3. Alana Kwok
Happy reading !
----
Alana memasukkan surat nikah beserta dokumen pribadinya ke dalam amplop cokelat. Segera ia hubungi sekertaris, menyuruhnya mengambil amplop itu untuk diserahkan ke Pengadilan Negeri. Maggie, sekertarisnya yang berasal dari Sulawesi, walau telah lama membaur dengan warga Jakarta dan nada bicaranya telah diperhalus, sekali-sekali logat membentaknya keluar tiap ia kaget atau saat Alana sedang membuat masalah.
"Pernikahanmu selama ini baek-baek ji. Ko yakin mau menceraikan Bapak Bagas?" ujarnya heran dengan logat Bugis yang kental.
Sesuai perjanjian, hanya Alana, Bagas, dan pengacara sewaan mereka yang tahu tentang isi kontrak nikah. Ada beberapa waktu Alana tergiur membocorkannya pada Maggie. Maggie telah bekerja kira-kira lima tahun dengannya dan tiga tahun di perusahaan orang tuanya. Karena jarak usia mereka terpaut sepuluh tahun, Alana sudah menganggapnya sebagai kakak sendiri, meski jika dilihat-lihat proporsi badan Alana jauh lebih besar dari Maggie yang bertubuh kurus dan mungil. Namun, kedewasaan tidak ditentukan dari ciri fisik. Alana selalu bisa menceritakan soal apa pun pada Maggie-rahasia yang baik dan buruk-dan mendapat pendapat yang matang dan berguna. Jadi, menyembunyikan hal sepenting perjanjian pernikahan membuatnya merasa bersalah.
"Iya. Ini sudah keputusan bersama," mesin coffee maker berbunyi saat Alana menyalakannya dan cucuran air espresso mengalir turun ke cangkir putih di bawahnya, "atau lebih cepat kalau Bagas yang mengajukan?"
"Sama ji sebenarnya, tapi lebih baik ko pikir ulang. Memang, selama berumah tangga pasti ada hal-hal yang sulit dikompromikan, tapi cerai bukan satu-satunya jalan keluar."
Alana ingin tertawa. Setelah lima tahun lalu memutuskan menikah, tujuan pernikahan mereka akan selalu sama, yaitu cerai. Tiga bulan lagi usia perceraian mereka genap lima tahun, ini sudah masa yang sangat tepat untuk mulai mengurusnya. Lagi pula, semakin lama menunggu, ia makin tidak enak pada Ravel. Sudah tiga tahun pacaran, tapi tidak bebas keluar berdua. Alana masih berstatus istri orang dan ia tidak mau Ravel dicap sebagai orang ketiga.
"Kami sudah mengurusnya, tapi seperti yang kamu bilang, ada beberapa hal yang sulit dikompromikan. Jadi, ini keputusan kami."
Maggie mendesah di telepon. "Ugh. Harusnya sa tahu sejak Ibu sama Bapak Bagas pisah kamar. Setelah nikah setahun, ko bilang kalian butuh ruang pribadi. Harusnya sa tidak sewa kamar sebelahnya dan suruh itu tukang lubangi dinding untuk menyambungkan kamar kalian."
Alana menyesap kopinya. "Ini sama sekali bukan salahmu, Maggie, dan bersikaplah sopan karena kita masih atasan dan bawahan."
"Iya, maaf, Bu."
"Sekarang lakukan yang kukatakan dan bawa kakimu ke sini. Aku mau ke airport setengah jam lagi," dia melirik jam tangannya, "... oh no, lima belas menit lagi. Ravel pasti marah besar kalau kami telat."
"Kamu mau liburan berdua saja sama ... emh, Mas Ravel?"
"Yup. Kamu tahu semua jadwalku, Maggie. Kamu yang memesan tiketnya. Kututup!"
Alana menutup teleponnya sebelum Maggie selesai menyelakan sepatah kata. Jika lebih lama, wanita tua itu pasti akan menasihatinya lagi tentang hubungan pernikahan yang sehat. Mana Alana peduli sama yang begituan.
Usai selesai memastikan barang bawaannya dan menghabiskan kopi, ia mengambil kunci apartemen dalam bentuk kartu untuk mematikan lampu. Langkahnya tersendat menyadari payung hitam bersandar di samping pintu. Ia lupa benda itu di sana. Mendekati akhir bulan kerjaan sangat hectic dan ia harus menyelesaikan beberapa pekerjaan karena Jumat, Sabtu, dan Minggunya ia habiskan di Yogyakarta. Beres-beres dan merawat diri menjadi hal terakhir yang ia ingat. Tidak terasa seminggu telah berlalu sejak pemakaman Adi Prakoso.
Pemakaman berlangsung syahdu dan dihadiri keluarga kecil. Isak tangis membaur bersama iringan lagu Chopin Funeral March saat peti mati diturunkan ke liang. Mengukur kesedihan orang-orang hari itu almarhum Adi Prakoso bisa dianggap sebagai orang baik yang kehadirannya akan dirindukan. Seolah dia tidak pernah menjadi ayah yang kejam dan dingin dan dunia selalu menyayanginya sampai ketika ia pergi. Istrinya, Liliana Prakoso memaksa tinggal selesai prosesi pemakaman.
Ia berjongkok di samping suaminya yang terkubur tanah, mengelus batu nisan bertuliskan nama suaminya, dan kembali meratap. Kesedihannya diterima langit dengan menyetel cuaca muram dan hujan rintik turun. Sejujurnya, Alana bukan orang yang pengertian, namun hatinya terenyuh melihat punggung kurus itu duduk terpaku di sana. Alana memberinya payung dan menawarkan untuk menemaninya. Liliana menolak, berterima kasih atas payungnya. Tiga hari kemudian, sebatang payung dan serantang bubur ayam hadir di meja kantornya, dari mertuanya.
Selepas perceraiannya nanti, ia pasti akan merindukan mertuanya yang sangat perhatian itu.
Setiap keputusan selalu punya ganjaran, tinggal menentukan mana keputusan yang lebih membuatmu merasa lebih nyaman. Dan, ketika melihat wajah Ravel menyapanya dengan senyum sumringah di depan pintu apartemen, Alana yakin sudah memilih yang benar.
****
Dua kali setahun Ravel pulang ke rumahnya di Yogyakarta. Ia lahir dan besar di sana, namun selesai kuliah memilih merantau ke Jakarta. Sesekali ia mengajak Alana ke Jogja, yang wanita itu sanggupi dua kali. Alana pun sebenarnya rindu udara segar kota Yogyakarta dan gudeg andalan ibunya Ravel, tapi tanggung jawabnya sebagai pemilik perusahaan baju olahraga yang namanya mulai naik itu tidak bisa ditinggalkan.
"Kamu kok tumben hari biasa ngajak ke Jogja? Perusahaan nggak sibuk?"
Ravel memutar pendingin pesawat agar di arahkan ke tempatnya. Lampu kenakan sabuk pengaman menyala. Pramugari sedang menjelaskan tata cara penggunaan sabuk pengaman di depan. Sebentar lagi pesawat lepas landas.
"Kita sudah lama nggak ke Jogja. Tidak enak sama bapak dan ibumu, sudah mengajak tiga kali tapi nggak pernah aku sanggupi."
Alana tidak memandang Ravel saat mengatakannya, ia menatap keluar jendela, menyembunyikan rupanya agar pria itu tidak melihat jejak kebohongan di mukanya. Setengah kebohongan, ia memang tidak enak tiap video call dengan Ravel, ibunya pasti menanyakan, "Alana kapan datang kemari?" Entah beneran menginginkan atau sekedar basa-basi.
Seluruh anggota keluarga Ravel sangat ramah dan sopan, jadi Alana tidak tahu mana yang benar-benar tulus atau sekedar sikap sopan. Ia dan seluruh keluarga Kwok terbiasa bersikap frontal, kecuali bila berhadapan dengan para investor besar, tentunya.
"Ibuku pasti panik melihat kita datang mendadak. Dia selalu masak besar-besaran tiap aku pulang padahal punggungnya sering sakit karena kerja kebun."
Orang tua Ravel punya perkebunan kecil pohon melinjo di Sleman. Biasanya, jika pulang, Ravel akan membantu kerja kebun karena hanya kedua orang tuanya dan satu adik bungsunya yang masih SMP yang bekerja di sana. Tary, adik keduanya, masuk kuliah tahun lalu di UGM jadi mereka kekurangan satu tenaga.
Kadang-kadang, Alana bingung bagaimana mereka berdua yang dari segi kehidupan maupun keluarga yang sangat berbeda bisa bersama. Ia tidak pernah perlu kerja kasar seumur hidup, sedang Ravel bisa hidup baik dengan kerja keras. Ia selalu menjalankan semua hal terburu-buru karena ingin cepat mencapai tujuan, sedang Ravel lebih memilih menikmati perjalanan, melihat pohon-pohon berkelebat atau merasakan angin dari kaca jendela yang terbuka meniup-niup wajah. Ia bekerja sebagai CEO perusahaan baju olahraga. Ravel sebagai petugas sosial. Kadang kala Alana merasa harus mendorong dirinya fit in ke dunianya Ravel.
"Kamu mau kita besok membantu ibumu di kebun?" Alana membuat pola melingkar pada pegangan kursi dengan jarinya. "Kita punya waktu di sana tiga hari."
"Kamu yakin mau menghabiskan hari liburmu dengan bekerja kebun?"
"Yup. Plus, kamu punya waktu berkumpul sama keluargamu, dan aku bisa menikmati udara pedesaan dan bermain dengan burung blekok." Ia membuka tangannya sambil menyengir lebar, seakan sedang mempersembahkan ide paling briliannya itu. Ide itu sangat, sangat buruk. Alana benci memakai topi kebun.
Ravel menjalarkan jemarinya ke tangan Alana, lalu menautkan jari mereka.
"Aku sangat senang kamu memperhatikan keluargaku, tapi aku mau menghabiskan waktu di Jogja sama kamu saja. Aku nggak mau kamu atau keluargaku memanipulasi waktumu denganku. Apa itu boleh?"
Kadang, ia lupa kalau pria yang dikencaninya adalah Ravel. Orang yang menolak tegas Alana menceraikan Bagas setahun lalu agar bisa menikah dengannya. Alana berusaha meyakinkan, kalau cerai pun tak apa karena pernikahannya hanya terjadi di atas kertas. Alana ingin segera mengenalkan Ravel pada keluarganya sebagai pasangan resmi.
Pria itu malah menjawab, pernikahan itu tentang penyatuan dua keluarga, percuma ia datang mempersunting Alana dan mengumumkan rencana pernikahan mereka kalau itu hanya akan membuat orang tua Alana kecewa. Ravel ingin dipandang sebagai menantu yang baik dan bertanggung jawab, ia ingin melamar Alana pada saat yang tepat bukan terburu-buru. Ia pun tak mau hubungan baik mereka berbuah perpecahan antara Alana dan orang tuanya. Hubungan keluarga Alana sudah cukup pelik.
Meski jawaban itu bukan sesuatu yang Alana harapkan, saat itu ia sadar telah beruntung memiliki Ravel sebagai pasangannya.
"Itu sempurna seperti yang kuinginkan," jawabnya tulus. "Fyi, aku sebenarnya terlalu lelah untuk memetik melinjo karena minggu ini sangat hectic dan aku nggak suka topi kebun." Buru-buru ia tambahkan, "tapi aku benar-benar tulus mau membantu ibumu kerja. Beneran."
"Aku seratus persen percaya," balas Ravel, tahu Alana berbohong.
****
Don't forget to vote and comment ⭐
29 Juli 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top