Bab 18

▪︎ Happy reading
︎ Apabila berkenan silakan meninggalkan jejak

~~~

Cengkeraman laki-laki berengsek di kerah bajuku itu makin erat, membuat dadaku sesak. Tanganku menggapai-gapai baju dan memukul-mukul lengannya untuk melepas cengkeraman itu. Aku melihat Junior menjerit-jerit minta tolong sambil memukul punggung ayahnya. Sementara Ibu yang baru tiba di lantai dua langsung berusaha menarik suaminya agar melepasku.

"Mama! Kak Dara, Ma. Tolong, Ma! Papa lepasin Kak Dara!"

Suara Junior yang merengek dan menjerit-jerit makin membuat kepalaku pening. Leherku sakit luar biasa, bahkan untuk mengambil napas pun susah. Kaki sudah terasa lemas dan aku hampir kehilangan kesadaran. Beruntung, Ibu memukul punggung suaminya dengan pigura berisi foto keluarga kami yang menempel pada tembok di antara kamarku dan kamar Junior. Laki-laki itu mengerang kesakitan dan melepas cengkeramannya di leherku, sementara pigura tadi pecah berserakan di lantai.

Aku langsung memerosot ke lantai dengan bersandar di pagar tepi lantai dua. Berusaha mengambil udara-udara sebanyak-banyaknya. Junior langsung menghambur kepadaku sambil menangis. Aku melihat Ibu membantu suaminya berdiri. Namun, belum sempat mereka turun, laki-laki itu berbalik dan menyerangku kembali.

Kali ini, dia mencengkeram lenganku dengan kuat. Aku meringis dan berusaha tetap kuat.

"Aku nggak akan lepasin kamu gitu aja!" bisiknya di telingaku.

Aku meliriknya sinis, lalu membalas kata-katanya dengan berbisik pula. "Kenapa? Om mau balas dendam? Sebelum itu terjadi, Om bakal ngerasain juga seperti yang dialami Keizha. Om pikir, kelakuan bejat Om itu nggak bakal ketauan?"

"Berengsek! Dasar anak nggak tau diuntung. Selama ini aku udah berbaik hati merawatmu hingga besar. Dan ini balasanmu?"

"Mas, udah! Dara nggak salah apa-apa. Kenapa kamu marah-marah sama Dara karena kematian Keizha? Belum cukup kita berduka dan kehilangan satu anak? Dara juga kehilangan, Mas!"

"Aku yakin, dia yang udah bunuh anakku!"

"Kenapa? Kenapa Dara harus bunuh Keizha? Memangnya apa yang udah dilakukan Keizha sampe membuat Dara harus melakukan hal keji itu? Apa, Mas?"

Laki-laki itu terdiam. Cengkeramannya di lenganku melonggar dan aku bisa melepaskan diri darinya. Aku membawa Junior ke kamar. Keheningan menyelimuti Ibu dan suaminya. Mungkin, karena sudah terlalu lama diam, akhirnya Ibu bertanya lagi.

"Atau kamu yang udah punya salah sama Dara, Mas? Makanya kamu ketakutan sekali dan menuduh Dara udah mencelakai Keizha? Iya, Mas? Jawab!"

Laki-laki itu tidak menjawab dan memilih pergi dari hadapan Ibu. Aku menutup pintu kamar Junior setelah laki-laki itu menghilang di tangga. Ibu jatuh terduduk di lantai, lalu menunduk dalam sambil menangis tersedu-sedu, au masih bisa melihatnya karena mengintip dari sela pintu yang belum kututup rapat. Ingin sekali rasanya menghampiri Ibu dan memeluknya. Namun, aku harus menahannya dan memberi waktu untuk Ibu menenangkan diri.

Di dalam kamar Junior, aku menuntunnya duduk di pinggir kasur. Kami duduk sambil kuusap pelan punggungnya. Dia masih saja menangis sambil memelukku.

"Udah, dong. Kakak nggak apa-apa, kok. Liat, deh, Kakak baik-baik aja."

Junior melepas pelukannya dan mendongak menatapku. "Papa jahat sama Kakak. Aku benci Papa."

Dalam hati aku bersorak karena laki-laki itu mendapat banyak kebencian dari orang terdekatnya. Namun, di hadapan Junior aku menampilkan wajah malaikat dengan tersenyum manis.

"Hus! Nggak boleh ngomong gitu. Dia tetep papamu."

"Tapi, Papa jahat banget. Papa bikin Kakak sakit."

"Enggak apa, kok. Sekarang kamu tidur, ya. Udah malam. Tadi seharian udah capek, kan?"

Junior mengangguk dan mulai naik ke kasur. Aku menyelimutinya hingga dada. Kemudian, aku duduk sambil menepuk-menepuk tangannya yang dilipat didada, hingga dia terlelap. Saat hendak berdiri dan keluar kamar, Junior memegang tanganku. Aku menoleh, tetapi anak itu masih terpejam. Perlahan, kulepaskan genggaman tangannya, tetapi dia justru makin mnegeratkannya.

Aku menunggu beberapa saat, lalu Junior bicara dalam tidurnya. "Kakak, Kak Keizha kasihan. Dia sakit. Aku liat Kakak sama Kak Keizha."

Aku menyentakkan tangan Junior begitu saja. Syukurlah, dia terlelap lagi. Apa aku tidak salah dengar? Barusan dia bilang melihatku bersama Keizha? Gawat!

Tiba-tiba saja rasa cemas menyelimuti. Aku mondar-mandir di kamar Junior. Aku harus melakukan sesuatu sebelum anak itu bicara kepada orang lain. Menggigiti kuku tangan, aku berjalan ke meja belajar Junior. Mencoba menenangkan diri agar tidak panik dengan menarik napas dalam, lalu mengembuskannya. Aku melihat banyak kertas gambar di atas meja belajarnya. Kuambil salah satu kertas itu dan betapa terkejutnya saat meihat gambar di kertas tersebut.

Junior melihatnya! Dia melihat apa yang terjadi di balkon waktu itu. Aku keluar dengan membawa kertas-kertas itu, lalu merematnya dan kembali ke kamar.

Tiba di kamar, aku langsung menutup pintu dan menguncinya. Aku duduk di pinggir kasur sambil terus meremat-remat kertas gambar milik Junior. Tidak bisa! Aku tidak boleh meninggalkan saksi. Misiku belum selesai. Laki-laki bejat itu masih bisa bernapas dengan leluasa. Aku meletakkan kertas gambar itu di kasur, lalu menunduk sambil meremas kepala yang tiba-tiba berdentang. Kilas kejadian di balkon berputar di kepalaku.

Setelah meninggalkan Keizha sendirian, aku kembali ke kamar. Beberapa saat kemudian, aku keluar lagi dengan memakai hoodie hitam. Aku berjalan perlahan menghampiri Keizha yang masih berdiri di balkon sambil menangis.

"Kamu baru menyesal sekarang? Sudah terlambat!"

Dia tampak terkejut dan membalikkan badan menghadapku. "Mau apa kamu?"

Aku tersenyum miring dan perlahan mendekat ke arahnya. Keizha yang berada di dekat pagar balkon mundur hingga bersandar di sana.

"Kamu pikir, selama ini kamu hebat? Kamu selalu jadi nomer satu. Tapi, sekarang kamu bener-bener hancur."

"Sialan! Kamu mau ngaku kalo semua ini ulahmu? Iya, kan? Cepet ngomong!"

"Kalo iya, kenapa? Mau lapor? Silakan! Kamu nggak punya bukti. Kamu cuma pengecut yang bisanya lari dari masalah. Kenapa kamu nggak mau jadi saksi buat ngelaporin kelakuan bejat papamu itu? Kalo kamu dengan sukarela mau membelaku, semua ini nggak mungkin terjadi sama kamu. Jadi, nikmati aja hasil keputusanmu saat itu."

"Kamu nggak kenal Papa! Papa bisa lakuin apa aja buat nyelametin dirinya. Kau nggak tau apa yang aku alami selama tingga berdua sama Papa. Aku juga menderita, Dara! Bukan cuma kamu aja!"

Aku mendengkus. "Aku udah pernah ngulurin tangan supaya kita bisa laporin laki-laki berengsek itu. Tapi, kamu justru berpaling dan membuatku makin tertekan. Sekarang semuanya udah nggak guna lagi. Kamu pikir, kamu bakal selamat? Orang-orang pasti bakal ngebenci kamu, ngucilin kamu, ngehina kamu, dan mereka bakal terus ngomongin kejelekan kamu di belakang. Kampus? Bentar lagi kamu bakal dikeluarin dari sana. Ibu? Papamu? Mereka pasti kecewa dan nggak akan memperlakukan kamu seperti sebelumnya. Semua akan berubah Keizha. Dunia yang dulunya berwarna, kini akan gelap gulita. Dan kamu terjebak di dalamnya."

"Diam! kamu nggak berhak ngomong kayak gitu. Ini hidupku. Aku yang bakal nentuin gimana ke depannya."

"Oh, iya? Caranya gimana? Kamu bisa balikin nama baik kamu yang udah hancur itu? Lebih baik kamu mati. Selesai masalah!"

"Kamu pikir aku nggak berani?" Dia menaiki pagar balkon dan berdiri menghadap bawah. "Aku bakal tunjukin sama orang-orang kalo kamu dalang dari semua ini. Bahkan kalo aku mati sekali pun."

"Kamu berani? Coba kalo berani, loncat dari sini sekarang!"

Keizha hanya bergeming. Sepertinya dia sedang menimbang-nimbang keputusan apa yang akan diambilnya. Aku makin maju dna berdiri tepat di belakangnya.

"Sepertinya kamu butuh bantuan."

Setelah mengatakannya, aku mendorong Keizha yang tidak siap menerima serangan dariku. Pegangannya terlepas dan dia meluncur begitu saja ke bawah.

Aku tersadar dari lamunan dan kepalaku makin terasa sakit. Aku yakin, saat itu tidak ada siapa-siapa yang melihat perbuatanku. Namun, kenapa Junior bisa mengatakan hal itu? Aku mengambil ponsel dan lengsung mengetikkan sesuatu.

Lipan: Sial! Tanpa sadar aku meninggalkan saksi.

XXX: Siapa?

Lipan: Hanya anak kecil. Aku rasa, aku bisa mengatasinya.

XXX: Jangan mengambil risiko. Kamu harus menyingkirkannya juga sebelum menjadi masalah.

Aku terdiam sambil menatap layar ponsel. Apa yang harus kulakukan sekarang? Dia hanya anak kecil.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top