episode pertama



episode pertama

YOU'RE ALWAYS WELCOME TO EAT ME.


Don't get me wrong. I like sex... a lot.

But it's never going to replace cake.

[ELEVEN ON TOP JANET EVANOVICH]


2019

Nggak ada angin, nggak ada hujan, Eat Me dikunjungi oleh tantenya Mirza.


The trouble comes in a pink package.


Serius. Pink dari ujung kepala sampai ujung kaki.


Mirza bilang, tantenya itu kayak di episode Marge Simpson yang bela-belain beli stelan Chanel saat diundang bergabung ke country club. Tapi selang beberapa detik setelah melihat beliau muncul dari balik pintu kaca kafe mereka, Araminta langsung teringat Dolores Umbridge, karakter antagonis yang paling dia benci dari semua film Harry Potter. Atmosfer pretensius beliau begitu kentara dari tempatnya berdiri; trainer set Gucci yang sewarna dengan tas pinggangnya, sneakers pink metalik dengan aksen kristal yang sumpah norak banget (belakangan dia tahu monstrosity itu bermerek Gucci juga), perhiasan rantai emas yang mencuat dari balik karet kerah dan karet lengan trainer-nya, dan yang paling parah adalah parfum si tante yang membuat beliau seperti gulungan besar aroma melati. Araminta nggak pernah terganggu dengan aroma sampai hari itu. Saking nggak sukanya, dia refleks mundur dua langkah dan sempat terpikir untuk menutup hidung. Oof!


"Welcome to Eat Me—Tante?" Tatapan Mirza beralih dari meja kasir yang sedang dia bersihkan. Sahabatnya itu tampak benar-benar terkejut dengan kedatangan kerabat mamanya itu. "Ada angin apa dateng kemari?"


"Katanya kamu punya kafe di sekitaran daerah sini. Kebetulan Tante lewat, sekalian mampir aja."


"Oh, gitu ya, Tante. Makasih lho udah dateng." Merasa itu bukan urusannya, Araminta memutuskan untuk meninggalkan Mirza berdua saja. Tapi Araminta nggak sengaja—sesuatu yang dia sesali kemudian—melihat wajah stres Mirza. Dia nggak mengerti kenapa, tapi itu alasan yang lebih dari cukup untuk tinggal demi sahabatnya itu.


Mirza mempersilakan tantenya duduk. Bukannya menurut, beliau malah langsung keliling-keliling Eat Me. Melihat-lihat dekorasi interior kafe dengan ekspresi judgmental.


"Pssst, pssst," bisik Araminta menyikut Mirza pelan, "Do we like her?"


"No one likes her," balas cowok itu seraya menggeleng. "Di keluarga besar, terkenal sombong karena tajir berat. Sepuluh tahun lalu, tanahnya di Tebet dibeli sama Agung Podomoro buat proyek apartemen mewah. Tante gue langsung kaya mendadak, duitnya dibeliin rumah mewah, mobil BMW, dan lain-lain. Mama aja bilang dia selalu ngusahain duduk sejauh mungkin dari si tante."

"Oof, that bad?"


"Makanya lo please temenin gue di sini. Gue takut dia kemari mau nyindir gue karena baru-baru ini gue coming out ke keluarga gue."


It was a big moment for him. Bahkan sebelum memutuskan coming out pun, Mirza sempat terpikir kedua orangtuanya akan menentang, or even worse: mencoretnya dari daftar keturunan mereka. Tapi ketakutan sahabatnya itu nggak terbukti sama sekali. Kedua orangtuanya sangat suportif dengan pengakuan putra satu-satunya itu. Bahkan mamanya bilang, dia bersyukur banget Mirza memilih jujur ketimbang menyimpan beban itu seorang diri. Anak salah satu teman arisannya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya karena depresi. Belakangan orangtuanya tahu, depresinya itu bersumber dari tekanan orangtuanya yang ingin putrinya itu kembali 'normal'. Lebih baik Mama punya anak gay daripada kehilangan kamu sama sekali, kata beliau sambil berurai air mata.


Araminta menaikkan sebelah alisnya, sempat nggak percaya. Tapi kemudian Mirza berkata, sambil menunjuk beliau dengan lirikan tajamnya, "C'mon, ain't it obvious. Kalung salib yang ukurannya sebelas dua belas sama salib Yesus di Bukit Golgota kurang obvious apa nandain dese berpotensi gede homofobik juga?" Mirza menatapnya dengan pandangan memohon. "Pretty please?"


Araminta mengangguk mantap.


"Nggak pa-pa nih kalo kafenya sepi kayak gini?" tanya si tante out of the blue.


"Tan, kafenya kan baru buka lima belas menit yang lalu. Staf kami juga masih beberes." Mirza menyodorkan buku menu berlogo Eat Me di sampul hardcover-nya. "Mau pesen sekarang, Tan? Nanti aku kasih diskon deh! Itung-itung gantinya Tante nggak bisa dateng pas opening dua minggu lalu."


Entah itu sindiran atau apa, nggak jelas juga. Araminta nggak bisa memastikan dari Mirza yang sedang tersenyum semanis sakarin di hadapan tantenya itu.


"Oh iya. Waktu itu Tante lagi di Penang, nemenin Om kamu check-up di sana."


"Si Om baik-baik aja kan, Tan?"


"Baik kok, baik." Tante manggut-manggut. Sejurus kemudian dia berkata lagi, "Ngomong-ngomong, nggak tahu diterusin ke kamu atau nggak, Tante pernah titip pesan sama mama kamu."


Mirza memiringkan kepalanya. Bingung. "Pesan apa ya, Tan?"


"Tante bilang, aduh si Mirza nggak usah cari penyakitlah buka kafe baru di tengah ekonomi sulit kayak gini." Araminta bisa mendengar suara helaan napas Mirza. Mendadak lega karena si tante sama sekali nggak menyinggung soal orientasi seksualnya. "Kenapa nggak bisnis makanan berat aja gitu, macam ayam geprek atau apalah yang orang Indonesia banyak suka. Ngomong-ngomong, baru-baru ini ada kenalannya kenalan Om kamu yang bikin usaha ayam geprek di Tangerang, wuih, kurang dari setahun udah punya empat cabang. Total orderannya selalu di atas dua ribu sehari. Gila banget ya?"


"Terus Mama bilang apa waktu itu?"


"Senyum aja. Kayaknya mama kamu juga sepemikiran dengan Tante."


"Kayaknya nggak mungkin deh, Tante." Meskipun masih sambil tersenyum, Araminta mengenali intonasi defensif dalam suara sahabatnya itu. "Aku kenal Mama sebaik Mama kenal aku sejak kecil. Dan beliau juga tahu, sedari dulu aku nggak pernah sembarangan ngambil keputusan. Mendirikan kafe yang membutuhkan modal gede jelas nggak bisa karena iseng atau buat lucu-lucuan."


"Lima tahun terakhir aku kerja di restoran hotel sebagai pastry chef, dan partner bisnisku ini bisa dibilang kehilangan terbesar manajemen saat memutuskan untuk resign dari Figaro's." Figaro's adalah restoran high-end, berlokasi di lantai tiga sebuah mall besar di Kelapa Gading. "Kami sama-sama punya passion yang sama soal pastry dan cake, jadi kenapa nggak kerja sama bikin usaha bareng aja? Long story short, setelah nyatuin modal dan riset tempat di sekitaran Jakarta Selatan, akhirnya kami mutusin buat buka kafe di sini."


Si tante tampaknya kecewa, sepertinya dia berharap bisa menjatuhkan mental Mirza atau apa. But, thank God, setelah itu dia akhirnya duduk juga. Dia membolak-balik halaman buku menu yang disodorkan oleh Mirza sejurus kemudian.


"Kalo sukanya kue-kuehan gitu, kenapa nggak buka bakery aja?" tanya si tante tanpa mengalihkan pandangan dari buku menu. "Kenapa kafe?"


"Seperti yang aku bilang tadi, Araminta—partner bisnisku ini—lumayan lama kerja di Figaro's. Salah satu hal yang dia pelajari selama kerja di sana adalah kecenderungan anak muda senang menghabiskan waktu berjam-jam di kafe. Entah sambil mengerjakan tugas kuliah, membaca, atau simply menikmati suasana, kami menarget konsumen yang seperti itu di kafe ini. Makanya, mulai dari dekorasinya yang Instagrammable, playlist musik yang sesuai dengan vibe yang kami bangun, sampe pilihan makanan dan minuman yang tersedia di buku menu, semuanya dipikirin masak-masak sebelumnya, Tan."


"Jadi kamu yang namanya Araminta?" tanya beliau seraya menatapnya yang berdiri jauh di belakang Mirza.


"Iya, Tan."


"Semua makanan kamu yang bikin berarti? Atau ganti-gantian?"


"Aku dan Mirza bagi tugas, dia bertanggung jawab atas minuman dan berinteraksi dengan konsumen, aku dan staf kerja di dapur."


"Berarti lebih baik kamu dong ya yang ngerekomendasiin cake yang cocok buat teman minum teh?" Beliau menoleh ke arah keponakannya. "Za, chamomile tea-nya satu ya. Ngomong-ngomong, kamu ada gula jagung atau apa gitu? Tante lagi berusaha ngurangin berat badan nih."


"Cek aja halaman tiga, Tan. Semua yang ada di situ khusus buat yang lagi diet dan diabetes. Kami make stevia sebagai pemanis alternatif—nol kalori lho, Tan."


"Oh ya? Boleh deh!"


"Siap, Tan. Kamu temenin tante aku bentar ya."


Araminta melotot. Matanya semakin membulat ketika menyadari Mirza cengar-cengir saat pergi—Sialan! Dia nyelametin dirinya sendiri, batinnya.


"Kok nggak ada cake di halaman diet ini?"


"Karena meskipun gulanya diganti pun, tetep nggak bisa dipromosikan sebagai makanan diet karena bahan tepungnya. Coba cookies kami deh, Tan." Araminta mendekat untuk menunjuk ke arah foto-foto artistik cookies yang mereka jual di Eat Me. "Semua cookies di halaman tiga ini dijamin bebas gluten. FYI, konsumen kami paling suka sama oatmeal cookies dan snickerdoodle."

Tante mendengus. "Duh, kalo cookies doang mending di rumah aja. Tante kepengennya cake."


"Kalorinya lumayan lho, Tan. Yakin?"


"Ah, paling berapa sih. Tiga ratus sampe lima ratusan kalori kan? Sejam di treadmill juga kebakar semuanya."


Araminta menaikkan alis. No tea no shade, dilihat dari tubuh si tante, nggak percaya banget beliau tipe yang betah berkeringat di treadmill, apalagi sampai satu jam!


"Tante suka yang kayak gimana, semua cake yang dijual di sini make resep orisinal Eropa! Cake tradisional atau modern? Yang teksturnya fluffy atau banyak icing-nya? Yang nggak seberapa manis atau malah yang manis banget?"


"Kalian punya itu semua? Tante kira jenis cake-nya nggak seberapa banyak ragamnya."


"Our cake is famous, Tan. Sebelum buka, aku dan Mirza sempet buka preorderan cake di Shopee—namanya Eat Me, yang belakangan jadi nama kafe ini juga. Yang mesen lumayan banyak, Tan. Makanya begitu konsumen kami di Jakarta tahu kami buka kafe, mereka rajin banget mampir kemari buat beli cake kesukaan mereka. Malah ada yang bela-belain dateng dari Tangerang lho, Tan."


Si tante benar-benar kaget. Or impressed? Araminta berharap yang kedua. "Masa? Makin penasaran nih Tante, pengen tahu cake macam apa yang bikin orang rela dateng jauh-jauh kayak gitu."


"Pembeli kami yang orang Tangerang itu selalu mesen buccellato, Tan." Kernyitan dalam di kening beliau menandakan dia belum pernah mendengar nama cake itu sebelumnya. "Bahan-bahannya ada madu, marsala wine, adas manis, dan kismis—cek halaman lima, Tan, kalo pengen liat bentuk cake-nya."

"Pake wine? Berarti nggak halal dong?"


"Kan ada warning sign-nya, Tan—tuh liat." Araminta menunjuk ikon di sudut foto dengan telunjuknya. "Non-halal. Kalo ada ikon bintangnya, artinya favorit konsumen kafe ini. Sedangkan ikon chef ngacungin jempol ini, rekomendasi aku dan Mirza."


"Tante mesen yang kalian rekomendasiin deh." Matanya kembali jatuh pada buku menu. "Ini!" serunya kemudian. "Euh, gimana nih nyebutnya? Bu... Bu...."


"Budapestlängd, Tan?" tanya Araminta memastikan.

"Iya. Yang itulah pokoknya. Susah banget sih nyebutinnya—kenapa nggak diterjemahkan aja sih," gerutu beliau.


"Karena memang dikasih namanya begitu di Swedia sana, Tan. Roll cake ini merupakan kombinasi hazelnut dan meringue, berisi krim kocok dan potongan buah peach, aprikot, dan jeruk mandarin. Asem manis seger gitu. Tante bakalan suka deh," jelas Araminta.


"Suka atau nggaknya, kan hak pembeli sepenuhnya. Nanti kalo udah nyoba dan beneran enak, baru deh pantes dapet pujian dari Tante." Beliau nggak lupa menaikkan sudut bibirnya—ugh, lagi-lagi Araminta merasakan vibe Dolores Umbridge menguar dari tantenya Mirza itu. "Pesen yang buda-apalah itu satu ya."


"Baik, Tan."



--

Do you like it or like it? Wkwkwkwk!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top