Bab 15
▪︎ Happy reading
▪︎ Apabila berkenan silakan meninggalkan jejak
~~~
Berdiri di balkon lantai dua dengan melipat tangan dan menyandarkannya di pegangan pagar. Aku melihat ke bawah, ke kolam renang dan taman belakang rumah. Udara sore yang cukup segar membuatku memejamkan mata sambil menarik napas dalam-dalam, mengisi penuh paru-paru dengan oksigen. Sudah lama sejak terakhir kali aku bisa menghirup udara dengan bebas. Selama ini aku hanya menahan sakit yang diberikan oleh ibu kandungku sendiri dan keluarga baru yang dibawa oleh Ibu.
Saat membuka mata, pandanganku tertuju ke bawah. Membayangkan jika seseorang jatuh dari atas sini seperti kucing yang pernah kulihat beberapa hari lalu jatuh dari atap. Mungkinkah orang itu akan langsung mati? Atau hanya mengalami patah tulang? Lebih baik mati saja daripada hidup menanggung sakit selama sisa umur.
Dulu sekali, saat Ayah masih ada. Aku dan Ibu sering berdiri di sini. Pada hari libur, Ayah akan membersihkan taman belakang dan menguras kolam renang. Aku dan Ibu memperhatikannya dari balkon. Setelah membersihkan kolam renang, Ayah akan memanggilku untuk turun dam kami berenang bersama. Sementara Ibu akan membuat camilan dan minuman untuk kami. Dulu Ibu begitu hangat, mau mendengarkan semua keluhanku tentang teman-teman atau pelajaran sekolah. Namun, kini Ibu tidak pernah peduli lagi kepadaku, dia hanya memedulikan keluarga barunya terutama Keizha.
Aku sangat terhibur dengan kejadian di kampus siang tadi. Keizha yang selama ini menjadi kebanggaan Ibu dan juga dosen-dosen di kampus terlihat rapuh dan hancur. Dia bahkan tidak bisa membalas ketiga cewek yang tengah merundungnya. Dia hanya bisa menangis sambil menunduk. Sebenarnya, aku juga kasihan karena seolah melihat diriku sendiri yang sedang dirundung. Namun, aku tetap bergeming dan hanya menyaksikan Keizha dipermalukan.
Gerombolan mahasiswa yang juga ikut merundung Keizha bersama ketiga cewek itu akhirnya bubar saat salah satu dosen menegur mereka. Keizha diminta untuk pulang dan tidak boleh berada di kampus untuk sementara waktu, hingga pihak kampus mengambil keputusan mengenainya.
Setelah semua orang pergi, aku dan Risa baru menghampiri Keizha. Aku sudah berniat baik mau menemaninya pulang, tetapi dia justru menepis tanganku yang hendak membantunya berdiri. Dia juga masih sempat mengumpat dan menyalahkanku atas semua yang terjadi kepadanya.
Risa langsung menarikku pergi meninggalkan Keizha sendirian. Temanku itu tidak terima dengan semua ucapan Keizha yang menyalahkanku. Aku harus selalu bersyukur karena sudah memiliki teman sebaik dia.
Kami bertemu Galih dalam perjalanan kembali ke kelas. Aku tahu hubungannya dengan kaka tiriku sudah berakhir, tetapi untuk kali ini saja aku meminta bantuannya agar mengantar Keizha pulang. Syukurlah, dia tidak menolak.
Setelah seluruh mata kuliah hari ini selesai, aku segera pulang untuk melihat keadaan Keizha. Ternyata, sejak pulang diantar Galih dia mengunci diri di kamar. Junior juga bilang kalau Keizha belum makan apa-apa sejak pulang. Aku mencoba berbaik hati dengan mengetuk pintu kamar Keizha untuk mengajaknya makan. Namun, dia justru marah-marah dari dalam kamar dan menyuruhku pergi. Cewek seperti Keizha memang tidak pernah mengenal rasa terima kasih. Aku memutuskan untuk kembali ke kamar dan tidak memedulikannya lagi.
Aku sudah salah menilai Keizha akan berubah dengan kejadian ini. Aku mengambil ponsel dan mengganti kartu telepon dengan kartu perdana yang sudah kubeli beberapa hari lalu. Setelah mendaftarkannya dengan akun palsu, aku mulai mengirimi Keizha chat yang akan menyudutkannya, hingga untuk bertahan hidup pun dia tidak akan mampu.
Eksekutor: Halo, apa kabar?
Eksekutor: Ternyata, kamu tangguh juga. Masih bisa bertahan hingga saat ini.
Eksekutor: Atau kamu memang nggak tau malu?
Eksekutor: Hidupmu sudah hancur. Setelah satu per satu teman-teman yang selalu mengagumimu pergi, lalu sebentar lagi kamu bakal dikeluarin dari kampus, pasti selanjutnya keluargamu sendiri yang akan membenci dan mengucilkanmu karena sudah mencoreng nama baik keluarga.
Eksekutor: Jadi, apa yang bakal kamu lakuin sekarang?
Cukup lama sebelum akhirnya Keizha membalas chat itu. Sudah bisa dipastikan balasannya berisi umpatan dan makian. Aku hanya tersenyum sambil membalas dengan terus menyudutkannya.
Eksekutor: Lebih baik mati daripada menanggung malu seumur hidup.
Itu chat terakhir yang kukirimkan kepada Keizha sebelum membuang kartu perdana yang kupakai. Setelah itu, aku baru keluar kamar dan berdiri di sini, di balkon yang menghadap langsung ke kolam renang dan taman belakang rumah.
Ketika asyik menikmati pemandangan yang sudah lama tidak pernah kuliat ini, tiba-tiba seseorang menerjangku dari belakang. Dia mendorong hingga kepalaku menunduk dalam keluar dari pagar balkon. Dengan sekuat tenaga, aku bertahan memegang pagar agar tidak terjatuh. Aku bergidik membayangkan tubuhku terjatuh dan tergeletak di bawah sana. Tidak! Bukan aku yang harusnya mati begini.
Aku berusaha mendorong orang itu ke belakang, tetapi dia jauh lebih kuat menekanku ke depan. Kuinjak kakinya dan kutendang lututnya ke belakang. Berhasil. Aku segera berbalik dan menemukan Keizha merintih kesakitan sambil memegangi lututnya. Rasakan! Enak saja dia mau membunuhku.
"Kamu apa-apaan, sih, Kak? Kamu segaja mau bunuh aku?" tanyaku dengan memegang tengkuk yang terasa sakit akibat Keizha terlalu keras menekannya.
Keizha berusaha menahan sakit dan berdiri menghadapku. Aku bisa melihat bekas air mata di pipi dan matanya yang sembap. Rambutnya juga acak-acakkan. Beruntung, dia sudah membersihkan diri dari air comberan dan berganti pakaian. Sehingga tidak membuatku mual saat berhadapan dengannya.
"Aku nggak akan biarin kamu bahagia di atas penderitaanku! Aku nggak akan biarin kamu dapetin Galih! Kalo aku harus mati, kamu orang pertama yang akan kuajak ke neraka bersamaku!"
Aku menutup telinga yang berdengung karena suara Keizha begitu keras. Apa dia bilang tadi? Mau membawaku mati bersamanya? Enak saja! Kalau mau mati, ya, mati saja sendiri.
"Kak, kayaknya kamu udah gila, ya? Seenaknya aja ngajak orang lain mati. Kalau kamu mau mati, ya, mati aja sendiri sana. Tuh, langsung lompat dari balkon. Tapi, kalo nggak mati, hidupmu bakal sia-sia!"
"Berengsek! Kamu, kan, yang udah nyebarin video itu? Ngaku aja kamu! Dan kamu juga yang neror aku beberapa hari ini."
"Makin ngaco aja, ya. Udah berapa kali aku bilang, Kak? Aku nggak tau apa-apa soal video itu. Harusnya Kakak hati-hati sebelum ngelakuin sesuatu. Sekarang tanggung sendiri akibatnya. Kakak harusnya cari solusi, bukan malah nyalahin orang lain kayak gini."
"Nggak! Aku yakin kamu yang udah nyebarin. Kamu benci sama aku selama ini, kan? Karena ibumu lebih sayang dan memperhatikanku daripada kamu anaknya sendiri. Kamu iri karena nilai-nilaiku selalu di atasmu. Kamu iri karena aku selalu jadi bintang di sekolah. Kamu cuma anak cupu yang mau ngerebut posisi orang lain."
"Setop! Aku nggak pernah iri sama kamu. Aku nggak pernah peduli apa pun yang kamu lakuin. Aku cuma peduli sama Ibu. Aku mau Ibu kembali kayak dulu lagi. Sebelum kalian dateng dan ngebuat hubunganku sama Ibu makin jauh."
Keizha tertawa seperti orang gila, lalu menangis.
"Aku nggak pernah ngerasain kasih sayang ibu. Dan waktu pindah ke sini, terus ketemu sama ibumu. Aku bener-bener seneng dan aku ngerasa kalo ibumu pantes jadi ibuku. Aku pikir, kita bisa berbagi ibu. Tapi, ternyata ibumu selalu menganggapku itu kamu. Aku mulai benci kamu. Aku harus bisa jadi nomer satu supaya ibumu selalu merhatiin aku. Bukan kamu. Dan, ya, aku berhasil."
Aku terdiam mendengar penjelasan Keizha. Jadi, ternyata Ibu masih menyayangiku. Namun, kenapa sikap Ibu berbeda ketika di depanku? Aku terkejut saat Keizha menarik lenganku.
"Aku nggak akan biarin kamu bahagia. Kamu harus mati!"
Aku menepis tangan Keizha dengan kasar, hingga dia jatuh terduduk. "Yang harusnya mati itu kamu! Kamu nggak tau, kan, apa yang aku alami selama ini? Harus rela jadi bayang-bayangmu dan selalu ngalah sama Junior. Dan satu lagi. Kelakuan papamu yang bejat itu. Dia udah tega ngerenggut masa depanku. Sementara kamu yang tau semuanya cuma diem aja. Aku nahan sakit selama ini sendirian. Terus? Kamu baru dapet satu masalah aja udah kayak gini. Mending kamu aja yang mati!"
Aku langsung berbalik dan kembali ke kamar tanpa memedulikan Keizha yang meraung-raung.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top