Bab 1

▪︎ Happy reading
▪︎ Apabila berkenan silakan meninggalkan jejak

~~~

Aku bangun setelah tidak sadarkan diri selama dua hari. Hal pertama yang ditanyakan dokter saat memeriksa kondisiku adalah namaku. Tentu saja aku bisa menjawabnya. Namaku Dara Amira Sunggono, umur tiga belas. Pertanyaan itu untuk memastikan aku mengalami amnesia atau tidak. Sejauh ini aku baik-baik saja.

Aku bisa melihat bekas jahitan di tangan kanan setiap kali menggerakkannya. Bekas jahitan yang menyerupai lipan dan aku selalu bergidik setiap melihatnya. Aku bertanya tentang ibu dan ayahku kepada perawat yang mengganti infus. Perempuan berpakaian putih itu hanya menjawab jika mereka sudah pulang lebih dulu. Aku bersyukur mereka baik-baik saja.

Namun, hingga dua hari kemudian, Ibu maupun Ayah tidak kunjung datang. Hanya wali kelas dan beberapa teman datang menjenguk. Tidak berharap juga akan banyak yang datang menjenguk karena aku tidak memiliki banyak teman kecuali teman sekelas. Tetangga pun hanya di kanan-kiri rumah yang kukenal. Dan aku lelah menjawab pertanyaan: bagaimana kejadiannya?

Aku sendiri tidak ingat kejadian utuhnya. Yang kuingat hanya saat kami bertiga hendak pergi ke taman hiburan. Selebihnya aku tidak ingat apa-apa. Kemudian, aku sudah terbangun di kasur yang keras dalam ruangan serba putih ini. Kata dokter, ada kecenderungan otakku sengaja menghilangkan ingatan tentang kecelakaan itu. Sungguh, sekeras apa pun mencoba, aku tetap tidak bisa mengingat kejadian itu.

Hari ini aku senang sekali karena dokter sudah memperbolehkan pulang. Aku tidak sabar untuk bertemu Ibu dan Ayah. Aku sangat merindukan mereka. Selama pemulihan, mereka benar-benar tidak datang hanya untuk melihat keadaanku. Meski kecewa, aku tetap tidak bisa protes kepada siapa pun. Toh, selama di rumah sakit aku masih bebas bergerak. Tidak seperti anak laki-laki─yang sepertinya seumuran denganku atau mungkin lebih tua─yang sekamar denganku, dia tidak bisa menggerakkan kakinya karena patah─itu yang kudengar dari perawat yang merawat kami.

Aku sudah mengemasi barang dan siap pulang. Sementara anak laki-laki itu masih terbaring tak berdaya di kasurnya. Kami hampir tidak pernah berbincang, kecuali saat dia membutuhkan sesuatu dan perawat belum datang. Aku bahkan tidak tahu namanya. Kami senasib, tidak ada salah satu dari orang tua kami yang datang.

"Kamu sudah siap?"

Aku sedang duduk di depan jendela yang langsung menghadap taman rumah sakit saat terdengar suara familier yang sangat kurindukan. Aku langsung melompat dari kasur keras yang selama ini menjadi tempat tidurku itu, lalu menoleh menatap Ibu.

"Ibu, aku senang akhirnnya bisa melihat Ibu lagi." Aku menghambur ke pelukannya─tidak, lebih tepatnya aku yang memeluknya, sementara Ibu tetap diam tanpa membalas pelukanku.

Aku melirik sekilas kepada anak laki-laki yang juga menatapku. Segera kulepaskan rangkulan di pinggang Ibu. Benar-benar memalukan. Kenapa dia harus menyaksikan kejadian ini?

"Kalo sudah siap semua, kita langsung pulang."

Aku mengangguk sambil memaksakan senyuman, lalu mengikuti Ibu yang langsung keluar kamar perawatan sambil membawa tas. Sepanjang menyusuri koridor rumah sakit, aku terus berpikir mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa Ibu seperti orang asing? Aku tidak merasakan kehangatan seorang ibu seperti dulu.

"Ibu, Ayah di mana?" Aku bertanya sambil berusaha menyejajarkan langkah dengan Ibu yang berjalan cukup cepat.

"Dari sini kita akan menemui ayahmu."

Senyum manis tersungging di bibir setelah mendengar perkataan Ibu. Aku akan bertemu dengan Ayah. Hal pertama yang akan kulakukan saat melihatnya nanti adalah melayangkan protes karena tidak menjengukku sama sekali selama aku dirawat di rumah sakit. Pekerjaan macam apa hingga mampu menahannya untuk tidak bertemu putri semata wayangnya ini? Akan kupastikan untuk meminta ganti rugi yang besar.

Ibu membuka pintu mobil dan menaruh barangku di jok belakang, lalu dia masuk ke kursi pengemudi. Sementara aku mengikuti dan masuk ke jok penumpang di samping Ibu. Aku menatap Ibu cukup lama, lalu beralih ke tangan yang terdapat hasil karya dokter selama di ruang operasi itu. Ingin sekali aku mengeluh mengenai bekas jahitan ini, tetapi Ibu sama sekali tidak menanyakan kabarku sejak datang tadi.

Harusnya aku bersyukur karena tidak mendapat luka serius di tempat lain selain di tangan kanan dan dahi. Bukannya mengeluhkan Ibu yang tidak perhatian lagi. Mungkin Ibu sibuk merawat Ayah selama ini. Atau sibuk mengurus rumah dan pekerjaan yang sempat tertunda.

"Ibu, apa kita akan menemui Ayah di kantor?"

Aku mencoba membuka obrolan saat melihat arah yang diambil Ibu bukan arah ke rumah. Namun, yang kudapat hanyalah dehaman. Aku tidak menyerah. Walaupun tidak mendapat tanggapan yang kuinginkan, aku terus bercerita pengalaman selama di rumah sakit. Aku juga menceritakan anak laki-laki yang kakinya patah itu. Lagi-lagi, Ibu hanya menjawab dengan "hem" atau "wah" tanpa kata-kata lain yang mengikuti.

Akhirnya, aku memilih diam dan mulai mengelus bekas jahitan yang terasa gatal. Lama-lama elusan itu berubah menjadi gerakan menggaruk, makin lama makin kencang. Aku tidak bisa menahan rasa gatalnya ketika mobil yang kutumpangi ini melaju makin cepat. Apalagi di depan kami ada sebuah truk besar. Tiba-tiba dadaku sesak dan keringat dingin mulai menjalar dari kening.

"Kamu mau jahitan itu kebuka lagi?"

Tangan Ibu menghentikan gerakan menggarukku. Seketika, udara segar menyerbu. Perlahan, aku mulai bisa bernapas dengan normal kembali. Aku memperhatikan tangan Ibu yang masih berada di atas tangan kananku.

"Maaf, Bu. Bekas jahitan itu rasanya gatal sekali. Dan aku merasa sesak saat kita melaju lebih cepat dan berada di belakang truk besar tadi."

"Itu normal untuk orang yang pernah mengalami kecelakaan sepertimu. Kamu hanya butuh waktu untuk istirahat. Setelah menemui ayahmu, kita langsung pulang."

Aku mengangguk.

Ibu menghentikan mobil di sebuah pemakaman umum. Aku mengernyit bingung, tetapi tetap mengikuti Ibu yang turun dari mobil.

"Ibu, kenapa kita ke sini? Bukannya kita mau menemui Ayah?"

"Kamu mau menemui ayahmu, kan? Jadi, nggak usah banyak tanya dan ikuti Ibu."

Aku sempat mundur satu langkah saat Ibu meninggikan suaranya. Apakah satu kecelakaan bisa mengubah seseorang dalam sekejap?

Tiba di sebuah makam yang masih sangat baru karena belum ada keramik yang menutupinya seperti makam-makam lain di sini. Tanahnya pun masih basah dan banyak taburan bunga di atasnya. Aku meremas ujung baju ketika makin dekat. Tidak mungkin! Aku jatuh terduduk dengan kedua tangan menutup mulut. Nama yang tertulis di nisan itu adalah Ferdian Sunggono.

"Sekarang kamu sudah ketemu sama ayahmu. Jadi, mulai sekarang jangan ngerengek untuk bertemu sama ayahmu lagi."

"Bu, ma-maksudnya A-ayah─"

"Ayah meninggal karena kecelakaan itu."

Aku tidak dapat berkata-kata lagi setelah mendengar penjelasan Ibu. Tidak mungkin. Ayah tidak mungkin pergi meninggalkanku. Tangan kiri mengepal, lalu memukul-mukul dada yang terasa lebih sesak dari sebelumnya. Mataku perih dan cairan bening itu mulai menetes satu-satu, lama-lama makin deras dan suara isak terdengar dari mulutku. Aku menangis sejadi-jadinya di makam Ayah. Kupeluk nisan bertuliskan namanya. Tidak peduli orang mengatakan aku gila.

Kurasakan tangan Ibu memegang pundak, lalu membantuku─bukan, tetapi menarikku─berdiri. Aku belum puas melepas kepergian Ayah, tetapi Ibu menahanku dengan sekuat tenaga. Tanpa memedulikan eranganku, Ibu terus menyeretku menjauh dari makam Ayah. Aku meronta, meraung-raung, dan menendang tanah berusaha lepas dari cengkeraman Ibu. Namun, tenagaku kalah kuat dengannya. Akhrinya, aku pasrah dan membiarkan Ibu membawaku kembali ke mobil.

Dalam perjalanan pulang, air mataku masih terus menetes. Tidak peduli Ibu sudah berulang kali menyuruhku berhenti menangis. Kata orang, cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya. Dan kini, aku baru saja kehilangan cinta pertamaku. Patah hati terbesar yang pernah kurasakan selama hidup.

"Setop! Jangan merengek lagi. Ibu membawamu ke sana agar kamu tau dan selalu mengingatnya. Kamu penyebab Ayah meninggal."

Seketika, isakku berhenti dan aku menoleh manatap Ibu. Apa maksudnya? Kenapa aku menjadi penyebab Ayah meninggal? Bukankah kami bertiga mengalami kecelakaan yang sama? Bahkan, aku memiliki bekas luka yang tidak mungkin hilang untuk selamanya. Kenapa Ibu menyalahkanku? Apa yang sebenarnya terjadi?

Aku hanya bisa menunduk dalam, merenungi perkataan Ibu. Tiba di rumah, Ibu tidak mengatakan satu kata pun dan memilih pergi lebih dulu tanpa memedulikanku. Tangisku pecah lagi.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top