[01]

Kau menggigit bibir, mengumpat kesal selagi memandangi langit yang mulai menggelap di atas sana- seolah menghina segala usahamu yang berakhir sia-sia. Seperti mencoba memindahkan pasir di pantai. Membuat kedua tangan dibanting pada pagar pembatas dengan emosi memuncak.

"Kau akan menghancurkannya?"

Saliva ditelan, kau menoleh hanya untuk mendapati seorang pemuda dengan seragam serupa. Jaket cokelat dengan dasi yang masih terpasang rapih, hanya rambut hitam cokelat miliknya yang tampak berantakan. Seolah merupakan kesatuan yang lain. Kau mengerjap, berdeham pelan untuk mengusir rasa malu yang perlahan merayap naik.

Sial.

Apa dia mendengar teriakanmu sejak tadi?

"Kau mau bunuh diri?"

"Kau gila?"

Mendengar balasan dengan nada tinggi sarat akan perlindungan, dia tertawa. Membuatmu semakin mengerutkan kening, sudah melupakan segala hal yang terjadi beberapa saat sebelum ini. Terfokus dengan sosok yang berada di seberangmu.

Suna Rintarou.

Jika benar- dan kau hampir tidak pernah salah, Suna adalah salah seorang anggota klub voli yang diketuai oleh Si Jenius Shinsuke Kita. Sosok yang tidak dapat kau kalahkan seberapa keras pun usahamu.

Mengepalkan tinju, kau mendesah. Berbalik seraya menggerakkan kedua kaki untuk berjalan keluar dari tempat ini, dari neraka ini, menjauhi Suna yang tampak menyebalkan di matamu.

"Apa," perkataannya tergantung di udara, jika dia berniat menghentikan dirimu, maka Suna berhasil. Meski kau tetap memaku pandang pada pintu besi yang tidak jauh lagi di depan, siap untuk kembali bergerak kapan pun.

Terdengar suara napas. "Lu bisa tetep di sini," ucapnya, mematikan puntung rokok sebelum melintasimu yang masih berdiri diam. Memperhatikan sosok jangkung itu membuka pintu, mengabaikan deritan lantang antara besi dengan aspal kemudian menghilang. Ditelan kegelapan.

Kau menggigit bibir. Suna Rintatou akan selalu seperti pertanyaan. Muncul kemudian lenyap menyerupai debu. Selama ini Suna tidak pernah menonjol, tidak pernah menunjukkan diri ataupun banyak berbicara. Hanya tampak nyata ketika dipilih, ketika guru menunjuk lelaki itu menjawab sebuah pertanyaan- yang secara ajaib selalu dapat diatasi sekalipun menghabiskan sebagian besar waktu dengan terlelap.

Semula, kau mengkhawatirkan eksistensinya yang dapat mengancam keberadaanmu. Mengancam kedudukanmu saat ini, meski kekhawatiran itu lantas surut bersama keacuhan seorang Suna. Lenyap, digantikan rasa penasaran yang menjadi kosong.

Kau bukan pribadi yang konsisten. Bukan sosok yang dapat mengejar sesuatu yang tampak abstrak, sesuatu yang tidak memiliki ujung.

Dan, peristiwa yang terjadi detik ini, saat ini, merubah segalanya. Merubah keyakinan yang kau tanamkan dalam benak.

Benarkah Suna Rintarou telah lenyap dari benakmu?

▪▪▪

Begitu bel berbunyi dengan nyaring, hampir seluruh murid yang tersisa sudah mengangkat tas mereka, menyampirkannya dengan kecepatan meteorid yang melintasi atmosfer dan menyisakan jejak gas berupa meteor.

"Balik?"

Sahabatmu, Yachi, melemparkan senyum bertanya sebelum kau akhirnya menggeleng pelan sebagai jawaban. Menggaruk tengkuk dengan perasaan bersalah. "Maaf Chi, kayaknya gue mau ngerjain tugas dulu."

"Bareng aja," ucapnya sambil tertawa.

"Lu mau nyiapin buat lomba nanti 'kan? Lagian, ini materi yang mau gue dalemin lagi."

Yachi lantas mengangguk mengerti. Mengepalkan tangan membentuk tinju lalu menggerakkanya di udara. "Semangat!" Kemudian, gadis bersurai kuning yang dikuncir menjadi satu itu berjalan cepat meninggalkan kelas. Menyisakan dirimu dengan Suna Rintarou beserta Osamu Miya yang kali ini ditemani oleh Atsumu Miya.

Kau sempat memperhatikan mereka yang tengah berdebat, menatap langit kelabu sebelum menyampirkan tas dan beranjak keluar dari sana tanpa meninggalkan suara. Berusaha tampak tidak terlihat. Transparan.

Berjalan perlahan, menggiring langkah menuju kemana pun selain rumah kau berusaha menggenggam ponsel dengan sekuat tenaga. Kedua manikmu terfokus pada jalan yang terbentang di depan selagi mendengarkan alunan piano klasik melalui airpod milikmu.

Kemudian, aroma itu menyeruak. Memasuki indra penciuman, mengundang perhatian. Membuat bibirmu tertarik, mengangkat kepala, kau mengedarkan pandang seraya mencari sumber aroma kopi yang begitu menggugah di tengah buruknya suasana hati.

Tidak jauh dari sana, sebuah kedai kopi berdesain minimalis terletak di antara toko musik dengan buku. Begitu melangkah masuk, kau sudah dapat merasakan pahit bercampur manisnya kopi di indra pencecap sekaligus mengagumi desain interior yang menyatu sempurna. Menyukai bagaimana tanaman hijau menjalari dinding dengan baik yang ditemani beberapa kaligrafi kutipan novel klasik.

"Selamat datang."

Suara yang mengalun itu tidak asing. Menoleh, kau mendapati seorang pemuda dengan senyum tipis terukir di wajah. Dengan surai hitam putih miliknya ditutupi dengan topi cokelat berlogo kafe. Shinsuke Kita. Tidak mungkin kau tidak mengenalinya.

"Apa ada yang dapat dibantu?"

Kau masih mengerjap untuk beberapa saat, mencoba bangkit dari keterkejutan dengan seulas senyum kikuk. "Eh, aku." Membasahi bibir, kau melirik papan menu di belakang. "Americano, two shot."

Kita, seperti yang kerap diperbincangkan tidak banyak berekspresi, hanya mengangguk dan mulai menyentuh layar, menyebutkan nominal yang harus kau bayar lantas memintamu untuk menunggu.

Saat itu keadaan kafe cukup lengang, membuatmu dapat lebih bebas memilih tempat duduk. Menghampiri meja yang bersisian dengan jendela membuatmu dapat memperhatikan orang yang berlalu-lalang tanpa takut perhatian itu kembali seperti refleksi.

Menopang wajah, tanganmu mulai bergerak memainkan pena selagi memikirkan topik yang akan dibahas dalam essai tugas menyangkut masa depan.

New faces, I'm racin'

Suara petikkan gitar dengan suara dalam yang menyusul, berhasil memecahkan lamunanmu. Memancing perhatian, membuat kau menarik kurva membentuk senyum tipis. Entah karena kau sudah terlalu hafal dengan lirik lagu ini atau menyukai bagaimana suara itu terdengar mengisi kesunyian.

On foot but I'll never make it home
Six street of the occasion
Can't make any changes.

Menoleh, kau mencoba mencari siapa pemilik suara itu. Suara yang mengingatkanmu akan dinginnya musim hujan sekaligus betapa hangatnya secangkir kopi di bawah guyuran air.

Di sanalah dia dengan gitar dalam pangkuan. Bernyanyi dengan meletakkan seluruh jiwanya. Mengajak setiap orang yang mendengar ikut tenggelam dalam kisah yang disuarakan.

Kemudian, sebelum kau sempat berkutik, sempat melakukan apa pun, kedua obsidian kuning itu balas menatapmu.

Better dress up for the date night
For the date night.

Dan, untuk pertama kali, kau tersenyum pada Suna. Memandang tanpa pikiran lain yang terlintas. Sebuah senyum tulus tanpa makna. Tanpa keraguan yang senantiasa menghantui langkahmu. Lalu, tanpa kau menyangka, Suna membalas. Menarik sudut bibir yang kau pikir tidak dapat berubah.

Blue moon, in different phases
Blue moon, in different places.


CHAP ONE IS DONE!

so, how you guys think? semoga gak mengecewakan ya hehe.

perlu dilanjut atau sampai sini aja kira-kira?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top