Bab 14
▪︎ Happy reading
▪︎ Apabila berkenan silakan meninggalkan jejak
~~~
Sejak semalam aku tersenyum memandangi ponsel yang menampilkan ruang obrolanku dengan Keizha. Setelah berbicara dengan Galih, kakak tiriku itu pulang dan langsung marah-marah kepadaku. Dia juga membanting apa saja yang dilihatnya. Rupanya, dia marah karena Galih memutuskan hubungan mereka. Bukan. Bukan karena video yang tersebar itu. Kalau kata Keizha, mereka putus karena kehadiranku. Namun, jika melihat sifat Galih selama ini, aku yakin mereka putus karena sifat jeleknya selama ini.
Aku keluar rumah untuk mencari udara segar saat Keizha mengunci diri di kamar. Kemudian, di jalan depan kompleks aku melihat sebuah konter pulsa dan kartu perdana. Aku putuskan untuk melihat-lihat dan akhirnya membeli beberapa kartu perdana yang bisa kugunakan untuk membuat hidup Keizha lebih tertekan. Setelah pulang, satu kartu perdana langsung kugunakan untuk memulai aksi dengan data palsu.
Keizha_Laras: Berengsek!
Keizha_Laras: Cepet bilang. Kamu siapa?
Keizha_Laras: Dasar nggak tau diri! Seenaknya aja ngatain hidup orang. Kamu tau apa?
Bagus! Keizha geram membaca chat yang kukirimkan sebelumnya. Sungguh menyenangkan mempermainkan seseorang. Kita lihat saja, siapa yang bertahan?
Eksekutor: Hidupmu udah hancur. Buat apa lagi bertahan? Kamu pikir orang-orang akan melupakan semua yang mereka liat dalam video itu?
Eksekutor: Lebih baik kamu pergi untuk selamanya dari dunia ini.
Keizha_Laras: Kurang ajar! Awas aja kalo sampe ketemu. Bakal kubikin abis hidupmu.
Eksekutor: Kita liat aja.
Aku langsung menonaktifkan nomor baru yang kupakai untuk meneror Keizha. Perutku terasa seperti ada ribuan semut yang berjalan di dalamnya. Geli sekali, membuatku tidak berhenti tertawa. Suara tawaku sampai ke kamar Junior, hingga anak kecil itu mengetuk pintu kamarku.
"Ada apa?"
Aku bertanya setelah membukakan pintu dan melihat Junior berdiri di depan kamar dengan membawa kertas gambarnya, seperti biasa.
"Kakak lagi seneng? Aku denger ketawanya kenceng banget."
"Enggak, kok. Kakak lagi nonton film yang lucu banget. Kenapa kamu belum siap ke sekolah?"
"Aku nunggu Mama. Tapi, kayaknya Mama sibuk ngurusi Kak Kei."
Aku ikut menoleh ke arah kamar Keizha. Benar. Ibu ada di depan kamar itu untuk membujuk Keizha keluar dan sarapan. Namun, tidak ada balasan dari dalam. Jelas! Keizha pasti masih kesal karena chat beruntun yang datang dariku semalam dan baru saja. Aku menyunggingkan senyum lagi di wajah.
"Kakak kenapa senyum?"
"Enggak apa. Ya udah, kalo gitu Kakak yang bantu kamu mandi sama ganti baju. Gimana?"
Karena aku sedang senang, aku menawarkan diri untuk membantu Junior. Kalau dipikir-pikir lagi, anak kecil ini tidak ada bersalah sama sekali. Dia hanya sial karena terlahir dalam keluarga yang sebentar lagi akan hancur. Sama denganku, kami senasib. Harus memiliki Ibu yang tidak pernah peduli kepada kami.
Aku menuntunnya untuk kembali ke kamar dan menyiapkan seragam sekolah serta peralatan mandinya. Kemudian, aku menunggu Junior selesai mandi dengan merapikan tempat tidur dan meja belajarnya.
Setelah selesai dengan urusan Junior, aku kembali ke kamar untuk mengambil tas dan ponsel, lalu kami turun ke meja makan. Aku sempat melirik ke kamar Keizha lagi dan tidak menemukan Ibu di sana. Apa Ibu sudah berhasil membujuk Keizha?
Tiba di meja makan, aku mengerutkan kening melihat Keizha duduk di sana dengan penampilan siap pergi ke kampus. Meski masih terlihat jelas matanya yang bengkak akibat menangis.
"Kamu berangkat bareng aku."
Aku menatap Keizha tidak percaya. Tumben banget dia sendiri yang langsung menawarkan tumpangan kepadaku. Aku hanya mengangguk, lalu duduk untuk memulai sarapan. Sampai kami selesai sarapan, laki-laki yang menjadi suami ibuku itu tidak terlihat. Bagus, deh, aku bisa mengistirahatkan mata dari sampah masyarakat itu.
Keizha menyelesaikan sarapannya lebih dulu daripada aku dan Junior. Kemudian, dia menyuruh kami buru-buru menghabiskan sarapan karena dia harus ke kampus lebih pagi dari biasanya. Meski kesal, aku tetap menuruti permintaannya itu dan hanya meneguk susu setengah gelas. Begitu pula dengan Junior. Kasihan anak itu, harus ikut-ikutan menderita karena kelakuan absurd Keizha.
Aku dan Keizha tiba di kampus setelah mengantarkan Junior ke sekolah. Ibu tidak bisa mengantar Junior karena ada rapat di kantor. Sebelum pergi, Ibu sempat berpesan kepadaku yang membuat suasana hati menjadi buram.
"Kamu harus jagain kakakmu selama di kampus. Ingat, jangan sampe ada nyakitin dia."
Huh, Ibu pikir aku pengasuh bayi yang harus menjaga Keizha di mana pun? Ibu tidak pernah tahu apa yang kualami selama ini. Dalam pikirannya mungkin hanya ada Keizha, putri yang membanggakan keluarga karena kecantikan dan kepintarannya. Namun, semua itu sebentar lagi akan lenyap.
Baru memasuki koridor gedung fakultas, Keizha langsung meninggalkanku dan menghampiri beberapa teman seangkatannya. Aku hanya memperhatikan dari belakang. Keizha berusaha tampak seperti biasa. Menyunggingkan senyum dan menebar aura bintang yang mampu membuat para cowok terpesona. Namun, kali ini berbeda. Ketika Keizha mendekat, teman-teman yang dulu begitu akrab dengannya langsung menjauh sambil berbisik.
Melihat kejadian itu tepat di depan mata, membuat bagian kecil dalam diriku seperti tersentil. Tidak! Aku tidak boleh kasihan kepadanya. Aku bergegas ke kelas di lantai empat dan tidak memedulikan Keizha.
Setelah mata kuliah pertama, aku dan Risa berjalan beriringan ke kantin untuk sekadar membeli minum. Dalam perjalanan, kami melihat Keizha duduk sendiri sambil menundukkan kepala di salah satu bangku di depan ruang dosen. Aku hendak menghampirinya, tetapi tiba-tiba satu ember air comberan mengguyur Keizha. Aku melihat ketiga cewek yang mengurungku di toilet kemarin tertawa puas setelah mengerjai Keizha.
Aku juga mendengar bisik-bisik dari mahasiswa lain yang berada di sana mengenai Keizha yang terancam di-DO dari kampus.
"Aku kasian liat Keizha." Aku terkejut mendengar komentar Risa dan langsung menoleh menatapnya di samping kiriku. Dia segera menambahkan komentar setelah melihat wajah tidak sukaku. "Sori, Dara. Aku nggak bermaksud buat belain Keizha atau gimana. Tapi, tetep aja, kan, rasanya keterlaluan kalo sampe memperlakukan dia kayak gitu. Gimanapun juga, dia di sini termasuk korban, kan?"
Hampir saja, aku berpikir jika Risa akan memihak Keizha. Ternyata, dia hanya berpikiran terbuka dan melihat dari sisi yang berbeda. Dia memang benar, Keizha hanya korban. Namun, dia menjadi korban juga karena kelalaiannya sendiri.
"Yah, aku ngerti, sih, maksud kamu. Aku juga sebenernya nggak tega liat dia yang selama ini bersinar tiba-tiba meredup hanya karena sebuah video yang mungkin, dia sendiri nggak pernah tau keberadaan video itu."
"Kamu bener. Tapi, aku bersyukur juga dia akhirnya dapet balesan karena udah memperlakukan kamu seenaknya. Mungkin ini hukuman buat dia. Kira-kira apa yang akan dia dapat dari ini?"
"Mungkin, dia bakal di-DO dari kampus?"
"Semoga aja dia masih kuat ngadepinnya. Nggak sampe ngambil keputusan yang berakibat fatal bagi hidupnya."
"Kita liat aja nanti."
Aku diam-diam tersenyum miring sambil terus memperhatikan Keizha dipermalukan oleh ketiga cewek itu, tanpa berusaha untuk menolongnya. Sama seperti yang dilakukannya saat aku mengalami hal serupa. Aku tidak sabar melihat akhir dari seorang Keizha yang selalu bersinar.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top