BAB II : PERKENALAN
🎶Playlist🎶
Raisa feat Isyana - Anganku Anganmu
.
.
.
Pagi di bulan puasa dengan rutinitas yang terkadang menjemuhkan
Butuh sesuatu yang benar-benar baru?
😀😀😀
.
.
.
Cerita ini bisa sebagai penghiburnya
😉😉😉
.
.
.
Vote x Komen
JANGAN LUPA!!!
.
.
.
Happy Reading
📖📖📖
.
.
.
"Kalau kata pepatah lama, tak kenal maka tak sayang"
Kemilau dan Azka sempat terdiam beberapa saat, ditatapnya lekat-lekat sosok wanita berambut lurus di depannya itu. Guru BK yang baru? Memang siapa yang diganti? Mereka sama sekali belum menerima pengumuman akan kedatangan guru baru di sekolah ini.
Sebenarnya, Kemilau tidak terlalu terkejut, dia tahu betul kalau guru yang menjabat sebagai guru BK di sekolah ini tengah mengambil cuti melahirkan, maka selama tiga bulan beliau tidak akan bisa memantau para siswa seperti biasa.
"Ah, Ibu guru pengganti Bu Nadhine, ya?" tanya Kemilau dengan mata berbinarnya.
Shasha mengangguk, "benar. Saya guru BK sementara lebih tepatnya, sampai Bu Nadhine kembali."
Kemilau mengangguk-anggukan kepalanya tanda mengerti, lalu sikutnya bergerak menyentuh Azkara sambil berbisik, "Kak, Ibunya gak disuruh duduk nih?"
Seakan sadar Azkara tersenyum kaku, "maaf, Bu. Sampai lupa. Silahkan duduk," ucap anak lelaki itu canggung.
"Terima kasih."
Mereka bertiga kini duduk di sebuah meja yang memang disediakan untuk anak-anak osis berdiskusi. Ya. Mereka hanya bertiga. Karena satu siswa perempuan yang tadi datang dengan Kemilau tiba-tiba memilih untuk undur diri.
"Sebelumnya boleh saya tahu nama kalian? sejak tadi, hanya saya yang memperkenalkan diri. Ah, saya sudah tahu kamu siapa," kata Shasha sembari menunjuk Azkara. Membuat anak lelaki itu lagi-lagi tersenyum namun tidak lagi canggung. "Kamu ketua osis di sini? Azkara, 'kan? Nah sekarang, kamu." Dia menunjuk Kemilau yang sudah tersenyum lebar sejak tadi.
"Akhirnya Ibu tanya saya juga. Hehehe. Nama saya Kemilau Sebening Embun. Saya Kelas 1-A. Tugas saya di osis adalah yang bertanggung jawab pada mading sekolah," katanya dengan bangga.
"Orangtua kamu pandai memilah nama. Tapi, apa saya tidak menganggu jadwal belajar kalian?" tanya Shasha. Karena sejak tadi Shasha tidak melihat adanya kelas yang sedang melakukan pembelajaran. Semua anak sibuk di luar kelas.
"Karena pekan ujian sudah terlewati, makanya jam-jam belajar menjadi lebih longgar. Yang mungkin sibuk adalah mereka para siswa yang harus mengulang ujian," jelas Azka.
Ya. siswa SMA sudah melalui masa ujiannya pekan lalu. Wajar saja jika mungkin minggu setelahnya mulai ada sedikit kebebasan untuk kembali mengistirahatkan otak mereka.
"Kalian tidak harus mengulang?" tanya Shasha lagi.
"Alhamdulillah tidak, Bu," jawab keduanya. Membuat Shasha bisa bernapas lega setelahnya.
"Syukurlah. Jadi, bisa kita mulai?"
"Bisa. Apapun yang sekiranya Ibu butuhkan atau ibu tanyakan, akan kami bantu dan kami jawab semampu kami."
"Em, tahap pertama, bisa kalian beri tahu saya nama-nama anak yang sering membuat onar di sekolah?"
Mendengar permintaan pertama Shasha, Kemilau dan Azka terdiam beberapa menit. Terlihat khawatir juga takut, kentara sekali dari sorot mata mereka mengatakannya. Cepat-cepat Shasha menjelaskan maksudnya, karena tidak ingin kedua siswa ini salah paham.
"Tidak. bukan untuk saya laporkan atau apa. Saya hanya ingin mengetahui profil mereka untuk mencari tahu motif dan alasan kenapa mereka melakukan tindakan yang kurang baik di sekolah juga berasal darimana keberanian mereka melakukannya." Shasaha menatap mereka penuh harap.
Azka terlihat menghela napas hingga dia bangkit untuk mengambil sesuatu di laki meja ketua osis—tempat yang dikuasainya di periode ini. Shasha yang mengikuti gerak-geriknya mampu melihat apa yang anak itu bawa hingga dia kembali duduk di depannya.
Beberapa lembar kertas yang berisikan entah apa, disampul cukup rapih hingga benda itu sampai dnegan sempurna di depannya.
"Saya sudah jauh-jauh hari menyusunnya, Bu. Hanya belum sampai pada tahap berani untuk melapor. Di dalamnya ada nama-nama anak yang ibu cari. Saya sertakan foto juga. Saya mengambilnya dari data siswa. Karena sepertinya Ibu dan saya punya tujuan yang sama, saya akan memberikannya pada ibu sebagai pegangan—mungkin?"
"Wih, apatuh kak? Kok aku gak dikasih tahu sih?"
"Duh anak kecil gak usah tahu ya?"
Shasha terlihat begitu serius memandangi buku itu, hingga bunyi bel mengejutkannya.
"Bel masuk," seru Kemilau.
"Em, Azka. Ini boleh saya bawa kan? Kamu tidak keberatan?"
"Boleh, Bu."
"Baik, saya pinjam ini sementara. Besok saya kembalikan ya? saya permisi, kalian masuklah ke kelas. Lain kali kita lanjut diskusinya, ya?"
***
Setelah keluar dari ruang osis, Shasha memilih untuk masuk ke perpustakaan. Jujur dia tidak tahu di mana ruang guru. Jadi karena perpustakaan lebih dulu dia temukan, dia memutuskan untuk masuk . dia ingin segera membaca isi file yang diberikan Azkara tadi.
Shasha memilih untuk duduk di kursi paling pojok. Dia tidak mau ada orang lain yang ikut membaca file ini. Bisa bahaya nanti. Shasha memulainya. Di halaman pertama tidak ada tulisan apapun. mungkin, Azka sengaja mengosongkannya untuk membuat file ini layaknya kertas kosong agar tidak dicurigai?
TALITHA BELLA DANUARTA
Adalah nama pertama yang terpampang di halaman berikutnya. Shasha mengerjapkan mata beberapa kali saat matanya menatap fokus pada foto yang terlampir atas nama itu. Ini adalah siswa yang dia lihat sedang mengintimidasi murid lainnya.
MISS POPULARITY OF 3rd YEARS
Ah, dia adalah pemenang puteri sekolah selama tiga tahun berturut-turut? Pantas saja. Dia anak gadis yang cantik. Tidak heran jika dia menjadi puteri sekolah. Tapi, apa hanya karena cantik saja dia menang? Setahu Shasha, ajang pemilihan seperti ini tidak hanya menilai dari aspek fisik, namun juga menilai dari segi intelektual dan prestasi pesertanya. Ah, jangan lupakan attitude. Itu juga penting.
THE WINNER OF MATHEMATIC OLYMPIADE
Dia adalah pemenang olimpiade matematika? Okay, sekarang Shasha setuju. Dalam dua aspek, anak ini memang layak. Tapi sikap dan sosialnya nol besar.
Email:
FB : Talitha Bella Danuarta
IG : Talithabell_
Azkara juga menuliskan akun-akun media sosial gadis itu di dalam file. Sepertinya akun-akun yang dia punya akan berguna sekarang. shasha merasa tidak menyesal sempat membuatnya meski tidak pernah menggunakan. Dan sekarang tiba saatnya untuk menggunakannya.
Satu buah notifikasi masuk ke ponselnya. Itu dari Daniel yang menanyakan keberadaannya. Setelah membalas bahwa dia sedang ada di perpustakaan, taka lama setelahnya sosok Daniel muncul dan menghampirinya, bahkan duduk tepat di sampingnya, membuat suasana tiba-tiba canggung.
"Bagaimana SMA WIJAYA setelah hampir dua jam kamu jelajahi?" tanya Daniel. Memulai pembicaraan untuk membunuh aura aneh yang tiba-tiba mengelilingi mereka.
"Dua jam terlalu singkat untuk mengambil keputusan. Tapi cukup untuk memberi kesan buruk pada pertemuan pertama," balas Shasha tanpa menatap Daniel. Matanya menerawang ke depan, seolah kembali melihat reka adegan yang sempat dia lihat tadi.
"Hm?"
"Sekolah ini kacau, Dan. Baru dua jam aku udah lihat adegan penindasan yang dilakukan siswa senior cuman karena hal sepele,"
"Talitha ya?"
Shasha mengerjap. Lalu menatap Daniel penuh tanya. "Kok—"
"Azkara sudah sering meminta bantuanku kalau anak itu berulah. Jadi, nama itu sudah tidak asing lagi. Bisa dibilang, dia memang ketua dari semua anak-anak yang suka menindas anak lain."
"Kamu udah nyoba negur dia?"
"Sering. Dan dia gak pernah jera."
"Kasih sanksi yang lebih berat!"
"Dan orangtuanya akan mencabut semua donasinya dari sekolah ini? semua gak semudah itu Sha. Terlebih, Talitha adalah anak yang berprestasi. Dia adalah nomor satu jagoan matematika yang SMA WIJAYA punya. Mati-matian kami harus menyembunyikan kepribadian buruknya untuk membuatnya lolos tahap seleksi peserta hingga bisa ikut olimpiade dan menang. Pihak sekolah gak bisa menyentuhnya karena dia asset berharga. Bisa kamu bayangin gimana stresnya aku sekarang?"
Shasha menatap Daniel dengan tatapan sendu. Ya. cukup rumit. Padahal ini baru satu orang yang dibahas. Shasha belum sepmat membaca lembaran-lembaran pemberian Azkara karena kedatangan Daniel.
"Hm, tapi 'kan sekarang kita lagi nyoba nyari solusinya? Gapapa. Semoga dapat jalan keluar. Karena gaada yang instant, Dan, semua butuh proses. Karena aku yakin, di bawah Talitha ini pasti ada nama-nama lain yang juga berpengaruh 'kan? Tadi aku udah ketemu Azkara sama Kemilau. Aku juga udah masuk ke ruang osis. Di luar permasalahan yang rumit, sekolah ini punya fasilitas yang mempuni. Hanya tinggal memperbaiki sumber daya manusianya, dan sekolah ini akan sempurma. Semangat, Dan. Aku bantu kamu."
"Apa kita masih punya harapan?"
Shasha tersenyum sendu. "Mereka masih anak-anak, Dan. Mereka hanya perlu diberi pengertian bahwa yang mereka lakukan itu tidak benar. Mereka hanya perlu bimbingan lebih. Mereka hanya perlu kita arahkan ke jalan yang seharusnya. Kamu benar, aku mungkin terlalu gegabah kalau nyaranin kamu buat ngasih sanksi, karena anak-anak seperti itu memang gak mempan sama sanksi, mereka bakalan terus ngelakuin itu karena merasa terusik. Kita cari cara lain. pasti ada caranya, kamu tenang aja, kita pikirin ini bareng-bareng. Ya?"
Wajah frustrasi Daniel berubah cerah, sebenarnya dalam menghadapi sebuah masalah, manusia tidak hanya butuh penyelesaian, manusia juga butuh apa itu namanya teman berbagi beban. Tidak banyak membantu memang, namun itu akan emmbuat sedikit merasa tenang dan membuat otak kita sedikit relaks untuk memikirkan banyak cara. Ini. ini salah satu yang ingin Daniel ajarkan pada anak-anak SMA WIJAYA. Bahwa manusia akan selalu membutuhkan manusia lainnya untuk bisa mencapai sesuatu.
"Kamu mungkin punya anak-anak yang bermasalah, tapi kamu juga punya anak-anak yang hebat. Aku udah bilang 'kan kalo aku tadi ketemu Azkara sama Kemilau?" Shasha kembali tersenyum ketika mengingat anak-anak berhati hangat yang tadi dia ajak bicara.
"Selain fasilitas yang mumpuni, struktur organisasi di sekolah ini cukup baik. Aku mungkin baru bisa menilai lewat Azkara, tapi aku tahu dia anak yang cukup kamu kasih kepercayaan."
"Ya. Azkara dan Kemilau adalah dua dari dua puluh anak dengan latar keluarga menengah ke bawah—yang menerima beasiswa utuh di sekolah ini. Dua nama terkuat yang sampai saat ini gabisa disentuh sama Talitha dan gengnya. Selain itu karena mereka tergabung dalam organisasi kepengurusan sekolah mereka punya wewenang yang hampir sejajar dengan Talitha CS. Talitha mungkin ditakuti karena dia berkuasa, tapi Azkara dan Kemilau disegani karena mereka adalah penggerak organisasi dan dipatuhi oleh semua murid," jelas Daniel panjang lebar.
"Kalau boleh tahu siapa Pembina osis di sekolah ini, Dan? Aku mau minta ijin beliau karena mulai sekarang kayaknya aku bakal merusuh."
Daniel tertawa cukup keras, bahkan sampai harus membuat Shasha memukul bahu pria itu agar mengecilkan volume suaranya. Ya ampun ini perpustakaan, dilarang berisik di sini. "Itu bu Nadhine—yang kamu gantikan sekarang," jawabnya. Masih dengan tawa yang mengecil.
"Baguslah. Besok bisa temenin aku nemuin anak-anak osis? Sekalian kamu bilang ke anak-anak kalau sekarang aku yang jadi Pembina mereka."
"Hm. Boleh. Jadi, kamu udah mulai bergerak sekarang?" Daniel kembali bertanya usil.
"Ya Alloh kamu ngeselinnya gak rubah-rubah ya!"
***
"Ish, sial. Basah kan baju gue!" Talitha yang baru memasuki ruang kelasnya itu menggerutu. Sejak tadi yang dilakukannya adalah menepuk-nepuk baju seragamnya yang ketumpahan air.
"Gue gak mau tahu ya, Pop, lo harus cari anak yang udah berani numpahin minumannya ke baju gue. Dan bawa dia ke gue secepatnya, harus dikasih pelajaran itu anak." Talitha yang sudah mengeringkan bajunya dengan beberapa lembar tissue itu mulai bicara pada kedua temannya.
"Harus gue cari sekarang, Tal?"
"Iyalah. Gausah nunggu besok-besok gue udah kesel banget nih!" pekik gadis itu, membuat seisi kelas yang semula ricuh kini hening. Bahkan Daril yang semula fokus pada bukunya ikut menoleh ke arah Talitha.
Daril yang melihat Poppy berlalu dari kelas mereka sudah bisa menebak apa yang akan terjadi beberapa saat lagi. "Gitu aja terus. Lo gabosen apa punya urusan sama mereka?" tanya Daril yang kini mulai kembali fokus ke bukunya.
"Ih, Daril dia itu kurang ajar sama gue!" Talitha berseru tidak terima.
"Terserah," gumamnya kembali larut pada buku yang dipegangnya.
Beberpaa menit kemudian suara gaduh itu mulai terdengar lagi, okay, sepertinya Daril harus menutup bukunya untuk beberapa menit dan melihat adegan yang cukup seru di kelasnya.
Seorang siswa yang tengah diseret paksa oleh teman sekelasnya itu membuat Daril memicingkan mata. Kinaya Rahayu. Daril cukup tahu tentang gadis itu, salah satu penerima beasiswa, siswa unggulan bidang biologi yang tahun lalu dapat juara 2. Hebat juga Talitha berani ngusik anak unggulan. Dan kalau anak unggulan mulai diusik biasanya...,
"Berhenti!"
Tuh 'kan..., gadis kecil yang Daril tahu sebagai salah satu pengurus osis itu pasti muncul dan pasti adu mulutnya dengan Talitah bakalan jadi tontonan seru murid lain.
"Lo lagi, lo lagi. Gabosen apa lo gangguin kita terus," Poppy mendengus meski tangannya tidak lepas dari tangan Kinaya.
"Kem...," seru Kinaya parau. Gadis itu tengah berekpresi ketakutan dan meminta pertolongan. Tapi seperti biasa, semua warga sekolah tidak aka nada yang berani melawan Poppy, karena Talitha ada di belakangnya sebagai kekuatan.
Kemilau maju, menerjang Poppy untuk melepaskan kakak kelasnya dari cengkraman Poppy. "Lepasin!"
"Heh bocah, berani lo sama gue?!" pekik Poppy yang langsung mengundang kehadiran Talitha karena keributan berasal dari depan kelasnya.
"Gak. Aku gak takut sama kakak!"
Talitha mendelik tajam saat menyadari siapa yang tengah ada di depannya. Dia menggeretakan giginya kesal karena lagi-lagi bocah kelas satu ini ikut campur.
"Lo kayaknya gak bisa dibilangin secara baik-baik, ya? minta banget dikasarin. Oke. Sekalian aja lo temenin kakak kelas kesayangan lo itu buat jadi siswa DO-an kalo lo bener-bener ga mau kehilangan dia. Sekolah ini ga butuh sampah kayak lo. Lo berdua sekarang bukan lagi murid SMA WIJAYA. KALIAN GUE KELUARIN—"
"Talitha!"
Para siswa yang semula sudah mengerubungi para pembuat kericuhan menoleh secara bersamaan kala satu suara yang amat mereka kenali menggelegar—menciptakan keheningan seketika.
"Shit," Talitha menggeram pelan, matanya yang semula menatap kedatangan Daniel, kini sedikit tertunduk. Habis dia hari ini.
Daniel yang sejak tadi melangkah agak tergesa kini memelankan langkahnya, diikuti Shasha yang sejak tadi mengekor. Niatnya untuk membawa Shasha ke ruang guru harus digagalkan oleh suara yang membisingkan satu sekolah.
"Rambut diwarnai, rok ketat, kaus kaki warna-warni, sepatu putih, tidak pakai dasi. Apa-apaan kamu ini?! kamu mau sekolah atau mau nongkrong?!" Tak tanggung-tanggung, Daniel langsung mendamprat Talitha dengan pertanyaan beruntun yang isinya mengusik tata tertib sebagai siswa. Bagaimana tidak, penampilan dan atribut yang gadis itu pakai sangat nyentrik. Bisa-bisanya dia lolos masuk.
Talitha memutar bola matanya malas, "Om Dan apaan sih, biasanya juga aku kayak gini," ujar gadis itu membela diri.
"Talitha! Saya di sini guru kamu!"
"Iya-iya. Maaf," ucap gadis itu terpaksa. Dia melihat sekeliling, dan begitu menyadari jika kini dialah yang menjadi pusat perhatian, gadis itu mendengus lagi. 'Sial, gue dimarahin di depan anak-anak. Hancur harga diri gue!'
"Sekarang kamu ikut saya ke ruang BK. Bawa buku kesiswaan kamu, poin kamu minus banyak karena kamu tidak mematuhi peraturan sekolah!" Daniel berjalan mendahului, diikuti Talitha yang mengekor ogah-ogahan di belakangnya.
Sementara itu, Shasha menghampiri Kemilau yang sejak tadi diam. "Kamu gak apa?"
Kemilau mengangguk, lalu menengok ke arah Kinaya yang masih membisu. "Gak apa, Bu. Tapi, Saya ijin antar kak Kinaya ke kelasnya ya, Bu?" pinta gadis kecil itu. Dan Shasha hanya mengangguk mempersilahkan. Kemudian melangkah cepat mencari jejak Daniel.
"Semuanya bisa kembali ke kelas masing-masing, ya?" ucapnya memberi intrupsi, karena para murid masih berkerumun. Setelah anak-anak bubar dia ikut menghilang dari sana.
Tadinya Shasha khawatir bisa saja salah jalan. Daniel jalannya capat sekali, kaki kecilnya kurang mampu menyejajari. Tapi, untung saja keterangan ruangan terpampang cukup besar di atas pintu, jadi dia tidak salah masuk ruangan.
"Om, apaan sih marahin aku di depan anak-anak. Aku 'kan malu, Om!" sayup-sayup suara Talitha mampu Shasha dengar dan dengan langkah pelan, perempuan itu masuk dan mendekat.
"Jadi kamu malu karena saya tegur bukan karena tingkah kamu yang seperti itu?!" Daniel mulai terdengar tidak ramah.
"Om," Talitha merengek dengan wajah sedih yang dibuat-buat. Astaga anak ini.
"Jangan lagi buat keributan, dan pakai atribut sesuai aturan yang sudah tertulis. Kamu ini sudah kelas tiga, Talitha, kamu itu contoh buat adik-adik kelas kamu."
"Ya bagus dong? Ini tuh gaya kekinian, coba deh Om Dan lihat sinetron di TV, setelannya itu kayak gini semua kali, Om," katanya lagi.
Daniel semakin dibuat menganga. Bisa-bisanya Talitha menggunakan pembelaan semacam itu. "Itulah kenapa kamu tidak perlu menonton tayangan tidak berguna. Mana buku kesiswaan kamu,"pinta Daniel masih dengan nada tidak ramah.
"Ish, Om Dan gak gaul banget. Dikit-dikit minus poin, dikit-dikit minus poin. Apaan deh," Talitha masih menggerutu tidak terima. Seingatnya, poin yang dimiliki para siswa setelah masuk adalah 300 poin. Poin itu bisa bertambah dan berkurang tergantung bagaimana sikapnya di sekolah.
Selama tiga tahun dia di SMA WIJAYA, satu-satu siswa yang masih bisa mempertahankan gelar poin terbaik sekaligus terbanyak adalah Azkara. Berbeda dengan dirinya yang malah menumpuk minus dan terus mengurangi poin karena kelakuannya yang bisa dibilang buruk itu.
Daniel terlihat tengah mencorat-coret buku kecil berwarna putih dengan gambar logo SMA WIJAYA itu, lalu menyerahkannya kembali pada si pemilik. "Kamu boleh keluar," ucap pria itu pada akhirnya. "Saya harap kamu ingat, Talitha. Kalau sampai poin kamu habis, kelulusan kamu akan dipersulit," ancam Daniel serius.
Talitha mendengus, "Aku ini pinter, Om. Gak mungkin aku gak lulus."
"Terserah kamu. Kamu yang menentukan sendiri. Yang jelas, Bu Diandra tidak akan bisa membantu kau mulai sekarang. Percuma kalau kamu mengadu pada Beliau."
Talitha tanpa rasa bersalah langsung bangkit dan meninggalkan Daniel yang maish terduduk di kursinya. Tanpa membalas perkataan Daniel lagi, Talitha keluar dengan langkah yang sengaja dihentakan keras-keras. Gadis kelas 3 itu berpapasan dengannya di dekat pintu, dan dari ekspresinya yang tidak memedulikan sekitar itu membuat Shasha yakin jika kepribadian gadis itu lumayan keras.
Lepas dari Talitha, fokus Shasha kembali pada Daniel yang sedang menundukan kepala—frustrasi.
"Dan,"
"Ini semua gara-gara Diandra! Dia yang selalu membela anak-anak dari para donator sekolah. Jadinya mereka besar kepala dan tidak punya rasa hormat!" Daniel mengusap wajahnya dengan telapak tangan.
"Talitha itu masih ada hubungan darah sama kamu? Dia manggil om 'kan?" tanya Shasha hati-hati.
Daniel menggeleng, "nggak. Tapi aku sama orangtuanya memang sedekat itu—ya, dalam urusan bisnis. Jadi, dia berani."
Shasha tidak lagi menjawab karena dia tidak mau mengusik lebih dalam, ini sudah termasuk hal pribadi.
"Ayo, aku antar ke ruang guru. Sebentar lagi jam pulang," putus Daniel pada akhirnya. Dia juga tidak terlihat mau untuk membahas masalah Talitha lebih panjang. Maka Shasha hanya kembali mengekori langkah Daniel.
Mereka tiba di ruang guru. Di sana cukup ramai karena banyak yang mengisi. Ruangan cukup luas dan lagi-lagi fasilitas di dalamnya tidak main-main. Tapi untuk sekarang Shasha sudah tidka lagi terkejut.
Daniel mengajaknyan untuk bicara pada guru-guru, mempernalkannya juga menunjukan di mana mejanya berada.
"Ini meja kamu. Kamu boleh ngisi rak-rak kosong di sini sama barang yang sekiranya kamu perlu, komputer ini juga bisa kamu akses atas nama kamu, dan semua dokumen yang kamu buat nanti dijamin aman. Ini nomor-nomor yang sekiranya bakalan kamu butuhin, jadi kamu gak perlu jalan-jalan keluar kalau kamu butuh atau mau nyari sesuatu, " jelas Daniel panjang lebar.
"Okay, terima kasih," balas Shasha yang sekarang sudah mulai sibuk melihat-lihat barang yang ada di mejanya. Yang benar saja, ini semuanya baru. Dari mulai meja, kursi, rak, map, bintex, bindek, bahkan satu unit komputernya juga? Gila.
"20 menit lagi jam pulang, mau bareng?" tanya Daniel.
Shasha melirik ke arah pria itu sebentar, lalu kembali sibuk. "Aduh, kayaknya enggak deh, Dan. Aku mau nulis daftar barang-barangku. Juga aku mau mulai nyusun rencana. Kayaknya aku mau kumpul sama Azka sama Kemilau juga sepulang sekolah. Kamu bisa pulang duluan, gausah nungguin aku," kata gadis itu.
Ternyata, Shasha punya rencana lain. Saat semua guru pulang, ia masih menyendiri di dalam ruang guru, otaknya terus memikirkan segalanya. Ia kembali lagi membuka catatan yang Azkara berikan.
Data tentang Thalita cs ada disana, "Aku akan merekrut Azkara, Kemilau, Thalita dan ... aku belum tau yang lain," lirihnya, tubuhnya merosot dan menyandarkan punggungnya pada kursi empuk ini. Memejamkan matanya lagi, ia tau di awal-awal ia akan banyak menyiksa otaknya untuk memikirkan semua metode penanganan untuk masalah ini.
Tiba-tiba saja matanya terbuka dan berbinar-binar. Shasha pun berdiri, mulai menjelajah seisi ruang guru ini dan senyumannya merekah saat mata jelinya menangkap tumpukan majalah sekolah. "Itu dia, yang berpengaruh dan populer," gumam Shasha, melangkah penuh semangat menuju rak buku.
Itu bukan buku tentang solusi penanganan masalah di sekolah ini, tapi buku ini bisa ia gunakan ia sebagai referensi untuk merekrut para siswa yang ia inginkan. Oh, iya rencana Shasha yang hanya diberi waktu selama 3 bulan adalah mendirikan sebuah club yang bisa mengubah semuanya. Menjadikan sesuatu yang tak mungkin menjadi mungkin.
HAPPY CLUB
Itu nama yang sudah Shasha rancang dan di dalamnya semua membernya adalah para siswa yang memiliki pengaruh disekolah ini, logikanya jika kita ingin perubahan besar maka kita harus merekrut orang kuat yang bisa memberikan dampak kepada semuanya. Seperti sebuah strategi permainan catur dan Shasha yang akan menggerakkan mereka. Hanya saja, bagaimana cara untuk merekrut dan siapa saja yang akan ia rekrut itu masih berputar-putar dalam benaknya.
Majalah sekolah, kini sudah di tangan Shasha dan dengan tak sabar ia membukanya. Halaman pertama, disana terdapat visi-misi sekolah seperti pada umumnya. Halaman kedua, berita tentang prestasi yang telah di capai, ada foto Daril yang seperti cover boy. "Wih, ada yang cakep juga, tapi mukanya kok radak mirip Daniel sih? Daril Adilaga, loh kayak marganya keluarga Daniel? Ah, ini pasti ponakan Daniel. Penghargaan banyak juga, ikutan olimpiade kimia fisika? Tapi wajahnya dingin kayak kak Diandra, mungkin jeniusnya kayak papanya. Yes, aku dapat satu," kata Shasha yang terus berbicara pada dirinya sendiri.
Kemudian, Shasha membuka halaman berikutnya dan ia menemukan wajah muridnya yang tak kalah tampan dan cool, Gerral. "Kapten basket, dia akan digemari oleh banyak siswi. Gerral Mavin Tan, sepertinya ia perlu ku rekrut juga. Disini juga ada team cheer up? Gebby Felixia Tan? Cantik dan energic," gumam Shasha, ia terlihat seperti seseorang penggemar yang sibuk mencari info tentang idolanya. "Mereka bersaudara? Ah, pantas wajahnya sama-sama oriental." Shasha juga menemukan fakta lain di tulisan terakhir itu jika kedua siswa menarik ini adalah saudara. "Aku harus merekrut mereka." Lagi-lagi Shasha tersenyum.
"Ayo kita lihat, masih ada kah disini sesuatu yang menarik?" gumamnya yang terus membuka lembar-perlembar majalah sekolah. "Pemenang kompetisi cerdas-cermat? Faizal Rahardi? Kelas 10? Sepertinya ia akan menjadi penengah disini." Dan Shasha mulai menggerak-gerakkan jarinya sambil berpikir.
"Okay 7, jadi ada 7 orang dan aku akan mulai operasi ini. Hanya perlu bilang ke Daniel dan ia harus membantuku untuk memikirkan bagaimana cara merekrut mereka." Akhirnya Shasha bisa juga bernapas lega.
-Tbc-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top