episode kedua
episode kedua
SEBELUM KAU MEMAAFKANNYA,
INGAT-INGAT DULU SUDAH BERAPA LAMA
DIA BERBOHONG PADAMU.
—
All the real blokes I know are obsessed with cars
and have started doing cycling at the weekend
and being really, really boring about it
and banging on about their Fitbits and growing stupid beards
and talking about being on Tinder.
That's what all the 'real men' are like these days!
[THE LITTLE SHOP OF HAPPY EVER AFTER — JENNY COLGAN]
—
2020
Memang sih, mereka nggak harus jualan ayam geprek, tapi Eat Me nggak bisa dibilang sukses juga. No, ini bukan masalah modal maupun rasa percaya diri. This is a 2020 problem, a global pandemic to be exact.
Pengumuman PSBB benar-benar pukulan besar bagi bisnis mereka. Meskipun usaha makan tetap diperbolehkan buka selama itu, karena Eat Me lebih ke tempat nongkrong, ketiadaan pengunjung membuat mereka terpaksa memutuskan untuk menutup kafe. Mereka pun mengandalkan sumber pemasukan dari penjualan cake via Shopee. But again, pandemic changed the consumers' behavior. Terbatasnya pemasukan dan fakta bahwa cake bukan sesuatu yang orang-orang prioritaskan selama PSBB, penghasilan dari itu pun hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Ketika PSBB akhirnya berakhir, Araminta mengira ini adalah kesempatan kedua bagi mereka. But, no. Bisnis masih lesu dan angka pasien yang tertular COVID-19 terus bertambah setiap harinya, jadi orang-orang masih terlalu parno untuk keluar rumah dan dine in seperti dulu. Dan kalau itu saja nggak cukup buruk, PSBB part two was happened. Kali ini, dengan berat hati, mereka harus memberhentikan karyawan. Memang PSBB kali ini nggak selama yang sebelumnya, tapi kondisi keuangan mengharuskan mereka untuk membobol rekening masing-masing. Mau nggak mau, demi memperpanjang kontrak kafe.
Isi rekening Araminta bisa dibilang sekarat-nyaris-putus-nyawa setelah itu. Dia punya tabungan yang lumayan sebelum pandemi, tapi sebenarnya itu tabungan untuk keperluan darurat. Syukurnya masih aman di rekening sampai sekarang, selama pandemi belanja baju dengan harga diskon pun harus mikir-mikir.
"Semoga kita bisa bangkit setelah semua yang terjadi tahun ini," kata Mirza dengan suara optimis. Meskipun menjawab 'amin', dia maupun Mirza pun tahu keadaan sekarang masih jauh di bawah saat Eat Me launching tahun lalu. Zero karyawan, masih belum berani meng-hire yang baru karena nggak bisa memprediksi kondisi sampai 2020 berakhir. Jadi untuk sementara, Araminta dan Mirza-lah yang mengerjakan segalanya.
Err, Urbano juga deng.
Cowok itu menawarkan diri untuk membantu karena dirinya sendiri juga pengangguran abis selama pandemi ini. Nggak hanya jadwal syuting, dia juga harus membatalkan rencana backpacking ke negara-negara di Asia Tenggara bersama empat orang temannya. Jadi ya bisa dibilang Urbano adalah karyawan mereka satu-satunya, meskipun nggak digaji barang sepeser pun. Tapi ya, cowok itu—karena nggak ngerti cara bikin cake maupun cara mengoperasikan mesin espresso—tetap menganggur juga di sini. Nggak beda dengan menganggur di apartemennya dan Mirza. Kayak sekarang gitu, dia duduk di kursi terjauh dari pintu masuk, tampak khusyuk bermain Free Fire di handphone-nya.
"Ngomong-ngomong, apa kabarnya si Raymond?" tanya Mirza, menyemprotkan disinfektan ke permukaan kursi dan meja, lalu membersihkannya dengan kain lap.
Sebelum bercerita tentang Raymond, ada baiknya dia menjelaskan dulu tentang gimana ceritanya dia bisa mengenal cowok itu.
Tinggal di rumah selama berbulan-bulan nggak hanya membosankan, juga bikin stres. Beberapa orang memutuskan untuk mengisi waktu dengan mempraktekkan resep dalgona coffee dan banana bread, ada yang belajar merajut juga... sedangkan Araminta mencoba Tinder untuk pertama kalinya. Sebelum pandemi, dia selalu menganggap orang-orang yang mencari jodohnya lewat dating app adalah pecundang. Nggak hanya pecundang deng, di mata Araminta juga tampak menyedihkan. "Kita kan tinggal di Jakarta, ketemu banyak orang setiap harinya. Kenapa nggak berusaha nyari pasangan IRL—in real life—ketimbang dari profil di Tinder."
Dan berdasarkan pengamatannya dan cerita teman-temannya, Araminta semakin yakin kalau dating app membunuh romance. "Heh? How come?" bantah Mirza yang, ngomong-ngomong, kenal Urbano lewat dating slash hooking app khusus gay.
"Gini ya, Mas Mirzaaa... dulu, sebelum dating app ada, jatuh cinta rasanya lebih spesial. Kamu nggak tahu segala sesuatu tentang orang yang kamu suka berdasarkan yang mereka tulis di profil mereka, you actually have to interact with him to know all about him. Nggak hanya itu, bertanya dan bertukar informasi tentang pribadi masing-masing juga membuat hubungan semakin dalam. Kesamaan hobi dan makanan kesukaan bikin kamu terkoneksi dengan dia, perbedaan justru nggak menciptakan jarak melainkan kesempatan untuk mengenal satu sama lain. 'Oh, jadi band favoritnya My Chemical Romance. Jadi kepengen dengerin juga deh, kali aja malah ikutan ngefans.'"
"Nggak hanya itu, bertanya menciptakan interaksi dan komunikasi. Entah itu hanya lewat surat, mendengar suaranya lewat telepon, atau mengajak orang itu berkencan, pada akhirnya interaksi itu membuat kamu semakin yakin tentang perasaanmu padanya. Or, even better, whether you love him or not. Interaksi juga menciptakan kangen, rasa pedih yang addicting ketika orang itu nggak bisa lepas dari pikiran kita. Nyari pasangan lewat dating app memang terbukti memperluas kesempatan ketemu dengan calon pasangan—but is it the right way?"
"Uhh, yeah?" But again, gay dating punya aturan berbeda dengan straight dating. Pengalaman Mirza dan Urbano, misalnya. Mereka sudah tidur beberapa kali (termasuk sesi light BDSM dengan fuzzy handcuff yang dibeli Mirza dari online sex store di Instagram) sebelum akhirnya sampai pada kesimpulan kalau mereka care satu sama lain. Atau, make istilah pasangan berbahagia itu: going exclusive. Artinya, nggak ada lagi ceritanya having sex dengan orang asing. All they need are each other now.
"Noooooo! Dating app bikin kita semakin sinis dan kasar; menilai orang hanya berdasarkan hal-hal fisik dan profilnya. Nggak hanya hal-hal krusial—macam perilaku kasar, rasis, dan seksis—tapi juga hal remeh temeh. Kayak siapa itu, konsumen kita yang pernah bilang kalo dia selalu nge-swipe left cowok-cowok yang majang foto nge-gym di profil Tinder-nya karena menurut dia mereka tipe high maintenance yang cuman care sama penampilan luar."
"Dan di mana letak romantisnya dating app yang mendorong orang untuk memperlakukan orang lain sebagai obyek transaksi? Yang ujung-ujungnya bikin lo merasa harus berbohong supaya disukai? Mulai dari berbohong soal umur, berat badan, bahkan wajah mereka sendiri."
Mirza mengamini dengan anggukan mantap. Sering ngalamin, soalnya. Nggak terhitung berapa kali dia dikecewakan orang-orang yang aslinya berbeda dengan foto profil. Entah karena menusir ini-itu dengan aplikasi foto, atau sekalian berbohong dengan foto orang lain—bikin pengalaman dating-nya terasa nggak jauh beda dengan episode Catfish. "Nggak ada bedanya kan nge-date lewat dating app sama jualan online? 90% keberhasilan terkait dengan kualitas foto lo. Beda banget dengan dulu, ketika lo harus melatih beberapa skill dasar sebelum dinyatakan 'siap' berkencan: kesopanan dan percakapan, kecerdasan emosional dasar, kontak mata, dan mampu membaca bahasa tubuh lawan bicara." Bagian terakhir nggak berasal dari otaknya sendiri. Penulis self-help Manoush Zomorodi pernah bilang begitu di salah satu wawancaranya.
"Jadi intinya lo nggak bakal nyobain online dating nih?"
"Nope. Mending terus jomblo deh daripada ikutan pathetic kayak orang-orang kebanyakan di app itu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top