*

Araminta bukannya nggak suka anak kecil, tapi entah kenapa bocah-bocah itu seperti dirasuki sesuatu begitu masuk Eat Me. Jarang banget tuh yang duduk manis di sebelah orangtuanya, menikmati cake pesanannya tanpa mengganggu kenyamanan pengunjung lain. Seringnya ya kayak yang Araminta bilang tadi, seperti butuh jasa exorcist. Lari-lari sambil teriak seolah dunia ini milik orangtuanya saja, berusaha memegang barang-barang dekorasi dengan tangan lengket basah mereka, dan malah pernah tuh yang level dajjal sampai manjat-manjat jendela. Terus, bingung juga harus bereaksi seperti apa di tengah chaos kayak gitu. Dia maupun Mirza sama-sama nggak berani menghardik atau menyuruh mereka mengecilkan volume suara, tapi yang punya anak pun biasanya anteng-anteng saja melihat kelakuan mereka.

Araminta menarik napas panjang. Seandainya saja Mirza pulang barang lima, sepuluh menit lagi, gue nggak harus berurusan sama pengunjung yang ini, keluhnya dalam hati.

"Kamar mandi di mana ya?" Tipikal ibu-ibu muda yang gaul; sweater dengan tulisan Escape besar-besar di dadanya, celana palazzo dan ankle boots yang sesekali mengintip dari baliknya. "Anak saya kebelet nih!" ucapnya lagi, masih dengan nada ketus.

"Hanya untuk konsumen, Bu," jawabnya pelan.

"Kok gitu sih?! Kamu nggak kasihan sama anak saya?" Araminta refleks melirik anaknya. Cowok itu sibuk bermain game online sambil ngemut permen lolipop. Nggak ada kebelet-kebeletnya sama sekali.

"Maaf, Bu. Apa boleh buat, bos saya instruksinya begitu." Tips dari Mirza, yang selama bekerja banyak berurusan dengan konsumen beragam kepribadian (dan kalau 'beruntung', memiliki beberapa kepribadian sekaligus). Dia pernah ngajarin, di situasi seperti ini, bilang aja lo hanya karyawan. Beberapa ada yang justru lebih judes ketika tahu lo pemiliknya.

"Ugh, kapitalis banget sih bos kamu!" Ibu Sweater Escape mendengus bete. "Fine. Cake yang itu deh!" perintahnya tanpa melirik ke arah Araminta, malah asyik chatting dengan handphone-nya. Araminta bukannya tipe yang pasrah-pasrah saja ditindas konsumen. Tapi alih-alih kepengen marah, dia malah bingung ketika mendengar kelanjutan ucapan si ibu, "Nggak ada kacangnya kan? Anak saya alergi."

"Bu, gimana ceritanya bisa nggak ada kacangnya? Literally, namanya 'almond cake.'" Araminta mendengar suara dengusan pelan dari cowok yang mengantre di belakang si ibu. Enak ya ketawa di atas penderitaan gue, sindir cewek itu dalam hati. Meskipun bisa dimengerti juga sih. Dia juga bakal ketawa ngakak juga kalau menyaksikan kelakuan ajaib ibu-ibu kayak gini.

"Ibu pesen yang lain aja ya. Chocolate cake, carrot cake, lemon cake—yang aku sebutin tadi nggak ada bahan kacang sama sekali."

"Yakin kamu?" Wajahnya merona dan sama sekali bukan karena blush yang dipakainya. "Kalo anak saya kenapa-napa, saya bisa tuntut kamu dan kafe ini lho!"

"Seratus persen yakin, Bu. Saya yang bikin soalnya."

"Oh." Dia melambaikan tangan bergelang emasnya di udara, lalu menunjuk ke tray di rak paling bawah. "Carrot cake deh satu."

"Baik, Bu. Totalnya Rp 45.000."

"Nih, uangnya. Bungkus ya. Nanti saya ambil, bersama kembaliannya juga, kalo anak saya udah selesai." Bukan kata-katanya, melainkan gesture matanya yang naik-turun itu yang ofensif bagi Araminta. Seolah ingin bilang, lupain aja kalo lo mikir bakalan dapet tips dari gue. Mimpi lo!

"Belok kanan, lurus, belok kiri."

Kenapa nggak kaget ya itu ibu ngeloyor pergi saja, tanpa mengucapkan terima kasih.

Sabar, Ra. Sabar, batinnya sambil mengelus-elus dada. Orang sabar disayang Tuhan....

"Oh wow!" celetuk si cowok, sepeninggal si ibu. "Nggak kebayang deh rasanya jadi anaknya."

"I can. Nyokap gue juga kayak gitu orangnya."

Alis tebal cowok itu terangkat kompak. "Really? That's so... yikes!"

"Hahahahahaha, nggak seburuk itu kok." Sulit juga untuk meyakinkan sambil nyengir geli begini. "Still love her with every inch of my heart. Cuman ya, memang, kitanya harus yang lebih banyak ngalah dan dengerin beliau. Api jangan dibalas dengan api juga."

"That's a great tips. Bakalan gue inget."

Araminta tersenyum. Sepertinya dia bakal menyukai konsumen yang satu ini. One thing for sure, jelas berbanding terbalik dengan si ibu tadi.

"Mas sendiri mau pesen apa?" Araminta sendiri masih sibuk memasukkan carrot cake si ibu ke kotak putih dengan stiker Eat Me di bagian penutupnya.

Alih-alih menjawab, cowok itu malah berjongkok di depan kaca etalase. Menatap serius ke cake yang tertata rapi di setiap raknya. "Sebenarnya cuman mau kopi aja, black," akunya tanpa mengalihkan pandangan dari sana. "Tapi gara-gara ibu yang tadi, gue jadi ngeliatin etalase kalian dan tergiur pengen nyoba salah satu cake di situ."

"Silakan dipilih kalo gitu. Enak-enak semua lho, Mas!"

"Percayaaa!"

Sebenarnya, Araminta nggak pengen bilang begitu. Apalagi setelah dia tadi melirik jam digital di sudut kanan bawah layar komputer. Lima belas menit lagi saatnya untuk tutup. Harusnya dia bilang ke masnya untuk takeaway saja. Tapi... nggak tega. Apalagi setelah momen akrab beberapa menit yang lalu.

Selain itu, setelah dilihat-lihat lagi, masnya ganteng! Araminta biasanya turn off sama cowok berjenggot, apalagi yang lebat dan rada nyemak kayak punya si Tormud di Game of Thrones. Tapi entah kenapa, alih-alih terganggu, malah jadi alasan untuk terus-terusan mencuri pandang ke arahnya! Apalagi ketika berjongkok, celana jeans-nya mengetat bersama tubuhnya. Holy Mother of God, he got a seriously sexy pair of butts!

"Hmmpf, I'm really bad at this," ujarnya sambil berdiri. Oh my my, tinggi banget juga! Cowok itu sepertinya bule atau minimal blasteran, karena dia memiliki sepasang mata biru yang bisa dibilang dreamy.

Bisa dibilang dreamy?! protes suara hatinya. Those are deep blue eyes, Ra. Jenis mata yang berpotensi bikin cewek patah hati!

"Jadi apa dong solusinya?" tanya Araminta sambil membasahi bibirnya.

"Kayaknya mending lo deh, Mbak, yang ngasih rekomendasi."

Araminta berkacak pinggang. "'Udah gede masih bingung milih sendiri? Gimana kamu bisa hidup mandiri nanti?'"

Cowok itu kaget sampai kehilangan kemampuan berkata-kata.

Araminta juga, awalnya. Dan sangat, sangat malu sejurus kemudian.

"T-that's a joke," jelasnya dengan wajah merah panas seperti lobster rebus. "My mom actually sounds like that."

Seriusan itu tadi becanda, Ra? Suara hatinya kini tertawa ngakak. No wonder you're single, bwahahahahahahahaha!

Mungkin bukan suara hati, Araminta menyimpulkan. Mungkin itu iblis berengsek yang sedang tinggal gratis di dalam gue.

"Hahahahaha, nggak pa-pa," suara tawa cowok itu menenangkan, menggema damai sampai ke relung hatinya paling dalam. "Untung lo langsung jelasin. Sempet deg-degan gue tadi."

"Soriii!"

"Dimaafin," kata cowok itu, masih tersenyum. "Tapi ada syaratnya: you pick the best cake for me." Dan sebelum Araminta bilang nggak, dia langsung meletakkan dua lembar seratus ribu di atas meja kasir. "This is my money. Nanti aja kembaliannya, pas nganter kopi dan cake pilihan Mbak."

"Gue kan nggak tahu seleranya Mas." Nama Mas juga, lanjut Araminta dalam hati, lahir tanggal berapa, udah punya pacar atau belum....

"Nggak pa-pa. Gue percaya kok sama Mbak."

"Kalo gue sengaja ngambil yang mahal?"

"That's the risk I'm willing to take."

Sepasang mata biru itu menatap Araminta lekat-lekat, seolah bisa melihat langsung ke dalam jiwanya juga. Untuk pertama kalinya selama hidupnya di atas kerak bumi ini, dia nggak bisa membalas dengan nggak kalah flirty-nya.

"O-okay then. Silakan duduk kalo begitu."

"Thank you."

Mata biru, ditambah senyuman berlesung pipit kayak gitu? Syukur pada Tuhan Araminta nggak mati di tempat karenanya. 


--

Akhirnya ketemu jugaaaa ><

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top