[two]

Jonas tersenyum, kasus pembunuhan berantai. Ini tantangan tersendiri untuknya, ini akan jadi pencapaian baru kalau ia berhasil memecahkan misteri dua orang yang meninggal di hari kelahirannya.

Malam ini, Jonas tidak langsung pulang. Ia menunggu Salam yang akan memberikan kesaksian mengenai jasad Danny.

"Kau Detektif Jonas?" Tanya seseorang.

Jonas menoleh dan menemukan seorang pria di depan meja kerjanya.

"Salam?" Tanya Jonas. Pria itu mengangguk.

"Ayo!" Seru Jonas.

Ia bangkit dari kursi dan mengajak Pak Salam masuk ke ruang introgasi.

"Silahkan duduk, Pak!" Seru Jonas mempersilahkan Pak Salam.

"Terimakasih."

"Jadi, kau sudah tahu kenapa aku memintamu kemari, bisa langsung jelaskan saja bagaimana kondisi Danny saat kau menemukannya?" Tanya Jonas.

"Mungkin kau sudah mendengar awal cerita dari istriku, aku ke rumah Danny untuk mengambil palu yang ia pinjam beberapa hari lalu. Sekian menit aku mengetuk pintu rumahnya, karena yang aku tahu, Danny sering bangun siang, jadi kukira ia sedang tidur, aku memperkeras ketukanku di pintunya dan terus berteriak memanggil namanya,

"Karena ia tak jua membukakan pintu, aku kembali, namun tiba-tiba seperti ada angin lewat dan pintunya terbuka, aku berbalik, ku kira Danny akhirnya membukakan pintu. Tapi tidak ada siapa-siapa di balik pintu.

"Aku penasaran, Danny bukan tipe orang ceroboh yang lupa mengunci pintu saat malam hari, aku merasa ada yang janggal jadi kuberanikan diri untuk masuk, aku terus memanggil nama Danny tapi ia tak menyahut, aku menuju dapur karena kalau benar Danny yang membuka pintu, ia tak mungkin kembali ke atas, yakan?"

Jonas terlihat mengangguk. Ia sudah hafal denah rumah Danny, lantai bawah hanya ada ruang tamu, kamar mandi kecil, ruang makan yang bersebelahan dengan dapur, dekat dapur dan ruang makan ada tangga menuju lantai dua.

"Saat itulah aku menemukan Danny tergantung di dapurnya sendiri. Aku langsung keluar, memanggil istriku untuk menelefon polisi. Saat petugas datang aku izin untuk berangkat ke kantor, dan selebihnya kurasa kau yang lebih tahu detektif." Jelas Salam.

"Apa kau tidak melihat ada yang aneh di dapur saat kau masuk?" Tanya Jonas.

"Aku terlalu panik melihat Danny, aku tidak memerhatikan yang lain."

"Soal angin yang kau bilang membuka pintu rumah Danny, kau bisa jelaskan?"

"Itu angin teraneh yang pernah aku rasakan, kau tahu The Flash?" Tanya Salam.

Jonas mengangguk.

"Yaa, seperti The Flash berlari melewatiku, meninggalkan angin dari sisa-sisa langkahnya."

"Tapi kau tahukan The Flash itu hanya fantasi?" Kata Jonas.

"Yaa, aku tahu. Tapi aku hanya bisa menggambarkannya dengan cara seperti itu." Jelas Salam.

"Selain Danny, kau kenal salah satu dari mereka?" Tanya Jonas sambil memperlihatkan foto kelulusan Danny.

Salam menggeleng.

"Aku tak pernah melihatnya."

"Istrimu bilang, Danny sering membawa wanita yang berbeda ke rumahnya, kau juga tahu?" Tanya Jonas.

"Yaa, tentu saja aku tahu. Semua tetangga berjarak 3 rumah pasti tahu. Danny sering pulang malam, suara mobilnya sangat bising, lalu ketika suara mobil berhenti diganti dengan suara tawa wanita yang terdengar mabuk."

"Kalian para tetangga tidak merasa terganggu dengan itu? Adakah dari kalian yang melapor karena terganggu?"

"Oh ayolah, dia masih muda. Kami mengerti kebutuhannya, jadi kami menganggap itu hal wajar. Tapi kalau soal suara mobilnya, aku pernah menegurnya sekali, dan dia menolak karena katanya dia suka suara mobilnya."

"Lalu kau tidak keberatan dengan suara mobil itu?"

"Aku tidak terlalu mempedulikannya, aku memutuskan tidur menggunakan penutup telinga."

Jonas mengangguk. Sedari tadi ia membaca ekspresi Salam dan ekspresinya sangat tenang, ia menjelaskan dengan rinci.

"Baiklah, untuk sementara ini cukup dan jangan tinggalkan kota sampai aku menghubungimu kembali." Kata Jonas.

"Apa aku menjadi kandidat terduga pelaku?" Tanya Salam dengan nada tak percaya.

"Aku belum memutuskan, aku masih butuh info darimu." Jawab Jonas.

"Kenapa tak kau tanyakan sekarang?"

"Aku masih belum tahu, Salam. Terimakasih untuk waktumu." Kata Jonas.

**

Sepulang dari kepolisian, Jonas tak langsung pulang ke rumahnya. Ia mampir ke sebuah bar untuk minum. Ia butuh menenangkan otaknya.

Dia sudah punya rencana, besok ia akan pergi ke rumah Antoni yang berada di pinggiran kota. Ia akan bilang pada orang tuanya kalau kasus kematian anaknya dibuka kembali.

Pesanan minuman Jonas datang, ia langsung menyesapnya sedikit, membiarkan minuman tersebut menghangatkan tubuhnya. Terdiam, Jonas mulai berfikir, dia akan melakukan tugas ini sendiri atau akan meminta bantuan detektif lain. Karena sangat jarang kasus pembunuhan berantai yang dipecahkan oleh satu orang detekfif.

Jonas menyesap minumannya lagi, berharap alkohol dapat membantunya berfikir dengan jernih.

"Hallo!" Jonas menoleh, ada seorang wanita yang menepuk pundaknya.

Jonas mengamati wanita tersebut dari atas sampai bawah. Well, wanita ini masuk kriterianya. Rambut ikal sebahu berwarna coklat, tinggi dengan dada dan bokong yang lumayan berisi. Senyum wanita ini juga manis.

"Ya?" Sahut Jonas.

"Keberatan jika aku duduk di sebelahmu?" Tanya wanita tersebut.

"Silahkan." Hanya itu yang keluar dari mulut Jonas.

"Kau sendirian?" Tanya wanita tersebut sambil duduk di kursi sebelah Jonas.

"Yaa, seperti yang kau lihat." Jawab Jonas.

Wanita tersebut tersenyum lalu memanggil barista dan memesan minuman, sementara Jonas sudah membakar rokok dan asik menghisapnya.

"Kau mau?" Tawar Jonas.

Wanita di sebelahnya tersenyum dan mengambil sebatang. Lalu dengan sigap Jonas menyalakan api untuk wanita tersebut.

"Thanks!"

"Siapa namamu?" Tanya Jonas.

"Gina, kau?"

"Joe." Sahut Jonas.

Wanita tersebut tersenyum, pesanan minumannya datang dan ia langsung menyesapnya sedikit.

"Aku jarang melihatmu di sini." Kata Gina, berusaha membuka obrolan.

"Aku memang jarang kesini." Jelas Jonas, ia membuka sedikit jaket yang ia kenakan untuk menyimpan zippo orange kesayangannya itu di kantung dalam.

"Waw, a cops!" Seru Gina, ia melihat sekilas badge Jonas yang terselip di ikat pinggangnya.

Oh shit! Maki Jonas dalam hati.

"Apa yang dilakukan oleh seorang polisi di sebuah bar seperti ini?" Tanya Gina.

"Just drink." Jawab Jonas singkat.

Ia sudah malas bercakap-cakap dengan orang yang tahu profesinya. Ia malas mendapat lontaran pertanyaan seputar pekerjaannya. Lagipula, ia tipe orang yang suka mencari tahu, bukan tipe pencerita.

"Kau polisi apa?" Tanya Gina.

"Hanya polisi lalu lintas biasa." Jawab Jonas, berbohong.

"Tumben sekai polisi lalu lintas menggunakan lencananya ketika mengenakan baju biasa."

Jonas hanya senyum untuk menanggapi Gina. Dia detektif, dia tak perlu seragam untuk bertugas. Dia hanya perlu memakai baju sesantai mungkin, apalagi kalau sedang memata-matai, ia biasanya hanya memakai kaus dan celana pendek santai.

"Kau ada rencana untuk malam ini?" Tanya Gina.

Jonas menggeleng, ia merencanakan mabuk malam ini, lalu tidur nyenyak sampai besok pagi.

Gina menangkap kalau Jonas sepertinya sudah enggan berbincang dengannya. Ia diam.

Sementara itu, Jonas menenggak habis minumannya dan memesan minuman baru untuk membuat malam semakin panas. Jonas membakar rokok baru untuk mengisi jeda karena minumannya belum datang.

Jonas suka merokok sekalipun ia sangat tahu rokok tidak baik untuk kesehatan, tapi ia selalu suka sensasi ketika asap beracun itu masuk ke dalam tubuhnya, mampir sebentar lalu keluar lagi. Siklus aneh yang menyenangkan.

Minumannya datang, ia langsung menyesap minumannya. Sekilas, ia melirik Gina yang sedang asik mengetuk jari-jarinya ke meja bar.

"Kau kenapa?" Tanya Jonas.

"Aku hanya sedang bosan malam ini, aku datang kemari untuk menghilangkan suntuk. Tapi aku malah tambah bosan." Jelas Gina.

"Selain minum, kau punya rencana untuk mengusir kebosananmu?" Tanya Jonas.

Terlihat Gina menarik nafas panjang sebelum akhirnya menjawab pertanyaan dari Jonas.

"I plan get to somebody to take home with me and spend a whole night." Jawabnya.

Sebuah undangan, yaa Jonas ahli dalam memerhatikan seseorang. Ia melihat cara bicara Gina yang cepat dan jari-jarinya yang menggulung ujung bajunya. Ia gugup ketika mengatakan itu, itu bukan sesuatu yang biasa untuknya.

"Apa masalahmu sampai kau punya rencana seperti itu?" Tanya Jonas.

"Banyak, sampai otakku sudah jenuh untuk memikirkannya."

"Wanna get an amazing activity?" Tanya Jonas, ia menggunakan suaranya yang sangat menggoda yang biasanya hanya ia gunakan untuk merayu narasumber yang enggan buka suara.

"Sure!" Jawab Gina dengan suara lantang.

"Your place?" Tanya Jonas.

Gina mengangguk dan menarik lengan Jonas untuk segera pergi dari tempat ini. Jonas menahan sebentar, memanggil barista dan meminta bill untuk membayar tagihan mereka berdua.

Setelah Jonas membayar tagihan tersebut, Gina dengan semangat menarik lengan Jonas,

"My car!" Seru Jonas.

"Oh okay." Sahut Gina.

Jonas berjalan menuju mobilnya, menekan tombol unlock, namun ketika dia akan masuk Gina mencegahnya.

"Aku saja yang menyetir." Pinta Gina, Jonas setuju, kepalanya sudah terlalu pusing untuk menyetir.

Akhirnya Jonas memberikan kunci mobilnya pada Gina dan ia sendiri duduk di kursi penumpang. Gina menyalakan mobilnya dan membawanya ke tempatnya. Tak butuh waktu lama, mobil Jonas sudah terparkir di sebuah rumah besar berwarna krem. Gina mengajak Jonas masuk dan dengan patuh Jonas mengikutinya.

Baru sampai di ruang tamu, mereka berdua sudah berciuman dengan penuh nafsu, malam ini semakin panas karena aksi-aksi mereka. Jonas menarik Gina ke sofa, sudah tidak sabar dengan apa yang akan mereka lakukan.

***

Paginya, Jonas terbangun dengan pegal di sekujur tubuhnya. Ia mencoba membuka mata dan melihat sekitar.

Ia bingung melihat tempat ini, ia berada di sebuah ruangan yang nyaris rusak. Jonas langsung tersentak kaget, ia bangkit dari tidurnya. Ia melihat keadaannya dan makin heran, ia tertidur dalam keadaan telanjang di sebuah sofa yang sangat berdebu.

Bagaimana aku bisa sampai di sini? Tanya Jonas pada dirinya sendiri.

Ia berusaha mengingat kejadian semalam, namun apa yang ia ingat sangat berbeda dengan kenyataan pagi ini. Jonas bangkit dari kursinya, ia mengambil pakaiannya yang ada di ujung sofa.

Sial, pakaianku terkena debu! Maki Jonas.

Karena tak ingin keluar dengan keadaan telanjang, Jonas mengenakan kembali pakaiannya. Semuanya masih lengkap, kunci mobil, dompet, badge, ponsel dan zippo kesayangannya tak hilang.

Jonas mengedarkan pandangannya ke tempat ini, ini pasti sebuah rumah besar yang tak terurus, yang mungkin sedang di renovasi tapi tak dilanjutkan. Dengan rasa penasaran yang tinggi, Jonas memasuki bagian lain rumah. Penilaian dia sepertinya benar, ini rumah yang sedang di renovasi tapi tak terurus lagi.

Enggan berlama-lama di tempat ini, Jonas keluar. Ia menemukan mobilnya terparkir di pinggir jalan, persis di seberang rumah ini. Setengah berlari, Jonas menuju mobilnya, ia langsung masuk mobil dan terdiam. Di dalam mobil, ia mengamati rumah yang tadi ia masuki. Rumah itu terlihat sangat berantakan dari luar, tak heran bagian dalamnya pun berantakan dan sangat berdebu.

Sambil menyalakan mesin mobil, Jonas memikirkan apa yang semalam ia lakukan. Karena seingatnya ia dengan perempuan asing bernama Gina terlibat aksi-aksi yang sangat panas, aksi saling memuaskan kebutuhan masing-masing, tapi yang Jonas ingat ia melakukannya di ruang tamu rumah Gina. Bukan di rumah nyaris hancur tadi.

Jonas tersadar dari lamunannya dan ia melihat sekitar, ia bahkan tak tahu ia berada di mana. Setelah membaca nama sebuah toko yang tercantum nama jalan. Jonas terbelalak kaget, ini lingkungan dekat rumah Antoni. Jonas sudah merencanakan akan kesini, tapi tidak dengan cara seperti ini.

Jonas menepikan mobilnya di pinggir jalan, menghitung waktu kalau ia pulang ke rumah dan mandi, apa masih muat waktunya atau terlalu lama. Akhirnya Jonas memutuskan untuk singgah di pom bensin yang ada.

Jonas turun dari mobilnya dan masuk ke sebuah mini market, ia membeli kaus darurat, celana dalam dan sebuah celana cargo pendek. Ia juga membeli sikat gigi dan sabun cuci muka. Setelah membayarnya Jonas masuk ke kamar mandi yang disediakan, ia berusaha membersihkan badannya dari debu dengan peralatan yang ada.

Tak sampai lima belas menit, Jonas sudah keluar. Tampilannya sangat santai, ia kembali ke mobil, melemparkan baju kotornya ke jok belakang. Ia mengambil sweaternya yang masih bersih karena ada di mobil, langsung ia kenakan dan pergi mengemudikan mobilnya ke rumah orang tua Antoni.

Tak sampai sepuluh menit, Jonas tiba di halaman rumah orangtua Antoni, ia memerhatikan rumah yang terlihat teduh itu. Jonas mengambil kacamata nya sebelum keluar dari mobil.

"Permisi!" Seru Jonas, sambil mengetuk pintu rumah.

Tak lama kemudian, seorang ibu paruh baya membukakan pintu dan menyambut Jonas dengan senyuman.

"Selamat pagi, ada yang bisa kubantu?" Sapa ibu tersebut.

"Pagi, aku Jonah Haz dari kepolisian pusat." Jonas berkata sambil menunjukan lencananya.

"Ohh? Ada apa?" Tanya ibu tersebut dengan nada takut.

"Bisakah aku masuk dan membicarakan ini di dalam?" Tanya Jonas.

"Tentu, ayo!" Ajak si Ibu.

Jonas tersenyum dan mengikuti Ibu tersebut masuk ke dalam rumah. Ia duduk di kursi kayu yang terdapat di ruang tamu rumah ini.

"Kau ibu dari Antoni Dwi Putra?" Tanya Jonas.

"Sudah tidak lagi. Anak itu sudah meninggal 3 bulan yang lalu." Jawab Ibu tersebut dengan nada sedih.

"Iya aku tahu, aku detektif yang menangani mayatnya tiga bulan lalu." Sahut Jonas.

"Lalu untuk apa kau kesini?"

"Maaf kalau kedatanganku pagi ini menganggu, maaf karena aku juga memakai baju yang sangat santai, sebenarnya ini du luar rencanaku, dan aku mewakili kaptenku, Kapten Mendes memberitahukan kalau kasus kematian Antoni di buka kembali."

"Maksudnya?" Tanya Ibu tersebut.

"Aku akhirnya menemukan sesuatu yang mengungkapkan kalau kematian Antoni itu bukan bunuh diri, tapi pembunuhan." Jelas Jonas.

"Akhirnyaaa, ada keadilan untuk anakku!" Seru Ibu ini. Ia terlihat bahagia sampai air matanya menetes sedikit.

"Bu, bisakah aku melihat kamar Antoni lagi?" Tanya Jonas, yaa TKP dari kematian Antoni adalah kamarnya sendiri.

"Panggil aku Bu Maria, dan tentu saja boleh. Kau boleh mencari sebanyak mungkin bukti kalau itu bisa menemukan orang yang sudah membunuh anakku!"

"Oh iya, aku ingin bertanya. Kenapa dulu kau sangat yakin kalau Antoni itu di bunuh?" Tanya Jonas.

"Suratnya! Surat yang ia tinggalkan, aku sangat yakin kalau itu bukan tulisan tangan Anton anakku."

"Aku bisa memilikinya untuk diperiksa?" Tanya Jonas.

"Tentu, detektif. Aku akan melakukan apapun yang kubisa agar pembunuh anakku tertangkap."

"Oke, terimakasih bu Maria. Sekarang bisakah aku ke kamarnya dulu?" Tanya Jonas.

"Tentu!"

Bu Maria mengajak Jonas ke ruangan lain, kamar Antoni memang ada di belakang rumah ini, dekat pintu belakang. Memudahkannya jika ia pulang malam.

"Silahkan!"

Jonas memasuki kamar Antoni, masih sama seperti yang ada di ingatan Jonas saat terakhir ke sini.

Jonas melihat sekeliling dan menemukan foto wisuda yang sama dengan milik Danny.

"Bu Maria? Kau kenal mereka semua?" Tanya Jonas sambil menunjuk pigura itu.

"Tentu saja, aku menganggap mereka anakku, Danny, Gio dan Reza. Sahabat Anton dari ia masih kecil. Harusnya mereka berlima dengan Luna, namun Luna hilang dua tahun yang lalu."

"Hilang?" Tanya Jonas penasaran.

"Yaa, hilang tepat di hari ulang tahunnya yang ke 21, membuat ke empat anak lelaki ini sedih setengah mati karena kehilangan sahabatnya." Jelas Bu Maria.

Jonas membeku, jadi pembunuhan berantai ini terjadi dari dua tahun lalu? Entah apa kesalahan anak-anak muda ini sampai di habisi oleh orang di saat mereka berulang tahun.

Mendengar info ini, Jonas jadi makin bersemangat memecahkan kasusnya.

****

TBC

Thanks for reading, dont forget to vote and leave a comment yaa xoxox
I hope you all enjoy this story

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top