoleh dan dia melambai sambil memberikan semangat. Aku menghela napas sebelum melangkah mengikuti dosen yang sudah jauh di depanku.

Keluar dari ruangan dosen, aku berjalan ke kantin dan duduk di salah bangku yang kosong. Aku mengabari Risa melalui pesan WhatsApp untuk datang ke sini. Sambil menunggu kedatangan Risa, aku memesan es teh. Dari pintu masuk kantin aku sudah mendengar beberapa obrolan mahasiswi saat melihat kedatanganku. Lagi-lagi mereka membandingkanku dengan Keizha yang sempurna.

Rupanya, berita mengenai aku yang melamun di kelas sudah tersebar. Aku menunduk sambil memainkan ponsel dan berpura-pura tidak mendengar obrolan di sekitar.

"Es tehnya, Mbak."

Aku mendongak untuk mengucapkan terima kasih, tetapi justru terkejut melihat Galih yang memberikan pesananku.

"Kok, jadi kamu yang bawa?"

"Tadi pas banget aku jalan ke sini terus Mbak-mbak kantin itu bawa es teh ke mejamu. Jadi, aku ambil alih tugasnya."

"Makasih, ya."

"Boleh duduk di sini, kan?"

Aku memperhatikan sekitar dan menemukan beberapa orang sedang memperhatikan kami. Aku mulai tidak nyaman dengan pandangan mereka.

"Nggak usah didengerin. Mereka cuma sekumpulan orang yang iri sama kamu."

Aku tersenyum, lalu menunduk lagi. Tanpa menunggu izin dariku, Galih tetap duduk di hadapanku.

"Kamu lagi nungguin seseorang?"

"Eh?" Aku mengalihkan pandangan dari ponsel kepada Galih. "Iya, lagi nunggu temen. Tapi, katanya dia udah pulang."

"Oh, ya udah aku aja yang nemenin."

Aku hanya mengangkat alis sebagai tanggapan.

Kemudian, aku terlarut dalam obrolan yang dibuka oleh Galih. Tidak ada alasan untuk tidak menanggapi setiap topik yang dibicarakannya. Mengobrol dengan Galih merupakan candu baru bagiku setelah mendengarkan lagu Sau-satu yang menjadi lagu favoritku dengan Ayah.

Di tengah asyiknya berbincang dengan Galih, tiba-tiba Keizha datang menyerobot dan memaki-makiku.

"Kamu jadi adik nggak tau diuntung banget, ya? Maksudnya apa kamu ngedeketin pacarku?"

Aku yang ditarik paksa oleh Keizha hingga berdiri hanya mampu mengerjap beberapa kali. Aku benar-benar tidak memahami situasi yang sedang terjadi saat ini. Siapa pacar yang dimaksud Keizha? Atau mungkin maksudnya ... Galih?

Lantas aku menoleh kepada cowok yang berusaha menenangkan Keizha.

"Keizha! Kamu apa-apaan, sih? Nggak usah ribut di tempat umum kayak gini, deh."

"Aku nggak akan ribut kalo dia," ucap Keizha sambil menudingku, "nggak sok-sokan ngedetin kamu."

"Tunggu! Maksud Kak Keizha, Galih ini pacar Kakak?"

"Nggak usah ngeles, deh. Kamu mau pura-pura nggak tau sekarang? Aku tau kamu nggak pernah suka sama aku. Makanya kamu berusaha ngerebut apa yang aku punya, kan?"

"Kak! Aku nggak pernah sejahat itu."

"Alah, pakek nggak ngaku segala."

"Keizha, udah. Malu kalo ribut di depan banyak orang kayak gini. Kita pergi sekarang." Galih sempat menoleh kepadaku dengan raut wajah meminta maaf sebelum membawa Keizha keluar dari kantin.

Setelah mereka pergi, desas-desus di sekitar mulai terdengar. Mereka pasti sedang membicarakan kejadian barusan. Bagus! Kini mereka memiliki julukan baru untukku. Adik yang Ingin Merebut Pacar Kakaknya.

Tanpa menghabiskan es teh yang tinggal separuh itu, aku meninggalkan kantin dan memutuskan untuk pulang. Aku berharap Ibu sudah di rumah.

Sepertinya Tuhan sedang berpihak kepadaku. Tiba di rumah, aku melihat mobil Ibu sudah terparkir di halaman depan. Aku segera masuk dan menemui Ibu.

"Ibu, aku pulang! Ibu di mana?" Aku berteriak mencari keberadaan Ibu.

"Di taman belakang."

Aku bergegas menyusul ke taman belakang. Rupanya, Ibu sedang menyirami bunga-bunga kesayangannya. Ini kesempatan yang bagus untuk menceritakan kejadian malam itu. Laki-laki mesum itu belum pulang, begitu pula dengan Keizha, dan Junior sepertinya tidur siang di kamar karena aku tidak melihatnya sejak masuk rumah.

"Ibu. Aku mau membicarakan sesuatu."

"Sebentar, Ibu selesaikan siram bunganya. Tinggal dikit lagi."

Aku menunggu Ibu sambil duduk di bangku kayu. Tidak lama kemudian, Ibu menyusul duduk di sampingku.

"Oke. Kamu mau ngomong apa?"

Aku sempat ragu, tetapi meyakinkan diri untuk tidak menundanya lagi. Setelah menarik napas panjang, lalu mengembuskannya, aku mulai bercerita.

"Aku harap Ibu dengarkan dulu semua ceritaku sebelum menanggapinya."

"Oke."

"Aku tau Ibu sangat mencintai Om Ardan. Aku sama sekali nggak berniat untuk menjelekkanya di depan Ibu. Tapi, selam Ibu pergi beberapa hari lalu. Om Ardan udah ... dia udah ...." Aku mencengkeram pinggiran kursi. Aku memejamkan mata dan mencoba menenangkan diri. "Dia udah melecehkanku, Bu." Akhirnya aku berhasil mengatakannya dalam satu tarikan napas.

Aku masih menunggu tanggapan dari Ibu yang hanya diam saja hingga beberapa menit berlalu.

"Bu?"

Aku melihat Ibu menghela napas. Aku tahu, mungkin ini berat untuk Ibu menerimanya. Aku tetap menunggu, hingga Ibu mengeluarkan tanggapan yang membuatku kecewa.

"Ibu rasa kamu sudah keterlaluan memfitnah ayah tiri kamu. Dia terlalu baik."

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top