2. Alana Kwok
"Marry me."
Garis kurus pensil dicoret melenceng jauh dari lekuk pinggang suatu model wanita. Harusnya digambar melengkung mengikuti proporsi tubuh manusia bukannya serupa benang abu-abu yang terentang tegang di kedua sisinya, menjadikan garis pinggangnya selebar lima sentimeter jauhnya dari tubuh dengan jejak titik besar di ujung sebagai pemberhentian. Walau gambar itu tidak punya tubuh bagian bawah dan tidak ada tongkat golf yang harusnya digenggam kedua tangannya depan paha, Alana berani bilang kalau model wanita itu sedang bermain golf. Lihat saja kepalanya dilingkari topi golf, gaya rambut ponytail, dan polo shirt kerah rendah. Daripada rok lipit khas pe-golf wanita, ia ingin memadukan polo shirt dengan rok span. Daun monstera juga sepertinya cocok jadi corak baju, lagipula musim gugur hampir tiba ... daun gugur .... Oh, astaga! Bagas melamarnya!
Manik matanya beralih dari buku sketsa yang dipenuhi mayat-mayat daun gugur kepada cowok kaos oblong hitam yang duduk di depannya. Hari sudah sore. Jejaknya ada pada halaman kertasnya yang disiram cahaya lembut oranye kemerahan dan langitnya yang terbakar.
Mereka berada di halaman belakang rumah Bagas. Tadinya berbincang soal-soal tidak penting seperti jika laut warnanya biru kenapa air di gelas warnanya bening, lalu teori gelombang cahaya, kemudian merambat pada impian masa depan, masalah anak-orang tua, dan terakhir ... ia tidak ingat. Apa pun itu tidak menjelaskan ajakan nikah barusan. Ekspresi cowok itu sekarang juga tidak ada serius-seriusnya, seringan habis bicara, "apa kamu mau makan es krim? Mereka punya 24 rasa, dan pikirkanlah sebelum kita di depan kasir". Seperti itu.
"Ini saatnya buat ketawa atau gimana, sih?" tanya Alana, akhirnya.
"Ini waktunya serius. Aku serius melamarmu!"
"Kenapa?"
Bagas mendesahkan tawa seolah pertanyaan Alana benar-benar bodoh. "Alasan apa memangnya seseorang mengajak wanita menikah?"
"I don't know. Uang, cinta, usia, ada banyak."
"Secara umum."
"Cinta. Tapi di antara kita jelas nggak ada rasa semacam itu," Alana segera mengoreksi melihat raut Bagas berubah. "Buatku nggak ada. Tunggu, apa kamu menyukaiku? Kalau itu kejadian, maaf sekali kamu bukan tipeku."
Dilamar Bagas Adi Prakoso mungkin adalah impian sebagian besar kaum hawa di sekolahnya. Ada banyak alasan; karena Bagas tampan, Bagas kaya, Bagas punya prestasi bagus di sekolah, dan alasan lain-lain yang menakjubkan. Namun, Alana juga punya argumen kuat untuk menolak Bagas sekarang.
Pertama, karena mereka tidak akrab. Kedua, karena orang yang tidak menghargai perasaan perempuan bukan tipenya dan kebetulan Bagas adalah playboy. Ketiga, karena keduanya tidak pernah sama-sama tertarik. Dia ada di rumah Bagas sekarang saja kalau bukan karena orang tuanya datang untuk urusan bisnis kemari, mana mau dia menginjakkan kaki di rumah keluarga Prakoso.
Bagas mengerang jijik. "Ugh. You're not my type either. There's ton of hot girls who crazy for me in school. Besides, sorry to say, walau badanmu mengurus dan wajahmu jadi lumayan cantik, sayang sekali lemak-lemak yang penting malah kamu hilangkan dalam proses dietmu."
Alana memeluk dadanya, keberatan. "Beraninya kamu menghakimi lemak-lemakku."
"Tapi lengan atasmu kencang."
Dengan enggan ia mengangguk setuju. Akhir-akhir ini, dia memang rajin angkat beban.
"Jadi, tawaranmu tadi itu apa? Kalau kamu bilang kamu nggak ingat dan cuma ngomong asal karena sedang mabuk, aku pasti akan melapor pada papamu kalau kamu mencuri wiskey-nya lagi."
"Aku nggak pernah mencuri Bourbon-nya! Darren yang mencurinya, aku cuma mencuri kunci lemari Papa!"
"Lalu, kamu meminumnya," sambung Alana.
"Seteguk saja tapi-" Bagas menggeram kesal, "ughh. Forget it. Oke. Aku tahu gimana buruknya pandanganmu soal aku, tapi kita temanan sejak kecil. Saat teman butuh bantuan dan kamu bisa menyediakannya, dalam kondisi kita sama-sama diuntungkan, lebih baik saling membantu, kan?"
"Mmhm."
"Inilah masanya. Aku nggak suka kamu dan kamu juga nggak menyukaiku, tapi orang tua kita menginginkan perjodohan ini. Jadi, gimana kalau kita gunakan kesempatan itu untuk lepas dari segala tuntutan mereka?"
"Aku bisa mendengar kata-katamu, tapi nggak bisa memahaminya."
"Kujelaskan lebih detail." Bagas menarik napas kesabaran. "Aku tahu gimana kamu sangat ingin masuk kampus fashion design, obsesimu pada baju olahraga dan kawanannya, tapi keluargamu menentang karena ingin kamu menjadi menantu keluarga terpandang dan bisa mengurusi bisnis perusahaan. Karena itu, papamu mau kamu mengikuti jejak kakakmu mengambil manajemen bisnis di Collumbia Uni.
"Sedangkan aku, pria dari keluarga terpandang yang cakep, pintar, dan berkualitas tinggi ini, ingin mamaku berhenti menjodoh-jodohkanku dengan sembarang anak wanita temannya untuk mengesankan Papa. Kita berdua punya tujuan yang sama, yaitu lepas dari segala rencana orang tua kita. Ingin hidup bebas. Kebetulan sekali, orang tua kita berniat menjodohkan. Jadi, gimana kalau kita menggunakan kesempatan ini untuk hidup bebas dan menikah?"
"Kamu mau menjadikan pernikahan kita sebagai free pass-mu bersenang-senang?"
"Nah! Sekarang kamu paham!"
Alana menahan kegirangan cowok itu dengan telapak tangan. "Gimana caranya kamu mau menjadikan aku free pass-mu kalau nggak pernah ada pembicaraan mereka akan menjodohkan kita? Aku juga nggak melihat keuntunganku di sini."
"Ada. Mereka lagi membicarakannya di dalam."
"Nggak. Papa sama mamaku datang ke sini untuk bicara urusan bisnis dengan Om Adi."
"Iyaaa ... 'bisnis'." Bagas mengutip kata 'bisnis' dengan jarinya, lalu menyingkirkan payung kecil yang bertengger di tepi gelas kacanya, meneguk jus jeruk segarnya.
Alana merotasikan kepalanya ke belakang seolah ekor matanya tidak sengaja menangkap hantu dan memastikan penglihatannya sekali lagi. Pintu kaca berbingkai enam membisu di sana, tak mau bercerita lebih selain pemilik rumah itu adalah pemuja gaya arsitektur abad 18. Diceritakan lewat dinding ukiran klasik, lampu gantung crystal di dalam, desain rumah neo klasik, dan ubin lantai keramik putih.
"Mereka nggak sedang ...." Alana sedang menduga-duga.
"Ya. Bisnis yang mereka bicarakan adalah kita," jelas Bagas, sejelas-jelasnya.
Alana tersergap banyak sekali informasi, membuat kepalanya sesak hingga harus dibaringkan ke sandaran kursi dan mata sipitnya kian melebar.
"Pantas saja Kakak nggak dibawa," semburnya di sela proses pengolahan informasi tentang tindak-tanduk aneh kedua orang tuanya. Kakaknya selalu diajak pergi kalau ada urusan bisnis, jadi ia kira sekarang gilirannya. Tak tahunya, itu jebakan.
Bagas meletakkan gelasnya di meja.
"Mereka merencanakannya diam-diam dari jauh-jauh hari. Kutebak kakakmu juga nggak tahu soal ini. Kalau aku nggak sengaja menguping kamar mereka, aku juga nggak tahu."
"Mereka tambah pintar sejak berkali-kali aku mengacaukan perjodohan."
"Yah, kalau aku jadi kamu aku pasti nggak akan mempermalukan diri dengan makan pakai tangan di jamuan makan malam. Itu trik yang ampuh btw, tapi sangat ceroboh."
Alana meraup wajahnya, teringat pada jamuan makan malam memalukan di restoran Prancis tiga minggu lalu. Setelah pulang dari acara makan malam, papanya marah besar, mengatainya anak tidak tahu diuntung telah mengabaikan kesempatan emas dan menyalahkan mamanya yang tidak bisa mengurus anak. Alana pun tak terlalu peduli, toh dia dan papanya tidak akrab, tak jadi soal kalau dia marah-marah atau puasa bicara padanya selama sebulan.
Ia pun mendapat hukuman jadwal les di-double, selalu dijemput dan diantar ke rumah usai sekolah, dan selama 24 jam dipantau sekertaris mamanya, tanpa ada jeda untuknya berpikir melarikan diri. Tetapi semua itu bukan yang tergila. Kevin-mantan perjodohannya, malah tertarik padanya dan terus membanjiri kotak masuk ponsel Alana dengan ajakan kencan atau gombalan ala mas-mas bakso-tentu saja Alana tolak. Alana tak mengira mamanya akan kemudian melancarkan serangan pamungkas.
Ia tahu Bagas adalah calon perjodohan ideal versi mamanya, dan ia juga tahu Tante Liliana beranggapan sama tentangnya. Tiap kali mereka ketemu di suatu acara, akan ada suatu momen ketika Alana dan Bagas lewat dan para mama melambai seraya menyapa riang, "Anak Mantu!".
"Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?" desak Alana, mulai lelah berpikir.
"Menikah, mungkin." Bagas ikut menyandarkan punggung, kedua sikunya bertumpu pada kedua tangan kursi. "Cara paling tepat untuk membuat orang menyerah adalah pura-pura mengikuti kemauannya. Setelah mereka mengira kita nurut, mereka pasti akan melepaskan kita. Kita bisa mengatur kehidupan kita sendiri, mengejar impian, setelah itu semua terwujud kita tinggal cerai saja. Selesai."
"Sounds like a plan." Alana mengucapkannya dengan nada yang aneh.
"Kenapa kamu mengatakannya begitu?"
Alana memperbaiki poni rambutnya yang jatuh ke belakang dengan satu tangan.
"Kamu pikir setelah kita menikah semuanya akan jadi happily ever after? Kita masih kelas tiga SMA. Kita harusnya memilih pilihan beresiko seperti kabur ke kota lain dan membuat identitas baru, lalu menyesalinya di masa tua nanti, bukannya main aman dengan terima-terima saja kemauan orang tua kita. Dan kuberitahu sekali lagi, kalau aku nggak mau menikah sama pengangguran atau pun orang yang nggak ngerti teori penyerapan cahaya, dan seorang playboy."
"Jadi, apa yang kamu mau? Masuk ke kampus yang nggak kamu mau, jurusan yang nggak kamu mau, disuapi sendok emas yang telah papa dan mamamu sediakan, dan setelah cukup umur dijodohkan sama orang yang nggak kamu kenal?"
"Aku juga nggak mau itu, tapi aku tahu menikah bukan jalan keluarnya. Itu cuma menambah masalah baru saja. Finansial, masa depan, maybe, anak." Alana tersipu memikirkan kalimat terakhir, astaga dia benar-benar merasa sangat perawan.
"Kita harus menghentikan kebiasaan buruk orang tua kita. Kamu nggak tersiksa tiap hari didikte orang tuamu untuk menempel pada orang-orang hebat dan dibanding-bandingkan sama kakakmu?"
"Ughhh. Please, buat itu berakhir," erang Alana.
"Mana yang kamu pilih, aku atau dijodohkan sama orang setipe Darren dan teman-temannya?"
Itu adalah dua pilihan yang sulit, antara yang buruk dan yang terburuk. Alana tidak yakin Darren bisa perkalian dua sampai selesai, dan jangan lupa kaos kakinya yang setahun sekali dicuci, baunya seperti itu.
"Kamu," desahnya tak rela, yang segera disesali ketika melihat senyum bodoh Bagas terkembang. "Tapi tetap saja menikah itu masalah besar."
"Aku nggak mengajakmu menikah, tapi 'menikah'," dia mengutip kalimat terakhir lagi, "aku mau kita nikah palsu."
Bagas mulai menjelaskan tentang idenya soal nikah kontrak. Sistemnya seperti nikah kontrak biasa, periode kontraknya lima tahun, bisa lebih cepat bila mereka sepakat menyudahkannya, dan mereka berunding syarat-syarat yang harus dipatuhi. Supaya resmi, Alana merobek kertas sketsanya dan menuliskan semua yang telah disepakati.
Ada banyak yang harus dipikirkan, contohnya pertanyaan Bagas, bila salah satu dari mereka punya pacar selama masa kontrak.
"Kamu mau memublikasikan kegagalan pernikahan kita sebelum masa kontrak berakhir?" tanggap Alana.
"Nggak, tapi kita adalah remaja sehat yang punya hasrat seksual yang harus dipuaskan," Alana memandangnya sinis, Bagas jadi salah tingkah juga, "Oh ayolah, kalau juniorku menahannya selama lima tahun, aku bisa kena impoten. Cowok tampan, kaya, dan pintar ini, impoten? Kutukan macam apa itu?"
Alana ingin menyanggah tapi akhirnya membiarkan. "'Dilarang mengatur kehidupan asmara masing-masing'?"
"Setuju!" jawabnya. "Kecuali, kalau kamu akhirnya menyukaiku. Itu persoalan lain lagi. Huft. Jadi orang cakep memang susah." Alana menepok lengan Bagas keras-keras. "AW!"
"Aku juga mau kita tidur terpisah. Aku nggak suka tidur sampingan sama orang."
"Siapa yang mau percaya dua orang menikah tapi kamarnya pisah?"
"Kamar kita bisa berdekatan," usul Alana.
"Gimana mau modus kalau tinggalnya saja beda," gumam Bagas dengan suara rendah. Frekuensinya masih cukup didengar Alana, dan gadis itu menepok lengan Bagas lagi lebih keras. "AW!" Bagas mengaduh sambil mengusap bekas tepokannya sayang.
"Pegang fisik yang nggak membuat Pihak Kedua nyaman dalam bentuk apa pun dianggap sebagai kejahatan seksual," dikte Alana sambil menulis.
"Itu nggak adil!"
Mereka belum menentukan kapan hari dan tanggal pernikahan ini terjadi, jadi Alana sengaja mengosongkannya. Setelah berunding lama, inilah isi kontraknya.
KONTRAK PERJANJIAN PERNIKAHAN
Pada hari (...), tanggal (...), bulan (...), tahun (...), telah dibuat perjanjian perkawinan dari dan antara :
1. Nama : Bagas Adi Prakoso
Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 21 Mei 1990
Dalam hal ini bertindak atas nama pribadi, yang selanjutnya disebut sebagai Pihak Pertama.
2. Nama : Alana Kwok
Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 7 Januari 1991
Dalam hal ini bertindak atas nama pribadi, yang selanjutnya disebut Pihak Kedua.
Kedua pihak telah sepakat untuk mengikatkan diri dalam sebuah perkawinan dan tunduk pada perjanjian dengan syarat-syarat di bawah ini.
Pasal 1
Batas daluarsa kontrak adalah lima tahun. Kecuali, pada kondisi khusus di mana Pihak Pertama dan Pihak Kedua telah sepakat membatalkan perkawinan.
Pasal 2
Menghormati kehidupan asmara masing-masing pihak.
(Termasuk dilarang genit pada Pihak Kedua)
Pasal 3
Tinggal di kamar terpisah.
Pasal 4
Pihak Pertama dan Pihak Kedua tidak boleh memberitahu siapa pun tentang isi kontrak sampai pada masa daluarsa kontrak.
Tertanda di bawah ini :
(Pihak Pertama) (Pihak Kedua)
Mereka melegalkan kontrak itu dengan membubuhi tanda tangan masing-masing. Tidak terasa, langit oranye di atas telah berubah makin pekat. Bayangan hitam pohon makin memanjang pada rumput. Ia tidak tahu sudah jam berapa itu, tetapi pastilah orang tua mereka sebentar lagi akan menyuruh masuk. Alana melipat kertas kontrak seraya menyelipkannya pada tengah buku sketsa. Di rumah, ia harus segera menyimpannya dalam kotak topi di atas lemari supaya tidak ada tangan-tangan nakal yang mencoba mengambilnya. Mamanya suka mengorek barang-barangnya.
Alana mengajak Bagas masuk. Saat keduanya merapikan barang dan bangkit dari duduk, Bagas tiba-tiba bertanya, "Kita sudah berbuat hal benar, kan? Pernikahan itu sakral. Ada beberapa orang yang menganggap kalau menikah adalah akhir bahagia hidup dari seseorang. Beberapanya lagi menganggapnya permulaan dari kehidupan baru. Ada yang bilang, kalau pasangan hidup telah ditetapkan Yang Maha Kuasa bahkan sejak kita masih dalam kandungan. Apa kita nggak kayak sedang mempermainkan takdir?"
"Tergantung kamu mau melihatnya dari sisi mana. Akhir bahagia, takdir, memangnya itu beneran ada? Yang kita dapatkan pada waktu ini terjadi karena keputusan kita di masa lampau. Banyak kok pernikahan yang nggak berhasil padahal katanya telah dipersatukan. Kejar yang nyata, jangan percaya yang mitos-mitos begitu, yang begituan cuma terjadi di film. Akhir yang bahagia, manis, dan bermakna cuma buat nilai komersil saja."
"Ucapanmu kedengarannya sangat pesimis."
"Dan masuk akal," tambah Alana yakin.
Bagas menatap gelasnya, tengah melamun. Kerutan kecil muncul di tengah alisnya. Tangannya menggenggam erat tangkai gelas, yang segera Alana lepas dan menyadarkan cowok itu dari lamunan.
"Kita bisa membuktikannya apakah ini pernikahan yang berakhir bahagia atau buruk, lewat pernikahan ini."
Alana menyodorkan tangannya, Bagas menjabatnya. Hari itu, walau kesepakatan kontrak nikah telah matang, dalam hati keduanya setengah yakin menjalankan. Mereka hanyalah dua remaja yang belum dewasa, yang belum betul-betul paham konsekuensi suatu perbuatan dan hidup dengan menggenggam ego. Keluar dari lubang kesengsaraan keluarga mereka, itulah keinginan mereka. Namun, sekali anak-anak tetaplah anak-anak, ketika berhadapan langsung dengan ketakutan terbesar, nyali mereka menciut.
Api semangat yang berkobar-kobar di dalam mereka, perlahan mehyusut begitu berhadapan muka dengan kedua orang tua mereka di meja makan. Papa dan mama mereka mengumumkan perjodohan itu, dan segera Alana dan Bagas menolaknya. Beruntung, papa dan mama keduanya setuju dan meniadakan perjodohan macam apa pun sampai keduanya telah berusia matang. Meski itu berarti kehidupan minim kebebasan mereka akan berlanjut, namun keduanya dengan rela menerimanya sebagai suatu kenyataan hidup.
Anggap saja sedang makan buah simalakama. Lama-kelamaan pembicaraan kontrak nikah itu pun terlupa.
Sama sekali tidak mereka duga-duga, delapan tahun kemudian, di suatu Minggu yang tenang, sambil berhadap-hadapan duduk di kursi apartemennya Bagas, keduanya diperhadapkan kembali dengan kertas kontrak nikah yang sama. Tiga bulan kemudian, mereka resmi menjadi sepasang suami istri.
****
Aku mau minta pendapat kalian tentang kesan selama membaca dua bagian ini. Apa seru? Atau rasanya kayak cerita marriage life-kontrak biasa?
---
Thank you for reading !
Please kindly click vote and comment if you like this story
❤
26 Juli 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top