1. Alana Kwok

---

"And said, 'For this reason a man will leave his father and mother and be united to his wife, and the two will become one flesh'."

(Matthew 19:5)

---

Di usia tiga puluh tahun, Alana Kwok telah mengantar dua kali kematian. Yang pertama, Gua Ma, pada usianya tujuh tahun. Yang kedua, Eyang Putri, sepuluh tahun lalu. Di hari ini, kendati ingin, ia merasa diharuskan datang. Kalau saja Ravel tidak datang ke apartemennya pagi-pagi sekali dan menyeretnya ke closet, pastilah sekarang ia tengah tidur dalam kamarnya yang nyaman. Ravel paling tahu double shot espresso paling bisa membuatnya melek.

Atap putih bentuk segitiga dengan ukiran-ukiran motif Yunani Kuno, ujung lancipnya disinari sinar membentuk suatu titik cahaya menyilaukan serupa bintang di siang hari. Pilar putih gagah menopang sudut-sudut atap yang sewaktu-waktu mungkin jika terjadi gempa bumi dasyat bisa roboh. Bila melihat lebih lama, rumah bergaya klasik itu mengingatkannya pada kediaman dewa-dewi Yunani. Hari ini, kediaman itu tidak tampak agung, malahan menyedihkan.

Pagar aksen emas yang setia melindunginya dibiarkan terbuka sedikit. Puluhan karangan bunga berjejer di sepanjang pagar. Orang-orang berbaju serba hitam lalu-lalang seperti lalat di halaman. Belasan wartawan berdesakan di pintu pagar lengkap dengan kameramen yang meliput prosesi pemakaman dari luar.

Semuanya membuat Alana resah. Jadi sebagai lapisan pelindung terakhir, ia membenarkan letak kacamata hitamnya, lalu berjalan masuk lewat pintu utama. Dua-tiga kerabat yang wajahnya Alana kenali tengah diwawancarai di depan pagar. Pertanyaan-pertanyaan umum serupa, "Apa penyebabnya meninggal?, "Bagaimana beliau sebelum meninggal?", "Apa pesan-pesan terakhirnya?, atau "Apakah ahli waris telah ditetapkan?" Pertanyaan terakhir sejenak mendapat kerlingan mata tajam dari rekan-rekan wartawannya, sebelum satu per satu pertanyaan serupa terlontar dengan bahasa lebih sopan.

Salah satu wartawan mengamatinya lekat-lekat ketika lewat, membuat Alana mengencangkan rahang agar tidak tertawa. Walau tidak senang berada di sana, ia masih punya hati nurani untuk menghormati kematian mendiang.

Haknya berkelotak di atas batu alam hangat yang menggelap begitu memasuki bayangan atap tenda putih yang terpancang sepanjang halaman menuju rumah. Tergantung lampu hias bentuk lentera di langit-langit. Di sisi kanan-kiri dihiasi rangkaian bunga mulai dari krisan, lily, anyelir, dan disematkan candle holder dari logam dengan lilin menyala. Orang-orang duduk di kursi yang disediakan. Beberapanya lagi yang berdiri adalah keluarga yang menyapa tamu-tamu atau mengarahkan pelayan membagikan kotak jamuan makan. Anak-anak main kejar-kejaran. Jika pemakaman identik dengan tangis atau sepi, tempat itu lebih mirip pesta taman.

"Bisa-bisanya terang-terangan tertawa," omel Alana dalam hati, melihat dua pria gemuk berbincang seru, yang ia kenali sebagai direksi dan komisaris perusahaan. Padahal di barisan depan istri dan adik mendiang tidak henti-hentinya menangis.

"Apa ini benar pemakaman?" tanya Ravel keheranan. Sejenak, mengalihkan perhatian Alana dari Liliana Prakoso yang diberikan sekotak tisu oleh anaknya. Beliau mengusap air matanya, tetapi itu pun tidak berhasil membendung.

Mereka telah hampir mencapai undakan menuju pintu utama. Kedua pintunya terbuka dan beberapa orang mengantri untuk menyampaikan ucapan selamat tinggal terakhir pada mendiang dalam peti mati.

"Ramai sekali, ya?"

"Lebih dari ramai," gerutu Ravel. "Ada apa dengan orang-orang ini? Bisa-bisanya mereka tertawa. Apa mereka tidak punya simpati?"

"Waktu masih hidup, orang-orang itu memuja-muja beliau, setelah meninggal mereka berlomba-lomba mencalonkan diri menggantikan posisinya. Itulah jenis orang-orang yang berkumpul ini."

Ravel berhenti dan menatapnya iba. Alana jadi tersadar akan ucapannya, dan menambahkan, "Tentu nggak semuanya. Ada juga orang-orang yang tulus, tapi di duniaku, sulit menyortir mereka yang berpikiran bengkok."

"Lebih sulit dari menyortir sampah daur ulang?"

"Kadang-kadang lebih membingungkan dari menentukan kapas harusnya masuk ke kantung mana. Apa kapas bisa didaur ulang? Tapi jadi apa?"

"Kita ternyata berada di dunia yang berbeda, ya. Kukira selama ini kamu manusia."

Alana menahan dengkusan geli yang hampir lepas, tangannya mendorong punggung Ravel.

"Diamlah dan ambil bunganya. Sudah giliran kita."

Seseorang berjaga di pintu masuk menyerahkan setangkai bunga mawar putih pada masing-masing mereka dan keduanya menaruhnya di altar, menyesuaikan dengan ratusan bunga lain yang telah berjejer di sana. Foto mendiang tersenyum, seakan mengamini perpisahannya dengan dunia. Setelah berdoa dan memasukkan amplop dukacita, Alana bermaksud menyapa keluarga Prakoso dan keluarganya sendiri yang duduk di barisan sama, namun seseorang menghalanginya lebih dulu.

Adalah pria tinggi bertampang blasteran yang melakukannya. Ia memadukan jas hitam dengan dalaman kemeja putih. Rambut pria itu, yang sejauh ingatan Alana selalu ditata gaya soft side parting, dibiarkan lurus turun menutupi dahinya, kantung matanya bengkak dan menghitam, dan di sekitar mulutnya tumbuh janggut dan kumis pendek-pendek. Rupanya, penampilan yang berantakan itu masih mengundang perhatian kaum hawa. Tatapan kagum dari wanita-wanita setia mengikutinya ketika berjalan, bahkan sampai di depan Alana. Beberapa kepala itu segera berpaling, ada juga yang mendelik iri, mengerti, lalu kecewa saat pria itu memeluk Alana.

Alana yang pertama menjauh karena merasa tidak enak dengan kehadiran Ravel di sana. Padahal Ravel khusus datang menemaninya di sini, pria itu malah menjadi penonton adegan 'salam mesra pasutri yang berbahagia'. Itu salah satu ajaran akting dari Bagas kalau mereka berhadapan dengan publik. Jangan tanya kenapa dia pandai hal-hal semacam itu.

"Kamu datang," desah Bagas hangat, mendahului Alana menegur. "Kamu nggak mendapat pesanku?"

"Soal kamu menyuruhku nggak usah datang? Ya, aku melihatnya, tapi ya, aku juga datang."

"Benar-benar nggak apa-apa loh, kalau kamu nggak datang. Aku sudah bilang sama Mama kalau kamu sakit."

"Izinmu itu sangat menggiurkan," Alana melirik tajam Ravel di sebelahnya, "tapi seseorang mengatakan sama aku nggak sopan menantu keluarga nggak datang ke pemakaman mertuanya."

"Normalnya memang begitu." Ravel mengangkat bahunya.

"Tapi kami bukan pasangan normal."

"Kalian menikah. Apa status itu nggak seperti pasangan kebanyakan?"

Sudut bibir Ravel bergetar sejenak, suatu kebiasaan yang Alana tangkap tiap kali pacarnya ngambek.

Sungguh perasaan menyenangkan melihat pacar cemburu. Alana benar-benar ingin mencium Ravel sekarang, kalau saja mereka tidak di tengah-tengah pemakaman. Jadi dia hanya mendekatkan tubuhnya pada Ravel dan berbisik, "Pasangan normal nggak bisa lebih mencintai orang lain dari suaminya."

Telinga Ravel bersemu merah. Kenorakan tingkat sepuluh yang sungguh tidak layak dilihat sampai-sampai orang yang mengucapkannya pun merasa jari-jarinya menekuk keriting. Pastilah obat nyamuk bernama Bagas ikut merasakannya juga. Dengan tatapan lurus, pria itu mengajak Alana ke halaman belakang. Katanya, tulangnya akan remuk jika semenit lebih lama berdiri.

"Aku harus menyapa Mama." Alana menahan tangan Bagas.

"Nggak usah. Mama pasti mengerti," jawab Bagas supertenang. "Lewat sini." Ia membuka tangannya menunjuk ke sisi kanan badannya.

Lewat ekor mata, Alana memastikan keadaan Liliana. Dia masih duduk di tempat yang sama, namun adik mendiang pergi entah ke mana. Seorang wanita muda tengah bersamanya. Dia merangkum jemari keriput Liliana, mendengarnya penuh perhatian, tak peduli kalau yang wanita itu ucapkan mungkin kalimat patah-patah karena air matanya terus jatuh. Ternyata, masih banyak orang baik, gumam Alana dalam hati.

Dengan perasaan tenang, ia mengikuti Bagas ke halaman belakang. Tidak banyak berbeda dengan halaman depan, hanya lebih sepi, area batu alamnya lebih kecil seukuran setengah Olympic dengan paving block dibentuk lingkaran, selebihnya dilestarikan rumput dan tanaman hijau yang potongannya sangat rapi seperti baru dipotong kemarin. Bagas mempersilakannya duduk di kursi taman.

Suara kepakan samar-samar angin meniup dedaunan terdengar. Telinganya terasa terberkati dan ia larut dalam ketenangan itu. Ia bukannya benci keramaian, hanya saja kepalanya suka pusing kalau berada terlalu lama dalam kumpulan orang-orang yang tidak ia kenal. Entah harus melihat ke mana, mendengar ke mana. Ravel sebenarnya setipe dengannya, namun sepertinya cacing-cacing perutnya lagi tidak mau diajak berkompromi jadi dia memilih tinggal di depan dan makan nasi kotak sampai kenyang.

Alana membuka heels-nya, meregangkan jemari kakinya yang kaku sehabis terjerat kekangan heels. Cat kuku kakinya mengelupas. Ia sedang memikirkan harus memulasnya dengan warna apa saat sepasang slippers disodorkan di bawah kakinya.

"Kenapa kamu memakai heels setinggi itu?" Bagas duduk di sebelahnya. "Tinggimu sudah cukup mengintimidasi cowok-cowok pendek. Pakailah flat yang biasa atau sepatu sport," ia mengibaskan tangan di depan mukanya, "Dandananmu hari ini juga aneh, kayak ...."

"Cruella?" potong Alana.

"Aku mau menyebut Beth Harmon, tapi Cruella sangat cocok untuk kepribadianmu."

"You have a good taste. Semoga yang lainnya juga menilai sama. Aku sengaja berdandan khusus untuk hari ini." Alana memasang slippers-nya. Kini telapak kakinya bisa bernapas lega. Say bye bye, Christian Louboutin.

"Dan itu untuk ...?"

"Penampilan perdanaku sebagai menantu keluarga Prakoso setelah enam bulan sembunyi dalam gua." Gosh. Belt ini benar-benar memeluk perut. Alana menarik-narik karet belt metalnya.

Bagas menyipitkan sebelah matanya. "Aku nggak mau bilang 'sembunyi dalam gua'. Sebelum enam bulan itu, kamu memang selalu tidak suka tampil depan publik."

Alana diam-diam mengiyakan. Kehidupannya sebagai bagian dari keluarga Prakoso tidak bisa jauh dari mata publik. Jika dulu saat menyandang nama marga Kwok dia bisa berlindung di belakang kesuksesan kakaknya, sekarang ia harus berdiri di atas kakinya sendiri. Publik benar-benar bukan sahabat yang baik bila menyangkut soal komentar. Ia pernah diberitakan media online yang suka mem-posting keseharian para konglomerat sebagai salah satu icon fashion terrorist saat mengenakan gaun dan sepatu sport, juga timbul isu keretakan rumah tangganya dengan Bagas hanya karena mereka turun di mobil yang berbeda. Sekarang, daripada repot mengurus hal-hal sepele itu, ia lebih memilih menjauh dari jangkauan kamera.

"Kamu nggak apa-apa meninggalkan pemakaman? Mamamu terus menangis." Akhirnya, Alana melepas kaitan belt-nya yang ada di depan perut. Ia duduk bersandar dan melebarkan kakinya. Untunglah ia memakai rok A-line hitam sepanjang mata kaki, kakinya bisa bebas bergerak.

Bagas melepas jas dan menyampirkannya di lengan kursi taman. Ia menutup matanya lelah lalu menyandarkan kepala pada sandaran kursi taman.

"Orang-orang berduka pasti sedih, lebih aneh kalau dia tidak menangis."

"Kalau kamu? Bagaimana perasaanmu?"

"Senang? Kupikir begitu. Tapi ternyata nggak. Sangat, sangat buruk. Aneh sekali, kan?"

Sejujurnya, yang lebih aneh adalah Bagas yang mengatakan hal sedih ini sambil tersenyum, tetapi Alana tidak mengatakannya.

"Nggak aneh. Wajar sekali. Kamu juga keluarganya."

Alana ikut menyangga sikunya di atas sandaran kursi dan menyandarkan kepalanya. Kacamata hitamnya menangkap sinar matahari yang menelusup di antara dedaunan di atas mereka, tetapi tentu tidak membuatnya silau.

"Keluarga, ya," gumam Bagas sambil lalu. "Aku tidak tahu apa benar hubunganku dan dia bisa dibilang keluarga. Waktu aku dengar orang-orang dari perusahaan dan yayasan mengucap salam terakhir, mereka selalu bilang frasa, 'baik', 'pekerja keras', 'punya empati yang tinggi', 'ramah', bahkan 'role model-nya'. Saat itu, aku memikirkan 'apa kami membicarakan orang yang sama?'

"Tiap kali ingin mengingat papa, aku selalu mengingat keriput di dahi dan garis mulutnya. Itu makin tercetak dalam setiap kali dia marah. Foto di pemakamannya tadi mungkin kali pertamaku melihatnya tersenyum. Apa aku benar keluarganya? Atau keluarganya itu karyawan perusahaannya? Atau, anak-anak yayasan tempatnya rutin berdonasi, yang bisa menangis saat membicarakan kebaikan papa padanya?"

"Aku kenal beberapa orang yang baik pada semua orang, kecuali keluarganya. Mereka lebih peduli pendapat orang lain daripada perasaan orang-orang yang benar-benar peduli sama mereka."

"Kamu tahu yang lebih aneh?"

"Apa?"

"Ketika aku melihatnya sekarat di rumah sakit, melihat tubuh yang bersisa tulang dan kulit itu. Melihatnya menggantungkan nyawanya pada semua mesin yang menancap di tubuhnya. Dia benar-benar tampak menyedihkan. Saat itu aku memikirkan 'apa benar aku pernah menggantungkan hidupku pada orang menyedihkan ini? Kenapa aku begitu takut penilaiannya? Aku jadi merasa sangat buruk pernah sangat membencinya."

"Dia pria malang yang jahat." Alana mengulum senyum tipis, bulu matanya bergerak turun teringat satu kejadian masa lalu yang buruk tentang Bagas dan papanya.

"Sangat jahat. Dia membiarkan aku mengasihaninya. Payah sekali," lanjut Bagas.

Bagas menutup matanya dengan sebelah tangan, seolah sedang tidur atau menghalangi sinar matahari menelusup dari celah daun masuk ke matanya, atau sedang menangis. Alana tidak tahu, dan tidak ingin tahu. Lagipula, bukan ranahnya menasihati apa-apa. Ia membiarkannya dan meminum isi tumbler miliknya, sedikit-sedikit. Ia mengerang nikmat waktu selesai menelan.

"Setelah ini, kamu akan berbuat apa?" tanya Alana. "Papamu sudah meninggal dan kontrak nikah kita sebentar lagi selesai." Sambil merapatkan kepala tumbler-nya, sesaat ia ragu bicara, "Apa kamu akan mempercepat proses cerai?"

"Kepalaku lagi pusing. Tolong bicarakan yang lain," erang Bagas.

"Hmm." Alana memajukan bibirnya dan menyilangkan kaki, berpikir. Lalu ia ingat wanita yang bersama Liliana tadi. "Aku melihat Gianna tadi. Kamu berencana mendekatinya?"

Punggung Bagas secara samar bergerak menegak, lalu ia melorotkan pundaknya mencoba tampak rileks. Nama Gianna selalu memberi efek seperti itu padanya.

"Dia sudah bersuami," desahnya kecewa.

"Kamu juga punya aku." Alana bergeser mendekat. "Kita harus segera merencanakan apa yang akan kita lakukan sebelum kontrak selesai. Kamu akan menyesal setelah kita cerai dan melihatku meninggalkanmu melajang. Siap payung sebelum hujan, right?"

Bagas melepas tangannya dari mata dan menegakkan badan. "Kamu sudah punya rencana?"

"Iya." Bibir Alana tersenyum selebar pipinya. "Minggu depan aku sama Ravel liburan ke Jogya. Di sana, aku akan melamarnya."

Bagas kehilangan kata-kata. "Kamu ... melamarnya? Bukannya itu terlalu cepat?"

"Kami sudah menyia-nyiakan tiga tahun pacaran karena kontrak kita. Bakal gawat kalau lebih telat dari ini."

"Terus, perusahaanmu gimana?"

Kata 'perusahaan' saja bisa membuat mood Alana sejatuh-jatuhnya. Ia mendesah, lalu meraba satu per satu biji permata merah pada gelangnya yang warnanya mulai pudar. Semacam terapi mengusir kalut. Ada sesuatu yang menenangkan dari meraba sisi-sisi potongan kasar gelang batunya.

"Nggak begitu baik, tapi kami mencoba mencari jalan keluar setelah seseorang membuat pendapatannya defisit selama dua kuarter," sindirnya pada Bagas.

Bagas menanggapi dengan cengiran kuda. Setengah tahun dia menggantikan Alana sebagai direktur perusahaan baju olahraga wanita karena alasan kesehatan, dia punya pengetahuan sangat cukup tentang wanita, tapi tidak dengan cara mengelola perusahaan baju olahraga. Dia direktur pemasaran perusahaan properti, bukan agen serba bisa. He's screwed up. Dia tidak tahu menyewa atlet sebagai model pakaian olahraga berarti harus menangani kehidupan karir yang lainnya juga. Singkat cerita, modelnya mendapat isu buruk, agensi kurang tanggap, kemudian nilai pasarnya jatuh.

"Jadi, kalian gimana?" tanyanya, merasa bersalah.

"Buruk, tapi pendapatan minggu terakhir mulai meningkat. Instingku bilang, kami mulai mengarah ke arah positif. Karena itu, aku butuh liburan ini sebagai hadiah telah bekerja keras."

"Cukup pantas." Bagas mengangguk.

Alana pikir Bagas akan berhenti sampai di situ saja, tetapi pria itu malah menggenggam tangannya dan bilang, "Tapi suamimu sedang berduka, haruskah kamu pergi minggu depan? Kamu nggak kasihan meninggalkanku sendiri?" Ia memasang wajah minta dikasihani. Alana bisa melihat bayangan kuping anjing turun dan terlipat, menancap di kedua sisi kepalanya.

"Aku nggak kasihan." Alana melepaskan tangannya.

"Alana," Bagas mengubah suaranya lebih berat dan tegas, "aku suamimu. Dengarkan aku. Jangan pergi."

"Kamu suami pura-puraku," tekannya.

"Gosh, you always said that when you don't know how to confort, huh?" ratap Bagas.

Alana mengangkat sebelah bahunya lalu meneguk minumannya lagi. Bagas sesaat mengamatinya sambil membasahi mulut.

"Whatever. Minta tehmu seteguk. Aku haus."

"Boleh." Alana menyodorkan tumbler-nya sukarela. "Sampai habis, juga boleh."

Bagas meminumnya. Jakunnya bergerak naik turun dengan cepat, sepertinya dia kehausan. Setiap cairan itu masuk, semakin dalam keningnya berkerut.

"Apa ini? Bir?" tanya Bagas, menahan cegukan.

"Yup. Sengaja kubawa untuk menghiburmu. Sebenarnya, aku ingin membawa vodka, tapi di kulkasku cuma ada bir. Fun fact: minuman itu harusnya penuh, tapi aku nggak sengaja meminumnya di mobil karena gugup harus berhadapan dengan publik setelah sekian lama. Karena sudah terlanjur, kuhabiskan saja sampai setengah."

"Kamu benar-benar istri yang pengertian," desahnya dramatis.

"Dan kamu suami yang menjijikan."

****

Aku rencananya mau buat update cerita ini dua kali seminggu, tapi cadangannya aku buat dikit jadi terpaksa sekali seminggu lagi 😢

Tapi tenang, buat 3 chapter pertama bakal aku upload dalam waktu berdekatan.

Semoga kalian suka ceritanya ya, dan jangan lupa vote dan komen untuk mendukung cerita ini!

Makasih sudah baca ❤

---
23 Juli 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top