Bab 22
▪︎ Happy reading
▪︎ Apabila berkenan silakan meninggalkan jejak
~~~
Aku terbangun ketika alarm dari ponsel berbunyi sangat nyaring. Duduk bersila di kasur sambil meregangkan tubuh, rasanya seluruh badanku remuk tak bersisa. Bagian inti dari tubuhku masih sangat nyeri dan perih. Kepalaku sakit luar biasa karena aku baru bisa tertidur sekitar pukul tiga pagi. Sekarang masih pukul enam dan itu artinya aku baru tidur selama tiga jam. Mataku masih berat, tetapi aku harus bangun dan bersiap ke kampus.
Aku harus meninggalkan rumah ini untuk sementara waktu. Setidaknya sampai Ibu pulang. Kemudian, aku akan mengajak Ibu pergi jauh dari sini dan memulai hidup baru hanya kami berdua.
Selesai berpakaian dan bersiap ke kampus, aku keluar kamar. Tepat di depan kamar aku berhenti. Seolah serangkaian kejadian semalam berputar persisi di hadapanku. Bagaimana laki-laki berengsek itu menyentuhku lagi. Memperlakukanku seperti pelacur yang hanya digunakan untuk memuaskan nafsunya.
Seluruh tubuhku merinding mengingat kejadian semalam. Saat ini, aku yakin laki-laki itu sedang beristirahat dengan tenang. Aku melihat penampakan diriku sendiri berjalan ke kamar dan masuk kamar mandi. Aku membersihkan diri di bawah pancuran dan menggosok seluruh tubuh agar jejak laki-laki bejat itu menghilang. Aku jijik dengan tubuhku sendiri.
Aku menggeleng untuk menghilangkan bayangan malam mengerikan itu. Tanpa sarapan, kugendong tas ransel yang semalam sudah kusiapkan di punggung dan turun ke lantai satu. Di ruang tengah, kuperhatikan lantai yang tepat berada di bawah pagar lantai dua. Tempatku melakukan hal paling gila semalam. Aku memegangi bekas jahitan di tangan kanan yang tiba-tiba terasa gatal dan menyengat saat mengingat apa yang kulakukan semalam. Sepertinya, bekas jahitan ini bereaksi saat aku mengingat kejadian mengerikan yang sudah kualami.
Setelah menatap cukup lama lantai di ruang tengah dan memastikan tidak ada jejak yang tertinggal, aku keluar rumah. Ojol yang kupesan sudah menunggu di depan rumah. Aku bergegas mengunci pintu, lalu menghampiri ojol tersebut dan naik ke jok belakang.
Tiba di kampus, aku langsung mencari keberadaan Risa. Beruntung, aku langsung menemukannya di kelas. Risa memandangiku dari atas hingga bawah dengan tampang heran dan kening yang berekerut.
"Kamu mau ke mana? Minggat?"
"Iya. Aku nginep di rumahmu, ya, malam ini?"
"Tumben? Kenapa?"
"Aku sendirian di rumah. Ibu lagi dinas luar kota. Om Ardan nggak tau ke mana. Dan kalo aku sendirian di rumah itu, aku selalu inget kejadian Keizha sama Junior. Aku nggak bisa tenang di sana. Please!" Aku sudah memasang wajah paling memelas saat ini.
Dalam hati aku terus berdoa agar Risa mengizinkanku menginap di rumahnya.
"Hem. Oke. Kamu boleh nginep di rumah. Tapi, nggak bisa lama-lama. Soalnya bapak sama ibuku ketat banget. Daripada nanti ditanya-tanya, mending nggak usah lama-lama. Sori."
"Enggak apa-apa. Yang penting malam ini aku nggak sendiri. Mungkin besok Ibu udah pulang. Makasih, ya, Risa." Aku langsung memeluknya tanpa memedulikan peringatan yang diberikan.
Aku bisa bernapas lega untuk malam ini. Setidaknya, aku tidak akan melihat laki-laki itu lagi.
Awalnya, kupikir Risa hanya mencari-cari alasan tentang orang tuanya agar aku tidak menginap lama-lama di rumahnya. Namun, semua yang diucapkannya benar. Orang tua Risa sangat ketat dan menanyakan satu hal hingga detail sekali. Mereka menanyakan alasanku menginap dan berapa lama. Apakah orang tuaku mengizinkan atau tidak. Bahkan hingga menanyakan pekerjaan oarang tuaku dan berapa saudara yang kupunya. Untunglah, Risa membantuku menjawab. Dan temanku itu memberikan alasan karena kami harus mengerjakan tuga kelompok yang akan diserahkan besok pagi.
Kami baru bisa masuk kamar setelah kurang lebih tiga puluh menit melewati sesi tanya-jawab dari orang tua Risa.
Aku merebahkan diri di kasur Risa yang empuk ketika kami baru memasuki kamarnya. Sementara, Risa berganti pakaian dan mencuci muka. Sambil menunggu Risa selesai dan giliranku membersihkan diri, aku memikirkan langkah selanjutnya yang akan kujalani untuk menutupi perbuatanku.
Untuk pertama kalinya, aku bangun pagi tanpa beban. Semalaman tidur nyenyak tanpa mimpi buruk. Sepertinya, penderitaanku selama ini sudah berakhir. Jelas. Karena sumber masalah dalam hidupku sudah lenyap semua.
Aku ikut sarapan bersama keluarga Risa. Masakan ibu Risa begitu lezat. Sudah lama aku tidak merasakan masakan rumahan seperti ini. Ibu jarang memasak untukku, bahkan hampir tidak pernah.
Kami berpamitan sebelum pergi ke kampus. Orang tua Risa masih menanyakan apakah aku akan menginap lagi malam ini. Mereka hanya khawatir jika aku kabur dari rumah dan menjadikan rumah mereka sebagai tempat pelarian. Aku mengerti maksud mereka dan sangat berterima kasih karena mau menampungku satu malam.
Di kampus, aku bertemu Galih. Ngomong-ngomong, aku memang tidak melihatnya beberapa hari ini. Cowok itu menghampiri dan mengajakku pulang bareng. Dengan senang hati aku langsung menerima tawarannya. Aku bersyukur, tidak ada lagi ketiga cewek resek yang senang merundungku itu. Setelah mendapat peringatan keras dari Galih terakhir kali, mereka bagai ditelan bumi dan tidak berani menampakkan wajahnya lagi di depanku.
Ah, iya. Aku hampir lupa memberitahu Galih untuk menemaniku membeli pupuk kandang. Ada yang harus kulakukan dengan sesuatu yang menjijikkan dan bau busuk itu.
"Buat apa pupuk kandang?" tanya Galih saat kami perjalanan pulang.
"Aku mau menyibukkan diri dengan berkebun di taman belakang. Seperti yang Ayah lakukan saat dia masih ada."
Galih hanya mengangguk dan tidak bertanya lagi, hingga kami tiba di tempat penjual pupuk kandang itu. Tanpa mengeluh, Galih juga mengangkat pupuk kandang untukku dan membantuku meletakkannya di taman belakang.
Aku cukup was-was saat Galih ikut masuk ke taman belakang rumah. Semoga saja dia tidak menyadari ada yang aneh dengan taman di rumahku itu. Aku harap, bau pupuk kandang ini bisa menutupi bau lain yang lebih busuk.
Galih sempat bertanya mengenai gundukan baru di bawah pohon akasia. Nyaris saja aku ketahuan kalau Galih tidak percaya bahwa gundukan itu merupakan tempat tanaman baru yang kutanam tempo hari.
"Ibu sama ayahmu ke mana? Kemarin aku baru dateng dan rumah ini keliatan sepi banget."
"Oh, iya. Ibu lagi dinas luar kota. Kalo Om Ardan nggak tau ke mana. Mungkin lagi nenangin diri karena baru kehilangan dua anaknya dalam waktu yang berdekatan."
"Kalo kamu dari mana?"
"Aku nginep di rumah Risa. Abis aku nggak mau sendirian di rumah ini."
"Oh, ya udah. Aku balik dulu, ya. Kamu nggak apa-apa ditinggal sendiri?"
"Nggak apa-apa. Ibu kayaknya pulang malam ini. Makasih, ya."
Aku mengantar Galih hingga depan, lalu kembali lagi ke taman belakang untuk memasang pupuk kandang di sekitar gundukan baru itu. Aku tersenyum mengingat ada sesosok tubuh yang membusuk di bawah gundukan itu. Kini, tidak ada lagi yang menghalangi kebahagiaanku bersama Ibu. Hanya kami berdua.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top