Bab 3
▪︎ Happy reading
▪︎ Apabila berkenan silakan meninggalkan jejak
~~~
Hari ini umurku genap dua puluh tahun. Seperti biasa, aku akan merayakan sendiri di kamar ditenami lagu kesayangan dan foto Ayah. Berbeda dengan Keizha yang dua tahun lebih tua dariku. Setiap ulang tahunnya selalu dirayakan secara mewah dengan mengundang teman-teman ke rumah atau memesan sebuah kafe untuk berpesta. Ulang tahun yang ke-22 bulan lalu, dia memesan sebuah vila di Puncak dan mengundang teman-teman kampus untuk berpesta semalaman. Entah, apa saja yang mereka lakukan di sana. Jelas aku tidak tahu karena Keizha tidak mengajakku.
Lagi pula, aku tidak pernah bisa memenuhi target nilai yang diberikan Ibu untuk bisa merayakan ulang tahun. Meski aku berusaha belajar dengan keras, nilaiku tetap segitu-segitu saja. Malah yang kudapatkan adalah mata minus, hingga harus menggunakan kacamata yang membuatku makin terlihat cupu.
Aku sudah siap berangkat ke kampus, lalu keluar kamar dan bergabung bersama yang lain di meja makan.
"Selamat pagi!" sapaku sebelum duduk di samping Keizha yang sudah siap pergi ke kampus juga.
"Hari ini kamu berangkat sendiri, ya. Aku masih harus mampir ke suatu tempat sebelum ke kampus."
"Tapi, Kak, aku mesti buru-buru karena ada kelas pagi. Kalo naik bus nggak bakal keburu."
"Ya, naik taksi, lah. Susah amat. Banyak ojek online juga, kali. Nggak usah sok menderita gitu, deh."
"Dara, kamu jangan nyusahin kakakmu terus, dong. Belajar berangkat sendiri."
Aku hanya bisa menghela napas jika Ibu sudah ikut campur. Bukannya aku mau menyusahkan Keizha terus, tetapi itu sudah perjanjian awal sejak dia dibelikan mobil. Aku sudah pernah meminta untuk dibelikan motor saja agar bisa ke mana-mana sendiri tanpa merepotkan orang lain. Namun, permintaanku selalu ditolak. Pertama, karena lagi-lagi nilaiku tidak memenuhi standar keluarga ini. Kedua, saat nilaiku sudah memenuhi standar, justru uangnya untuk membelikan Keizha mobil. Ketiga kalinya, aku harus mengalah lagi karena Junior─anggota termuda dalam keluarga─mau masuk TK.
"Dara bareng Papa ke kampusnya."
Aku menoleh ke arah laki-laki yang menjadi suami Ibu itu sambil tersenyum manis. "Oh, nggak usah, Om Ardan. Aku berangkat sendiri aja. Makasih untuk tawarannya."
"Kamu kenapa masih manggil Papa dengan 'Om Ardan', sih?"
Aku hanya mengangkat bahu tanpa menjawab pertanyaan Ibu. Kemudian, mengambil piring dan menyendok nasi. Pagi ini Ibu memasak capcai, ayam goreng, nasi goreng, perkedel, dan telur dadar. Kupikir Ibu sudah lupa dengan masakan kesukaanku, ternyata tidak.
"Itu buat kakakmu. Tunggu dia ambil dulu baru kamu."
Aku berhenti menyendok capcai saat Ibu memukul tanganku. Kemudian, aku beralih mengambil ayam goreng. Namun, lagi-lagi Ibu memukul tanganku dan berkata jika lauk itu untuk Junior. Akhirnya, aku hanya mengambil perkedel dan telur dadar tanpa sayur. Yah, beginilah nasib anak tengah.
Ah, ya. Aku belum cerita kalau Ibu dan Om Ardan tetap memutuskan menikah meski tanpa persetujuanku. Satu tahun setelah kepergian Ayah dan aku berumur empat belas, mereka menikah dengan mengadakan pesta kecil-kecilan di rumah. Setelah itu, Om Ardan dan Keizha pindah ke rumah kami, sementara rumah mereka disewakan.
Baru sehari tinggal bersama, aku sudah harus mengalah kepada Keizha yang menginginkan kamarku sebagai kamarnya. Akhirnya, sesuai perintah Ibu aku pindah ke kamar lain yang lebih kecil dari kamarku sebelumnya.
Untuk suami baru Ibu, sampai detik ini aku belum bisa memanggilnya "Papa". Butuh waktu bertahun-tahun untukku bisa menerima jika Ayah telah tiada dan digantikan sosok baru. Sepertinya belum cukup sampai di situ hal baru yang harus kuterima. Satu tahun setelah pernikahan mereka, keluarga baru ini mendapat anggota keluarga baru lagi. Seorang anak laki-laki yang sangat disayang Ibu.
Aku berjuang sendiri untuk menerima perebuhan-perubahan dalam rumah saat umurku masih belia. Seiring berjalannya waktu, aku mulai terbiasa dan menerima keluarga baru Ibu. Bagaimanapun, mereka adalah keluargaku juga. Jadi, aku juga harus menyayangi mereka. Mungkin saja, aku bisa mendapat keluarga utuh yang bahagia.
Taksi online yang kutumpangi berhenti di depan kampus. Ya, aku memutuskan untuk naik taksi online saja karena ada kelas pagi. Berjalan sendirian di sepanjang koridor gedung Fakultas Ekonomi dan Bisnis, membuatku sedikit tidak nyaman dengan pandangan teman-teman yang melihatku. Entah, apa yang diceritakan Keizha kepada teman-teman kampus hingga mereka memandangku berbeda. Seolah, aku adalah kecoak menjijikkan yang berkeliaran di antara kaki mereka.
Tiba di kelas, seorang gadis manis menyambutku dengan sebuah pertanyaan.
"Mereka nggak ganggu kamu lagi, kan?"
Risa, satu-satunya mahasiswa di kampus ini yang mau berteman denganku. Kami berkenalan saat hari pertama OSPEK, lalu kami menjadi akrab. Tentu saja karena kami sama-sama cupu.
Aku menggeleng sebagai jawaban.
"Mereka belum bertindak kalo sang ratu nggak ada. Tumben, kakak kamu belum nongol?"
"Dia lagi urusan katanya."
Risa menghela napas. "Heran, deh. Kakak kamu itu cantik-cantik tapi hatinya culas. Apa semua kakak tiri itu kejam?"
"Hus! Nggak boleh ngomong gitu. Mungkin karena Keizha lebih cantik dan lebih pintar makanya dia bisa berbuat seenaknya. Sementara aku bukan siapa-siapa."
"Lagian, kamu ngapain ikut-ikutan ambil jurusan bisnis kalo nggak suka?"
Aku hanya tersenyum seraya mengangkat bahu mendengar pertanyaan sama yang sering dilontarkan Risa itu.
Keizha selalu menjadi nomor satu di rumah maupun di kampus. Dulu, waktu masih sekolah, dia juga menjadi bintang yang bersinar terang. Menjadi kebanggaan orang tua dan seluruh guru maupun dosen. Benar kata Risa tadi, aku tidak menginginkan kuliah di Jurusan Bisnis. Namun, karena Keizha memilih jurusan ini dan untuk mendukung bisnis keluarga, maka aku juga harus masuk jurusan yang sama dengan kakakku itu. Kalau aku menolak, Ibu tidak akan menguliahkanku.
Sejujurnya, sejak semester tiga aku mulai membiayai kuliah sendiri. Karena uang kuliahku harus kepakai untuk biaya semester akhir Keizha. Dia lebih membutuhkan untuk biaya magang, KKN, dan penelitian. Maka dari itu, aku mencari pekerjaan paruh waktu agar bisa membayar uang semester. Tidak mungkin juga memilih untuk berhenti kuliah. Aku juga butuh ijazah untuk mendapat pekerjaan yang lebih layak.
Mata kuliah hari ini sudah selesai dan aku masih harus menunggu Keizha keluar kelas. Tadi dia sempat mengirim chat WhatsApp agar aku menunggunya dan kami bisa pulang bareng. Aku duduk di bangku taman depan gedung perkuliahan. Tiba-tiba datang segerombol cewek yang berdiri di depanku.
"Jadi dia adiknya Keizha?"
Aku mendongak menatap cewek yang berdiri di depanku. Cewek itu memakai rok mini dengan kaus putih yang ditutupi blezer merah muda. Rambutnya sengaja dibuat gelombang di bagian bawah dan dandanannya sedikit menor menurutku. Ah, jangan lupa tatapannya yang merendahkan itu.
Dia tersenyum miring sebelum berkata lagi. "Beda banget, ya, sama si cewek Superstar itu. Yang ini jauh lebih cupu."
Para pengikutnya yang terdiri dari tiga orang itu langsung tertawa bersamaan. Aku masih belum mengerti arah pembicaraan mereka. Memangnya mereka siapa? Teman Keizha? Atau musuhnya?
Belum sempat aku pergi, dua orang pengikut cewek itu menarikku berdiri. "Ada apa ini?" tanyaku sambil berusaha lepas dari cengkeraman mereka.
Cewek yang merupakan pentolan geng itu mendekat dan mengapit pipiku dengan tangan kanannya. "Heh, Cupu! Bilangin sama kakakmu yang sok cantik itu buat jauh-jauh dari pacar orang."
Wajahku berpaling ke kanan setelah cewek yang belum kuketahui namanya itu melepas tangannya dari pipiku dengan kasar. Aku menatapnya sinis. "Urusan Keizha dengan kamu bukan urusanku."
"Berani ngelawan juga ternyata." Lagi-lagi dia mengapit pipiku, kali ini lebih keras dari sebelumnya, hingga aku meringis. "Kalo kakakmu itu masih macam-macam, aku nggak akan segan-segan bua nyakiti kamu juga."
Aku mengaduh saat cewek itu menjambak rambutku ke belakang.
Beberapa saat kemudian, aku justru mendengar cewek itu menjerit kesakitan. Aku menoleh dan menemukan seorang cowok memelintir tangannya. Melihat hal itu, aku tersenyum tipis─nyaris tidak terlihat─karena senang dia merasakan sakit lebih dari yang kurasakan. Dalam hati, aku berharap cowok itu tidak segan untuk menampar dan menjambak rambut cewek sok berkuasa itu. Kedua antek melepas cengekeraman mereka di tanganku.
Sengaja kuinjak kaki mereka setelah melihat pergelangan tanganku yang memerah. Kemudian, aku mengambil tas dan berdiri di belakang cowok yang menolongku itu. Setelah diberi peringatan, empat cewek tadi pergi.
"Kamu nggak apa-apa?"
Aku tertegun melihat wajah sang penolong. "Kamu ... kayaknya kita pernah ketemu."
Wajah itu, sepertinya aku mengenalnya, tetapi aku benar-benar lupa di mana kami pernah bertemu. Belum sempat mengucapkan terima kasih, cowok itu pergi begitu saja saat Keizha datang.
"Tadi ada cewek-cewek nyamperin aku. Salah satu dari mereka bilang kamu ngerebut pacarnya. Beneran, Kak?" Aku mengadukan apa yang barusan terjadi.
"Kamu nggak usah ikut campur urusan orang. Kamu itu cuma jadi beban, tau nggak? Kamu cuma jadi kelemahanku di sini. Sampe cewek-cewek itu ngerasa lebih berkuasa dari aku. Kalo aja kamu nggak satu kampus sama aku. Mereka nggak mungkin ngerendahin aku. Dari dulu aku selalu benci harus satu sekolah sama kamu."
Aku mundur satu langkah setelah mendengar perkataan Keizha. Jadi, selama ini dia membenciku? Kenapa semua orang yang kusayangi harus membenciku? Apa salahku?
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top