Bab 24
▪︎ Happy reading
▪︎ Apabila berkenan silakan meninggalkan jejak
~~~
Tiga hari sejak Ibu kembali dari dinas luar kota, aku mencoba untuk mendekatkan diri lagi kepadanya. Aku selalu berusaha memancing obrolan agar kami tidak terlalu canggung satu sama lain. Namun, sepertinya kebencian Ibu kepadaku belum hilang sepenuhnya. Ibu masih sering membicarakan Keizha dan Junior. Dia juga terus mencoba menghubungi suaminya yang tidak akan pernah kembali itu.
Ibu berniat menghubungi polisi untuk melaporkan hilangnya Om Ardan, tetapi aku mencegahnya.
"Bu, sebaiknya kita tunggu aja. Mungkin Om Ardan lagi nenangin diri karena baru kehilangan dua anak dalam waktu berdekatan."
"Tapi, terakhir Ibu telepon sebelum berangkat ke luar kota. Papamu bilang sudah mau pulang. Dan nggak biasanya juga papamu itu matiin HP."
"Ya, mungkin Om Ardan nggak mau keliatan lemah di depan Ibu. Apalagi waktu itu Om Ardan sempet hampir nyakitin aku, kan, Bu."
Aku melihat bahu Ibu merosot setelah mendengar pendapatku. Sepertinya dia setuju dan tidak membahas lagi masalah hilangnya Om Ardan dan laporan ke polisi.
Saat ini, kami berdiri di balkon lantai dua yang menghadap taman belakang dan kolam renang. Hari Sabtu, Ibu libur kerja dan aku juga libur kuliah. Baru pertama kali kami berdiri bersama lagi di sini setelah sekian lama. Mendapat momen seperti ini, aku harus menunggu bertahun-tahun dan setelah menyingkirkan semua orang yang menjadi penghalang kami. Andai Om Ardan dan Keizha tidak pernah masuk dalam keluarga kami, apakah aku bisa mendapatkan hati Ibu kembali?
"Udah lama kita nggak pernah berdiri sama-sama di sini kayak dulu, ya, Bu? Dulu kita sering ngeliat Ayah yang berkebun dari sini. Abis itu Ayah manggil aku untuk berlatih berenang. Dan Ibu bikinin camilan buat kami."
Aku melihat Ibu tersenyum walau samar. Itu artinya Ibu masih mengingat momen kebersamaan kami. Aku hanya tinggal menggali momen-momen bahagia kami agar bisa sedekat dulu.
"Dara, itu gundukan apa di sebelah sana?"
Aku ikut menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Ibu. Gawat! Itu gundukan tempat peristirahatan terakhir dari suaminya.
"Ah, itu hasil aku berkebun beberapa hari ini, Bu. Setelah kepergian Keizha dan Junior, aku merasa kesepian. Nggak ada lagi teman yang bisa diajak ngobrol atau berantem. Nggak ada lagi anak kecil yang suka ngerepotin. Jadi, aku inget Ayah dan mencoba menyibukkan diri dengan berkebun."
Aku melihat Ibu mengendus-endus di sekitar kami. "Kamu nyium nggak, Dar? Ada bau nggak enak gitu. Kaya bau busuk. Apa ada tikus mati, ya di rumah kita?"
Aku hampir tersedak mendengar perumpamaan Ibu. Iya, Ibu benar. Ada tikus besar yang mati di rumah ini. Tikus yang udah menggerogoti masa depanku.
"Oh, itu pasti bau pupuk kandang yang aku pasang, Bu. Buat nyuburin tanah. Taman ini udah lama nggak dirawat. Aku mau kasih makanan ke tanahnya bisa subur."
"Bau pupuk kandang? Tapi, ini kayak bau busuk, Dar."
Sial! Penciuman Ibu labih tajam dari yang kukira.
"Iya, Bu. Bau pupuk kandang memang agak busuk gitu. Namanya juga kotoran. Ah, iya, Bu. Mending kita masuk aja. Gimana kalo kita beresin barang-barang milik Keizha sama Junior?"
Ibu tampak mengernyit dan hal itu membuatku was-was. Bagaimana kalau Ibu tidak percaya dan mencari sumber bau busuk itu? Tidak. Aku tidak boleh ketahuan sekarang.
"Ah, iya. Aku belum kasih kabar sama Ibu kalo aku dapet beasiswa penuh untuk dua tahun ke depan sampe lulus, Bu."
Kening Ibu yang mengkerut perlahan kembali normal dan perhatian Ibu sekarang sepenuhnya untukku.
"Tunggu. Coba kamu jelasin lagi gimana?"
"Kita sambil jalan masuk aja, ya, Bu." Aku menggndeng lengan Ibu dan membawanya masuk menuju kamarku. "Aku lolos seleksi buat dapet beasiswa penuh sampe lulus."
"Oh, ya? Bagus, dong. Kenapa nggak dari dulu aja kamu dapet beasiswanya? Kan kita nggak usah repot-repot bagi dana buat biaya sekolahmu. Keizha jadi sering ngalah buat bayar SPP tiap semestermu. Padahal dia udah semester akhir yang lagi butuh banyak biaya."
Aku terdiam. Lagi-lagi Ibu masih membandingkanku dengan Keizha yang sudah mati itu. Kenapa Ibu tidak bisa sekali saja memuji kemampuanku? Aku menarik napas panjang, lalu mengembuskannya. Sebaiknya aku masuk ke kamar sebelum makin emosi mendengar Ibu yang terus-terusan membenggakan Keizha itu.
Aku ikut berhenti saat Ibu menghentikan langkah di depan kamar Junior. Ibu cukup lama menatap pintu kamar anak kecil itu, sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk. Aku membiarkannya dan kembali ke kamarku sendiri.
Setelah hampir satu jam Ibu berada di kamar Junior, dia keluar sambil berteriak memanggil namaku. Aku yang terkejut segera melompat turun dair kasur dan membuka pintu. Ibu berdiri di depan kamarku sambil menangis dan memegang beberapa kertas gambar milik Junior. Aku mengernyit tidak mengerti kenapa Ibu terlihat sedih dan kecewa.
"Ada apa, Bu?"
Aku maju hendak menyentuh Ibu, tetapi Ibu melangkah mundur dan menjauh dariku.
"Kamu pembunuh! Pembunuh!"
"A-apa maksud Ibu?"
Ibu melempar kertas gambar milik Junor itu ke mukaku. Aku memungutnya dan melihat sendiri apa yang ada di atas kertas itu. Mataku lansung membelalak ketika melihat hasil gambar Junior. Semuanya tentangku. Mulai dari kejadian saat Om Ardan menggodaku, hingga hari kematian Keizha.
"Bu, a-aku bisa jelasin semuanya."
"Ya, kamu harus jelasin semuanya di kantor polisi. Ibu sudah menghubungi polisi dan mereka dalam perjalanan ke sini. Kamu nggak akan bisa lolos Dara. Dasar pembunuh!"
"Bu cukup! Kenapa Ibu memyebutku pembunuh? Ibu tau apa soal aku? Apa Ibu pernah tau apa yang udah aku alami selama ini?"
"Semua itu hanya alasan. Sekali pembunuh, tetap pembunuh! Kamu juga yang udah membunuh ayahmu. Sekarang keluarga baru kamu juga? Ibu bener-bener kecewa sama kamu, Dara!"
Ibu hendak turun dan aku mencegahnya. Kami terlibat cekcok di tepi tangga. Aku bersih keras untuk menjelaskan semuanya kepada Ibu, tetapi Ibu tetap pada pendiriannya untuk melaporkanku ke polisi.
"Asal Ibu tau. Aku ngelakuin semua ini demi Ibu. Demi kita. Aku mau keluarga kita kembali kayak dulu, Bu. Seperti sebelum keluarga Om Ardan masuk dalam keluarga kita. Kita bisa hidup berdua dengan nyaman, tanpa adanya anggota keluarga baru yang sangat menyisaku."
"Kamu cuma cari alasan untuk membenarkan semua tindakanmu itu, Dara. Ibu nggak akan percaya setiap omonganmu. Kita buktikan aja di depan polisi. Biar mereka yang menyelidiki lebih lanjut dari gambar-gambar itu."
"Bu, tunggu!"
Aku membuka mulut karena syok melihat Ibu berguling-guling di anak tangga. Aku sama sekali tidak mendorongnya. Aku hanya mencoba menghentikan Ibu agar tidak bertemu polisi dengan menarik lengannya. Namun, kenapa justru hal itu membuat Ibu kehilangan keseimbangan dan terjatuh?
"Ibu!"
Aku berlari menuruni tangga hingga berhenti di samping tubuh Ibu yang sudah tergeletak di lantai. Tepat saat itu juga, polisi menerobos masuk dan mengacungkan senjata mereka ke arahku.
"Nona Dara Amira Sunggono, Anda ditangkap atas tuduhan pembunuhan terhadap Saudari Keizha Laras Aggriawan dan Junior Anggriawan ...."
Kepalaku tiba-tiba sakit. Aku tidak mendengarkan kelanjutan ucapan polisi yang memborgol tanganku. Tatapanku hanya tertuju kepada Ibu yang diperiksa oleh petugas medis. Aku terus memanggil nama Ibu saat polisi menyeretku keluar. Inikah akhir dari hidupku?
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top