Bab 5

▪︎ Happy reading
︎ Apabila berkenan silakan meninggalkan jejak

~~~

Hari ini aku ada kelas pagi lagi dan minggu lalu dosen yang mengajar sudah memperingatkan akan ada kuis dalam minggu ini. Sementara, rumah masih berantakan dan tidak ada yang menyiapkan sarapan. Aku sudah bangun sejak pukul lima pagi, mulai beres-beres rumah serta membuat sarapan simpel seperti roti bakar isi telur dan sayur. Pukul 06.45 semua pekerjaan rumah selesai, aku duduk manis di meja makan sambil menghabiskan sarapan. Aku harus buru-buru pergi sebelum Om Ardan keluar kamar.

Tubuhku masih bergetar setiap mengingat namanya dan bekas jahitan di tangan kanan ini terasa gatal. Sekuat tenaga aku menahan keinginan untuk menggaruknya dengan mengalihkan perhatian pada hal lain. Aku mencoba memejamkan mata sambil menarik napas panjang, lalu mengembuskannya. Setelah merasa tenang, aku fokus pada sarapan di meja dan lanjut menghabiskannya.

Sial. Saat hendak pergi, aku justru bertemu Keizha yang baru turun sambil mengomel karena Junior belum mandi.

"Kamu yang mandiin Junior terus anter dia ke sekolah. Aku ada urusan penting, jadi mesti buru-buru."

Aku menggigit bibir bawah sambil mengepal. Sebenarnya siapa yang lebih tua di sini, sih? Kenapa semua harus aku yang melakukan?

"Kenapa nggak Kakak aja, sih? Aku ada kuis pagi ini. Jadi mesti buru-buru berangkat."

"Itu cuma kuis, kan? Nggak penting. Aku harus ketemu sama dosen pembimbing. Jadi, lebih penting urusanku. Udah, deh, nggak usah ngebantah. Urus adik kamu itu. Aku pergi dulu."

Aku menahan jengkel sambil terus melihat Keizha yang berjalan ke meja makan. Dia meminum jus jeruk yang sudah kusiapkan, lalu mengambil roti bakar di piring dan memakannya sambil berjalan keluar rumah. Saat melewatiku, cewek yang menggerai rambutnya itu masih sempat memperingatiku lagi.

Setelah melihat Keizha keluar dan membanting pintu, aku menaiki tangga dengan mengentakkan kaki. Aku masuk ke kamar Junior dan melihat anak kecil itu masih duduk di meja belajar sedang menggambar sesuatu.

"Junior, mandi dulu, ya. Gambarnya ditaruh dulu. Nanti kamu telat ke sekolah."

Anak yang masih memakai baju tidurnya itu mengangguk. Aku mengambil kertas yang digunakannya untuk menggambar, lalu merapikan meja belajar itu. Namun, aku tertegun saat melihat hasil gambar Junior. Di kertas itu tergambar laki-laki dan perempuan yang sedang berhadapan. Perempuannya memegang gelas dan terlihat ketakutan, sementara laki-lakinya mendekat seperti membisikkan sesuatu. Aku menjatuhkan kertas itu ke meja. Junior sedang menggambar kejadian semalam. Dalam gambar itu adalah aku dan Om Ardan.

Bagaimana bisa? Anak ini terlalu pintar, hingga bisa mengingat dengan jelas detail yang terjadi semalam. Tidak bisa. Aku harus menyingkirkan gambar itu. Ini benar-benar memalukan.

"Kak, katanya mau mandi?"

Aku mengerjap, lalu tersenyum menatap Junior. "Iya, kita mandi." Aku menggeleng dan berkata lagi, "Maksudnya, kamu yang mandi."

Aku masuk ke kamar mandi yang berada di dalam kamar itu untuk menyiapkan sikat gigi dan memberi pasta gigi di atasnya, lalu menyiapkan handuk. Setelah semua siap, aku membukakan baju Junior dan menyuruhnya mandi. Sebenarnya, dia sudah bisa mandi sendiri, tetapi harus ada yang menyiapkan sikat gigi dengan pasta gigi dan juga membantunya mengganti pakaian.

Beberapa menit kemudian, Junior sudah siap dengan seragam sekolahnya. Sebelum turun, aku mengambil kertas yang berisi gambarku tadi dan meminta izin kepadanya. Aku segera meremas kertas itu dan memasukkan ke dalam tas setelah Junior mengiakan.

Kami turun dan melihat Om Ardan sudah ada di meja makan. Aku berhenti di anak tangga terakhir, ragu untuk berjalan ke sana. Saat masih berusaha mengumpulkan keberanian, Junior menarik-narik ujung bajuku.

"Kak, ayo sarapan."

"Loh, anak Papa belum berangkat sekolah?"

Om Ardan menoleh dan menyapa kami. Dia bersikap biasa saja saat melihatku. Tidak ada rasa bersalah ataupun permintaan maaf darinya. Apa mungkin dia melupakan kejadian semalam karena terlalu mabuk? Cih, enak saja! Dia bisa menjalankan aktivitas seperti biasa, sedangkan aku harus menenangkan diri berulang kali setiap menyebut namanya.

Aku berjongkok dan berbicara kepada Junior. "Kamu sarapan sama papamu aja, ya. Kakak tadi udah sarapan duluan. Kamu juga berangkat diantar sama papamu. Kakak mesti buru-buru ke kampus. Udah telat. Oke?"

Junior mengangguk. Aku langsung berjalan menuju pintu utama.

"Dara, kamu nggak sarapan dulu? Kita bisa berangkat bareng. Biar Papa antar kamu ke kampus."

Langkahku terhenti saat mendengar suaranya memanggil namaku. Lagi dan lagi, aku mengepal menahan rasa jijik yang membuat tubuhku merinding.

"Nggak perlu, aku bisa berangkat sendiri." Aku menjawab tanpa menoleh, lalu keluar rumah.

Ojek online yang kupesan sebelum keluar dari kamar Junior tadi sudah datang. Aku segera naik ke jok belakang dan meminta sopir ojek untuk sedikit lebih ngebut.

Tiba di kampus, aku segera berlari menuju kelas. Berharap dosen yang akan mengajar belum datang. Namun, hari ini memang benar-benar hari sial bagiku. Sampai di depan kelas, pintunya sudah terkunci dan itu artinya aku sudah tidak diizinkan masuk. Aku terlambat. Aku mengambil ponsel untuk melihat jam, pukul 08.16. Lebih satu menit, hanya satu menit dan aku harus ketinggalan mata kuliah pertama.

Aku berjalan lesu ke taman depan gedung fakultas. Duduk di salah satu bangku yang menghadap ke kolam ikan. Membuka ponsel dan melihat WhatsApp, ternyata Risa mengirimiku chat untuk menanyakan keberadaanku, bahkan dia juga menelepon hingga sepuluh kali. Aku membalas pesannya dan mengatakan posisiku saat ini.

Tiba-tiba ada seseorang duduk di sampingku saat aku sedang asyik membalas pesan yang masuk. Aku menoleh ke kanan dan menemukan cowok yang tempo hari menolongku dari musuh Keizha.

Aku menatap dan memperhatikannya dengan saksama. Masih penasaran aku pernah melihatnya di mana. Cowok itu memiliki garis rahang yang tegas, hidungnya mancung─rasanya aku bisa memerosot di sana. Aku menggeleng, menertawakan hayalanku.

"Ada yang lucu?"

Aku mendongak, lalu mengerjap beberapa kali. Aku menutup mulut dengan tangan, menunduk kembali karena merasa malu suara tawaku terdengar olehnya.

"Kamu udah nggak diganggu sama cewek-cewek itu?"

"Enggak. Oh, iya. Aku belum sempet bilang makasih waktu itu. Makasih, ya, udah mau bantuin." Aku menjawab sambil menatapnya. Dia benar-benar ganteng.

"Enggak masalah. Santai aja."

Aku hanya mengangguk seraya tersenyum. Kemudian, pandangannya beralih menatap tangan kananku. Aku langsung menutupi bekas jahitan yang menyerupai lipan itu dengan tangan kiriku. Bodoh banget! Aku lupa melepas gulungan lengan kemejaku setelah membantu Junior mandi dan ganti baju. Dengan menunduk malu, kubuka kancing lengan baju di siku, lalu menurunkannya.

"Kenapa harus malu?" Cowok itu bertanya tanpa ada rasa iba. Berbeda dengan orang lain.

"Aku hanya nggak mau kalo ada yang merasa kasihan setelah melihatnya. Apalagi sampe bertanya bagaimana aku bisa mendapatkan bekas jahitan menjijikkan itu."

"Itu sama sekali nggak menjijikkan. Malah menurutku, itu keren. Aku juga punya bekas jahitan yang hampir sama dengan punyamu. Tapi, punyaku di kaki. Kamu mau liat?"

Tanpa menunggu jawabanku, cowok itu langsung mengangkat celana jin yang dipakainya, hingga terlihat bekas jahitan yang cukup panjang di sepanjang tulang kering. Tunggu! Aku juga pernah bertemu dengan anak laki-laki yang mempunyai luka di kaki kiri.

"Ini kudapatkan saat masih kecil. Mungkin sekitar umur lima belas. Dan kamu tahu? Saat itu aku punya teman sekamar yang juga memiliki jahitan di tangan kanannya seperti kamu."

"Jadi, kamu anak laki-laki yang waktu itu? Yang sekamar denganku di rumah sakit?"

"Kamu anak cewek itu?"

Ya, Tuhan! Aku bisa bertemu lagi dengan orang yang senasib denganku. Aku senang sekali.

"Hai! Ternyata kamu di sini? Aku nyariin dari tadi."

Aku ikut menoleh kepada seseorang yang menyapa cowok itu. "Kak Keizha?"

"Kamu di sini? Bukannya di kelas?" Keizha balik menatapku.

Aku mengangkat bahu. "Udah telat."

"Oh."

Hanya itu renspons yang diberikan Keizha, lalu dia berpaling lagi kepada cowok yang belum kuketahui namanya itu.

"Kita pergi sekarang?"

Cowok itu mengangguk seraya berdiri. Sebelum benar-benar pergi mengikuti Keizha, dia menoleh kepadaku. "Aku duluan."

Dan aku sendirian lagi. Kenapa orang-orang yang dekat denganku harus direbut oleh Keizha?

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top