Bab 12

▪︎ Happy reading
▪︎ Apabila berkenan silakan meninggalkan jejak

~~~

Mendengar suara ribut-ribut di bawah, aku yang baru selesai mandi segera memakai baju dan keluar kamar. Di ambang tangga, aku melihat Junior berdiri sambil berpegangan pinggiran tangga. Sepertinya dia ragu mau turun karena mendengar suara ribut tadi. Aku mendekati dan mencoba menghiburnya.

"Ada apa?"

Junior menoleh kepadaku sambil mengangkat bahu. "Kak Keizha," ucapnya seraya menunjuk ke bawah.

"Kita ke bawah, yuk! Sarapan sama Kak Dara? Buat roti isi selai, mau?"

Junior mengangguk, lalu aku menuntunnya menuruni anak tangga.

Tiba di anak tangga terakhir, aku melihat laki-laki yang menjadi ayah Keizha sekaligus Junior itu menampar pipi Keizha dengan keras. Aku segera memeluk Junior agar dia tidak melihat adegan kekerasan yang diperbuat ayahnya.

Ibu hanya bisa menangis sambil melindungi Keizha, sementara aku diam-diam tersenyum melihat awal kehancuran dari keluarga ini. Aku segera mengubah raut wajah bahagia menjadi khawatir saat Junior menarik tanganku untuk melepas pelukan.

"Aku takut. Ayah marah."

"Hus! Enggak apa-apa. Ada Kak Dara. Kita jalan ke meja makan aja, ya. Nggak usah liat dan denger mereka."

Aku menarik kursi agar Junior bisa duduk, lalu aku duduk di sampingnya. Mengambil roti dan mengolesinya dengan selai cokelat kesukaan Junior. Kemudian, kuletakkan roti itu di piring di hadapan Junior. Kusiapkan juga segelas susu putih untuknya. Saat menyiapkan roti untukku sendiri, aku bisa mendengar amukan ayah Keizha dari ruang tengah.

"Apa-apaan ini? Siapa yang ajarin kamu jadi liar kayak gini?"

"Pa, udah, Pa. Malu kalo sampe tetangga denger. Mungkin Keizha dijebak sama teman-temennya. Kita omongin baik-baik dulu."

Cih, bisa-bisanya Ibu membela Keizha sampai seperti itu. Aku yang anak kandungnya sendiri tidak dipercaya saat melaporkan perbuatan ayah tiri yang egois itu. Sekarang, dia justru melindungi Keizha dari amukan suaminya.

"Kak!"

Aku tersadar dari lamunan saat Junior menegur. Sambil tersenyum, aku menatapnya, lalu melanjutkan mengolesi rotiku dengan selai. Kemudian, aku dan Junior menghabiskan sarapan dalam diam dengan latar belakang suara teriakan dari ruang tengah.

Setelah menghabiskan sarapan, aku hendak mengantar Junior ke sekolah. Tentunya setelah membersihkan meja makan dan mencuci piring. Namun, saat melewati ruang tengah tiba-tiba Keizha berteriak kepadaku.

"Heh! Tunggu. Pasti kamu, kan, yang bikin ulah semua ini?" tanyanya dengan menarikku mendekat.

Aku yang tidak mengerti apa-apa hanya bisa pasrah dengan tampang polos. Memandangi Keizha yang terus mengomel dan memaki-makiku.

"Dara, jawab pertanyaan kakakmu!"

Aku menoleh kepada Ibu yang ikut meneriakiku. Ternyata Ibu ikut menyalahkanku atas apa yang menimpa Keizha, meski aku tidak tahu apa itu. Seperti saat Ibu menyalahkanku attas kecelakaan yang menewaskan Ayah. Seketika, rasa gatal menjalar di tangan kananku, tepat berada di bekas jahitan itu. Aku menahan sekuat tenaga untuk tidak menggaruknya.

"Keizha! Nggak usah nyalahin orang. Sekarang Papa tanya sama kamu. Gimana caramu menyelesaikan masalah ini? Papa nggak mau malu kalo sampe video itu tersebar ke mana-mana."

"Bukan aku, Pa. Tanya aja sama anak satu ini! Pasti dia yang udah nyebarin video itu." Lagi-lagi Keizha menunjukku dengan jarinya.

"Aku nggak ngerti. Sebenernya ini ada apa? Kenapa pagi-pagi gini pada ribut? Nggak kasihan sama Junior yang dari tadi ketakutan?"

"Nggak usah ngeles, deh! Siniin HP kamu. Aku mau cek video yang kamu sebar itu."

"Video apa, Kak? Aku aja nggak ngerti apa yang kalian omongin dari tadi."

Aku berusaha mempertahankan tas agar Keizha tidak bisa mengambil ponselku. Sayangnya, tenaganya lebih besar dan dia berhasil merebut tasku. Dia buka tas itu dan mengeluarkan ponsel, lalu melempar tas tersebut kepadaku.

Keizha mengutak-atik ponselku. Entah apa yang dicarinya. Yang jelas dia tidak akan mendapat bukti apa pun dari sana. Laki-laki yang berdiri di samping Ibu ikut memperhatikan gerak-gerik Keizha dan menunggu hasilnya. Dua menit berlalu, Keizha masih sibuk dengan ponselku.

"Balikin ponselku, Kak. Aku udah bilang, aku nggak tau apa-apa. Kenapa Kakak jadi nuduh aku kayak gini?"

"Diem! Aku yakin kamu yang udah bikin ulah kayak gini. Kamu nggak terima karena aku nggak mau bantuin kamu, kan? Dan malam itu, kamu juga sempat ngancem aku."

"Ngancem? Aku nggak pernah ngancem Kakak. Oh, kalo yang Kakak maksud soal ucapanku malam itu. Aku hanya ngeingetin Kakak aja."

Aku mengambil ponselku kembali saat Keizha lengah. Kemudian, membuka aplikasi WhatsApp dan menemukan pesan dari Risa. Aku membukanya dan ternyata berisi sebuah Video. Aku menunjukkannya kepada ketiga orang yang memandangiku curiga.

"Apa video ini yang dari tadi menjadi sumber masalah?"

"Tuh, kan, bener dia dalangnya!"

"Kak! Aku baru dapet video itu dari Risa. Bahkan aku belum buka dan nggak tau isinya."

Akhirnya, kuputar video tersebut dan langsung memasang wajah terkejut saat melihat isi rekamannya. Wajah Keizha seketika berubah merah padam. Ibu memalingkan muka, sementara laki-laki yang merupakan ayah kandung Keizha itu terlihat menahan marah dengan mengepal dan dadanya naik turun.

Aku segera mematikan video itu dan kembali ke ruang obrolanku dengan Risa. Ternyata, video itu juga sudah tersebar di kampus. Temanku itu mendapatkannya dari salah seorang teman sekelas kami. Dia juga menanyakan mengenai kebenaran video tersebut kepadaku. Aku menghela napas sebelum menatap Keizha.

"Video itu udah kesebar di kampus. Risa dapet temen sekelas."

"Liat, Keizha! Liat! Kamu udah bikin malu keluarga. Mana Keizha yang menjadi kebanggaan Papa dan keluarga ini? Mana? Kamu cuma bikin malu!"

"Papa pikir ini semua salah aku? Kenapa semua orang nyalahin aku? Padahal aku korbannya di sini. Aku korbannya!"

"Kamu masuk ke kamar sekarang!"

Aku menutup mata mendengar teriakan demi teriakan yang dilontarkan ayah dan anak itu. Setelah melihat Keizha naik ke lantai dua, aku membawa Junior yang tetap berdiri di dekat tangga untuk berangkat sekolah. Sebelum itu, Ibu mendekat dan membisikkan sesuatu.

"Ibu harap ini memang bukan ulahmu!"

Ternyata Ibu masih mencurigaiku. Tidak kusangka, Ibu begitu menyayangi dan percaya kepada Keizha yang bahkan bukan anak kandungnya. Sementara aku, hanya sumber masalah di mata Ibu. Aku keluar rumah dengan perasaan tidak enak. Menahan kesal yang tidak pernah bisa kulampiaskan.

Tiga puluh menit kemudian, aku tiba di kampus setelah mengantar Junior ke sekolah. Baru memasuki gerbang kampus, semua mata tertuju kepadaku. Tatapan mereka masih sama seperti saat mereka menatapku selama ini. Tatapan merendahkan. Aku tidak peduli dan terus berjalan menuju kelas.

Di sepanjang koridor gedung fakultas, aku mendengar bisik-bisik dari sekelompok mahasiswa yang kulewati. Sama seperti di rumah tadi, mereka membicarakan video yang menampilkan gambar Keizha. Mereka juga mengaitkannya dengan namaku. Kenapa aku juga ikut dibawa-bawa? Padahal bukan aku yang berada dalam video itu.

"Heh! Kamu adiknya Keizha, kan? Masih berani juga dateng ke kampus. Nggak tau malu!"

Aku mendongak saat seseorang mengahalangi jalanku. Enak saja, dia mengataiku. Memang apa salahnya aku datang ke kampus? Bukan aku yang berada dalam video itu. Jadi, aku tidak perlu malu untuk Keizha.

"Maaf. Kenapa aku harus malu? Yang berbuat salah bukan aku."

"Berani juga dia ngejawab. Seharusnya kamu tetap di rumah dan nggak perlu dateng ke kampus lagi. Mana saudaramu itu? Dia nggak berani dateng ke kampus karena pasti sangat malu. Mahasiswi kebanggaan kampus ternyata tidak bermoral."

Lalu mereka tertawa di hadapanku.

Aku tidak peduli dan memilih untuk melewati mereka begitu saja. Aku masih bisa mendengar salah satu dari mereka memakiku. Kejadian ini tidak membuatku terbebas dari bayang-bayang Keizha. Memang benar, seharusnya aku menyingkirkan dia agar tidak menjadi masalah dalam hidupku.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top