Bab 7
▪︎ Happy reading
▪︎ Apabila berkenan silakan meninggalkan jejak
~~~
Aku pulang sambil terus memikirkan cara agar tidak bertemu dengan orang yang telah merenggut masa depanku. Seharusnya aku membawa baju ganti supaya tidak perlu kembali ke rumah dan langsung menuju tempat kerja. Sial, mobil laki-laki itu sudah terparkir di halaman depan rumah. Tunggu, aku juga melihat mobil Ibu. Senyum terbit di wajahku saat mengetahui Ibu sudah pulang. Aku langsung membuka pintu dan masuk ke rumah. Aku kangen sekali dengan Ibu.
Aku melihat Ibu sedang menyuapi Junior yang lagi-lagi fokus dengan kertas gambarnya. Junior berbeda dengan anak kecil lain yang seumuran dengannya. Jika anak-anak lain lebih cerewet dan sibuk menanyakan banyak hal kepada orang yang lebih tua di sekitarnya, Junior justru asyik dengan dunianya sendiri. Dia sangat suka menggambar. Mungkin, karena dia besar di dalam keluarga yang memiliki saudara sudah dewasa semua, hingga dia sendiri tidak memiliki teman bermain dan ikut tumbuh menjadi dewasa sebelum waktunya.
Ah, mengingat gambar Junior, gawat kalau dia menggambar tentang aku lagi dan menunjukkannya kepada Ibu. Aku harus menceritakan semua kejadian yang menimpaku selama Ibu pergi sebelum dia tahu dari orang lain dan ceritanya menjadi beda.
"Ibu!" sapaku dengan penuh semangat, tetapi langsung berhenti saat melihat orang itu keluar dari kamar dan menghampiriku.
Aku mundur ketika laki-laki biadab itu makin mendekat dan mencekal lenganku. Ingin sekali aku berteriak memanggil Ibu, tetapi ucapan laki-laki itu langsung membungkamku.
"Inget! Kalo sampe ngadu sama ibumu itu. Aku pastikan hidupmu lebih hancur dari sekarang. Bahkan mungkin ibumu nggak sanggup hidup lagi."
Aku menahan napas. Seluruh tubuh terasa panas, apalagi bekas jahitan itu terasa gatal sekali. Aku hanya bisa mengepal sambil berusaha menenangkan diri.
"Mas, makan dulu. Dara udah pulang? Ayo sini ikut makan bareng. Tadi Ibu beli makanan kesukaan kamu pas perjalanan pulang. Keizha belum pulang?"
Aku bisa bernapas lega mendengar suara Ibu. Laki-laki berengsek itu tersenyum, lalu berbalik menatap Ibu. Ingin sekali rasanya aku menghabisinya. Namun, aku tidak sanggup kalau harus melihat Ibu menderita karena kehilangan suami lagi. Bisa-bisa Ibu membenciku seumur hidupnya tanpa mau melihat wajahku lagi.
"Iya, aku ke sana. Ayo Dara, kita makan bareng. Jarang-jarang, kan keluarga kita bisa makan bareng. Yah, meski kurang Keizha. Kayaknya dia masih sibuk di kampus."
Aku masih berdiri di tempat semula sambil memperhatikan laki-laki itu berjalan ke meja makan. Aku memikirkan alasan untuk menolak makan bareng di meja yang sama dengan laki-laki itu.
"Dara, kenapa masih di situ? Ayo sini!"
Aku mendongak menatap Ibu. Kusungginkan senyum senatural mungkin agar Ibu tidak curiga.
"Aku nanti aja makannya, Bu. Mau ke kamar dulu. Gerah banget. Mau mandi."
"Hem, ya udah. Giliran Ibu mau makan bareng, kamunya yang sok sibuk. Jangan salahkan Ibu kalo besok-besok kamu pengen makan bareng Ibu, tapi Ibu nggak bisa."
Aku menghela napas sebelum menaiki anak tangga ke lantai dua. Ibu belum benar-benar kembali seperti dulu. Seperti saat dia menyayangiku sepenuhnya.
Tiba di kamar, aku segera meletakkan tas di kasur dan langsung masuk kamar mandi. Aku berdiri di bawah pancuran. Menggosok tubuh dengan tangan, bahkan tanpa melepas pakaian. Laki-laki itu tadi menyentuh lenganku. Rasanya, seluruh tubuhku sangat menjijikkan ketika jejak tangannya menempel. Bayangan malam itu berputar lagi di kepala, membuatku mual. Aku menyentuh bekas jahitan di tangan kanan, menggosoknya dengan kuat supaya rasa gatal itu segera menghilang.
Apa yang dia bilang tadi? Dia akan membuat hidupku lebih hancur lagi dari sekarang? Cih, dasar laki-laki bejat! Bisanya memanfaatkan kelemahan orang. Aku benci dia!
Aku ingin mati saja. Berjalan ke kotak sabun yang tergantung di tembok, aku mengambil sebuah silet yang biasa kugunakan untuk mencukur rambut ketiak. Mengarahkannya pada pergelangan tangan, aku memejamkan mata sebelum memutuskan untuk memotong nadi.
Namun, bayangan pertemuanku dengan Galih tadi siang mengurungkan niatku. Aku membuka mata, lalu meletakkan silet ke tempat semula. Tidak! Aku tidak boleh mati sebelum memberi laki-laki itu hukuman yang setimpal. Aku kembali ke bawah pancuran, kali ini setelah melepas pakaian. Aku membersihkan diri, lalu keluar kamar mandi setelah selesai.
Aku mengambil baju di lemari dan memakainya. Sebelum turun, aku mengambil ponsel dan membuka aplikasi WhatsApp. Membuka ruang obrolan dengan Galih. Ragu-ragu, aku menekan link yang dikirimkan cowok itu. Lama layar ponselku berputar-putar sebelum akhirnya menampilkan sebuah laman berwarna hitam bertuliskan: Selamat Datang di Komunitas Happy Family.
Aku mengerutkan kening. Komunitas apa ini? Galih tidak salah memberiku alamat web, kan?
Baru saja aku akan keluar dari laman itu, tetapi ada sebuah pesan tertera di sana.
XXX: Selamat datang, selamat bergabung. Silakan gunakan kata sandi "Aku Bahagia" untuk masuk dalam komunitas ini.
Aku masih ragu. Setelah melihat jam di ponsel, aku memutuskan untuk keluar dari laman itu dan bersiap berangkat untuk kerja paruh waktu. Sebelum memasukkan ponsel ke saku celana, aku memesan ojek online.
Perlahan, kubuka pintu kamar dan melihat situasi di luar. Aku tidak mau tiba-tiba laki-laki itu muncul di depan kamar. Aku terkejut, hingga mundur dua langkah. Bukan. Bukan laki-laki itu yang berada di depan kamar, melainkan Junior. Aku membuka pintu lebih lebar dan mempersilakan anak kecil itu masuk.
Aku melihat dia membawa kantong plastik berisi kotak pembungkus makanan.
"Aku bawa makanan punya Kakak. Tadi, kan nggak sempet makan."
Aku sempat terenyuh mendengarnya. Namun, langsung menggeleng ketika mengingat anak kecil itu juga keturunan dari laki-laki berengsek. Aku mengambil makanan yang dibawanya setelah menggumamkan terima kasih. Kemudian, dia pergi ke kamarnya dan aku juga keluar, lalu menutup pintu kamar.
Setelah melewati enam jam yang melelahkan, aku bisa kembali ke rumah untuk beristirahat. Aku membuka pintu dengan perlahan agar tidak membangunkan yang lain. Aku bisa bernapas lega karena tiba di kamar tanpa bertemu ayah tiri.
Setelah mengganti pakaian dengan baju tidur, aku mengambil minum yang biasa kusiapkan di meja belajar. Sayangnya, air minumku habis dan aku lupa mengisinya. Mau tidak mau aku harus turun untuk mengambil air minum. Aku tidak bisa tidur sebelum meminum segelas air mineral.
Aku hendak kembali ke kamar dan manaiki anak tangga, tetapi suara seseorang menghentikan langkahku.
"Meski ibumu sudah pulang, aku nggak bisa ngelupain malam panas kita. Makin hari kamu makin cantik dan seksi. Nggak salah aku merhatiin kamu dari kecil."
Aku berbalik dan menatapnya tajam. Mataku terasa panas, cairan bening sudah menggenang. Udara di paru-paruku makin meipis, hingga aku kesulitan untuk bernapas. Bisa-bisanya laki-laki itu berkata keji terhadap anak dari istrinya sendiri. Tidak. Bukan hanya kata-katanya yang keji, meliankan perbuatannya seperti hewan.
"Apa lagi yang kamu mau?"
Dia berjalan mendekat, aku mundur dan menabrak pegangan tangga.
"Oh, tentu saja banyak kumau. Bagaimana kalo aku minta kita melakukan lagi seperti malam itu?"
Aku menepis tangannya yang menyentuh rambutku. "Kamu udah gila! Pergi!" Dadaku naik turun berusaha untuk menghirup udara sebanyak mungkin.
"Kamu nggak akan bisa lari ke mana pun. Aku tetap di sini. Kita tinggal di rumah yang sama."
Lagi-lagi, dia menyentuhku. Kali ini, tangan kotornya itu menyusuri pundakku. Aku sudah siap berteriak jika dia tidak melepasku. Beruntung, Ibu terbangun.
"Dara? Apa yang kamu lakukan?"
Laki-laki itu segera mundur dan berbalik, lalu berjalan ke arah Ibu.
"Enggak apa-apa, Sayang. Dara abis ambil minum. Terus waktu mau naik lagi ada cicak di pundaknya. Jadi, aku bantu buat nyingkirin cicak itu." Lalu dia beralih menatapku. "Sekarang kamu bisa kembali ke kamar, Dara. Cicaknya udah pergi."
"Ma-makasih." Bahkan aku tidak rela mengucapkan kata itu.
Aku tidak memedulikan mereka lagi dan menaiki anak tangga dengan sedikit berlari. Di dalam kamar, aku segera mengambil gelas dan mengisinya dengan air. Aku meminumnya hingga tandas, lalu duduk di pinggir kasur setelah meletakkan gelas di meja.
Aku tidak bisa terus-terusan berada di posisi seperti tadi. Aku harus melakukan sesuatu. Mengambil tas dan mengeluarkan ponsel, aku mulai membuka laman web Happy Family dan memasukkan kata sandi yang terulis di sana.
Laman itu berubah menjadi ruang obrolan setelah aku mengisi data diri. Tiba-tiba banyak chat masuk.
XXX: Halo, anggoota baru. Silakan memperkenalkan diri.
ABCD: Hai, selamat datang. Salam kenal.
Macan_Betina: Halo, aku Macan Betina. Salam kenal.
You-Ex: Aku biasa dipanggil Y. Kamu siapa?
XXX: Untuk anggota baru, jangan sungkan, ya. Anggap ini sebagai rumah sendiri. Buat nyaman aja.
Aku masih bingung harus memperkenalkan diri sebagai siapa. Kemudian aku mengingat sesuatu dan mulai mengetik untuk mengubah username.
Lipan: Halo, semua. Aku Lipan, salam kenal. Terima kasih sudah diizinkan untuk bergabung.
Kemudian, ruang obrolan itu menjadi ramai karena satu per satu dari anggota membalas perkenalanku. Aku tercekat saat salah satu anggota mengirim sebuah chat yang bukan untuk membalas chat-ku sebelumnya.
AnHuman: Aku udah selesai eksekusi. Dia mati perlahan dan aku menikmati ekspresinya sebelum menutup mata untuk selamanya.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top