Bab 23
▪︎ Happy reading
▪︎ Apabila berkenan silakan meninggalkan jejak
~~~
Memandangi seluruh taman belakang dari balkon lantai dua merupakan hal paling menyenangkan bagiku. Apalagi, saat Ayah masih ada. Kini, aku berdiri di sini untuk memastikan tidak ada hal mencurigakan yang dapat terlihat dari gundukan baru yang kubuat kemarin malam. Aku sudah menutupnya dengan sempurna. Kutanami pohon-pohon kecil dan kutaburi sekitarnya dengan pupuk kandang yang sore tadi kubeli bersama Galih.
Cowok itu tidak banyak tanya. Padahal, aku yakin dia pasti mencium bau busuk yang bukan berasal dari pupuk kandang itu, melainkan hal lain yang lebih menjijikkan. Tubuh pendosa yang kerjanya mabuk-mabukan dan melecehkan anak tirinya. Ah, aku meregangkan tubuh yang terasa capek luar biasa karena menghabiskan sore dengan berkebun.
Aku sudah menghubungi Ibu dan katanya malam ini akan pulang. Setelah memastikan semuanya tertutup dengan rapi, aku meninggalkan balkon dan masuk ke kamar.
Malam ini aku bisa tidur nyenyak tanpa harus khawatir bermimpi buruk lagi. Semua yang membuatku merasa sesak selama ini sudah lenyap tak bersisa. Aku hanya tinggal mengatur agar Ibu mau pindah dari rumah ini dan memulai hidup baru denganku.
Merebahkan diri di kasur sambil memasang earphone di telinga kanan untuk mendengarkan musik. Aku memutar lagu Satu-satu yang terdengar sangat menenangkan. Aku bisa menikmati makna lagu ini setelah sekian lama aku meragukannya karena keluarga baru yang Ibu bawa. Namun, kini semua bisa berjalan sesuai dengan lirik lagu tersebut.
Ah, ya. Besok aku harus pindah ke kamar Keizha yang memang seharusnya sejak awal menjadi kamarku. Toh, Keizha sudah pergi dan kamar itu sekarang tidak berpenghuni. Jadi, boleh saja, kan, aku menempatinya?
Aku begitu menikmati alunan musik dari lagu anak-anak itu, hingga hampir terlelap. Suara mesin mobil yang memasuki halaman rumah menyadarkanku. Aku membuka mata dan melepas earphone di telinga. Mematikan musik, lalu bergegas turun untuk menyambut Ibu.
Ketika aku tiba di ruang tamu, Ibu sudah lebih dulu membuka pintu. Aku langsung menghambur ke pelukannya.
"Hei! Ada apa?"
"Enggak apa-apa, Bu. Aku kangen Ibu." Aku makin mengeratkan pelukan kami.
"Ibu mau mandi dulu. Badan Ibu bau banget. Lengket semua rasanya."
Perlahan, aku melepas pelukan kami. Aku tahu Ibu masih canggung untuk memperlakukanku seperti dulu lagi. Tidak apa-apa, aku sudah bisa bersabar selama ini. Jadi, apa salahnya menunggu sedikit lagi? Aku pasti bisa.
"Papa ke mana?"
Oh, oh. Pertanyaan yang sudah kutunggu-tunggu akhirnya keluar juga.
"Aku nggak tau, Bu. Dari kemarin nggak pulang."
"Bener? Dari Ibu berangkat, Papa belum pulang?"
"Belum. Aku nggak tau Om Ardan pulang atau nggak. Setelah Ibu pergi aku langsung masuk kamar dan semalam aku nginep di rumah Risa, temen kuliahku. Aku takut sendirian di rumah segede ini. Apalagi, banyak kejadian belakangan ini yang ngebuat aku nggak bisa tidur."
"Oh, ya, udah. Nanti Ibu hubungi lagi papamu itu."
Aku mengangguk dan duduk di sofa di ruang tengah. Aku masih bisa mendengar Ibu bicara sendiri setelah tidak berhasil menghubungi laki-laki itu.
"HP-nya juga mati. Ke mana kamu, Mas?"
Kemudian, aku melihat Ibu masuk kamar dan menutup pintunya.
Aku tersenyum sambil memandangi lantai yang menjadi saksi bisu dari perbuatanku malam itu. Ingatan tentang kejadian dua malam lalu berputar kembali di kepalaku.
Laki-laki berengsek itu merebahkan tubuh di sampingku setelah menyalurkan nafsu bejatnya. Tanpa ada rasa bersalah sedikit pun, dia bangkit dan hendak meninggalkanku. Sudah cukup kesabaranku selama ini. Dia tetap tidak berubah meski telah kehilangan kedua anaknya. Aku berdiri setelah merapikan pakaianku dan berjalan di belakangnya. Tiba ruang tengah lantai dua, aku mengumpulkan seluruh tenang yang masih tersisa untuk menerjang dan mendorong tubuh yang sempoyongan itu, hingga menabrak pagar tangga, lalu meloncat ke bawah.
Aku melihat tubuh itu tergeletak di lantai ruang tengah. Darah segar mulai keluar dari kepalanya, tetapi tubuh itu masih mampu bergerak. Aku mencari sesuatu yang bisa kugunakan sebagai senjata. Aku turun ke ruang tengah dan menemukan vas bunga di meja dan mengambilnya.
Perlahan, aku mendekat ke tubuh tang tergeletak tak berdaya itu. Tangannya berusaha menggapai sesuatu untuk pegangan. Namun, sebelum dia menemukan pegangan, aku memukul kepalanya dengan vas yang kubawa. Tidak sampai di situ, aku menusuk lehernya dengan pecahan vas, hingga tubuh itu tidak bergerak lagi. Aku menendangnya beberapa kali untuk memastikan dia masih hidup atau sudah tewas. Kuperiksa hidung dan nadi di lehernya, hasilnya sempurna. Akhirnya, sumber masalah dalam hidupku sudah lenyap.
Dengan tangan yang masih bergetar, aku berusaha menenangkan diri dan berpikir jernih. Aku harus menyingkirkan tubuh menjijikkan ini dan menghilangkan semua jejak yang tertinggal.
Aku bangkit dan bergegas ke taman belakang rumah. Mencari sekop yang biasa Ayah gunakan untuk menggali tanah saat berkebun. Setelah menemukannya di bilik kecil di sudut taman, aku mengambilnya dan mulai menggali tanah di bawah pohon akasia. Meski berat dan susah, aku tetap berusaha sekuat tenaga untuk terus menggali. Setelah mendapat kedalaman yang lumayan untuk mengubur seseorang, aku menghentikan kegiatan menggali dan kembali ke dalam rumah.
Mengumpulkan tenaga dengan menarik napas panjang, lalu mengembuskannya. Aku menyeret tubuh besar yang penuh darah itu ke taman belakang. Tiba di sana, aku langsung memasukkan tubuh laki-laki bejat itu ke dalam lubang yang telah kubuat. Kemudian, aku kembali ke ruang tengah untuk membersihkan bekas darah dan pecahan vas yang berserakan. Aku mengambil kain lap di dapur, lalu membasuhnya dengan air. Kubersihkan seluruh ruang tengah agar tidak ada sedikit pun bercak darah yang terlihat.
Setelah yakin semua lantai bersih, aku membuang kain lap yang kugunakan tadi ke dalam lubang bersama tubuh tak bernyawa itu. Kemudian, aku menutupnya kembali dengan tanah galian tadi. Memang tidak bisa sempurna seperti semula, tetapi sudah lumayan untuk menutupinya.
Aku segera membereskan sekop dan meletakkan kembali di bilik kecil tadi setelah mencucinya bersih. Setelah semua beres, aku kembali ke kamar untuk membersihkan diri. Seluruh pakaian yang melekat di tubuh, kubuka dan kubungkus dengan plastik hitam. Aku akan membuangnya jauh dari sini agar tidak ada bukti yang mengarah kepadaku.
"Dara! Kamu masih di sini?"
Aku tersadar dari lamunan dan menoleh ke belakang saat Ibu memanggilku. Ibu sudah selesai mandi dan berganti pakaian.
"Aku masih mau nunggu Ibu."
Ibu tidak menjawab dan justru sibuk dengan ponselnya.
"Ibu hubungi papamu dari tadi nggak bisa. HP-nya mati. Aneh. Nggak biasanya papamu kayak gini. Ke mana dia?"
Terlihat jelas raut khawatir di wajah Ibu. Jelas, laki-laki itu tidak akan bisa mengangkat panggilan dari Ibu. Dia sudah berbaring dengan tenang di tempatnya. Sementara, ponselnya juga berada di tempat yang aman.
Aku kasihan melihat Ibu. Dia harus kehilangan suami dua kali dengan cara yang tragis. Pertama, kecelakaan itu telah merenggut suami pertamanya. Dan kedua, aku sendiri yang sudah merenggut suami kedua Ibu.
Aku meyakinkan diri bahwa semua ini bukan salahku. Aku melakukannya semata-mata untuk melindungi diri. Ini bukan kejahatan, melainkan hanya sebuah pembelaan diri.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top