[seven]

Jonas mengenali tempat ini, ia berada di ujung jalan sebuah gang. Ia berada di depan rumah berwarna biru, rumah yang diketahuinya merupakan tempat tinggal Aluna.

Terdengar suara pintu terbuka, seorang gadis kecil keluar dari dalam rumah. Gadis itu mengenakan kaus berwarna putih dan celana jeans selutut. Ia berjalan santai keluar.

Jonas memperhatikan gadis kecil itu dengan seksama, ia kaget ketika tahu gadis kecil itu adalah Aluna.

Setengah berlari, Jonas mengikuti Aluna kecil. Ia berjalan di samping Aluna  sementara Aluna sendiri tidak terusik dengan keberadaannya.

Aluna berhenti di sebuah warung, ia membeli dua batang coklat lalu kembali menyusuri jalan menuju rumahnya. Tiba-tiba Aluna berhenti, ia menoleh ke kiri melihat ada 3 orang lelaki seusianya sedang duduk mengobrol di sebuah pos jaga. Aluna berjalan mendekat ke arah mereka.

"Hallo!" Sapanya.

Ketiga lelaki itu menoleh, tersenyum pada Aluna yang menyapa mereka.

"Kau anak baru?" Tanya yang paling besar, Jonas mengenali itu sebagai Danny, senyum ramah Danny sudah tercipta bahkan sejak ia masih kecil.

Terlihat Aluna mengangguk.

"Ayo sini, main sama kita!" Seru anak lain bertampang judes, Reza.

"Kalian mau? Tapi aku cuma punya dua." Aluna menawarkan coklat yang tadi ia beli. Aluna mengulurkan coklat dengan tangan kirinya, sepertinya ia kidal. Batin Jonas.

"Yaudah masing-masing paroan aja, aku bagi sama kamu, Reza bisa paroan sama Anton." Kata Danny kecil.

Aluna mengangguk lagi.

"Oh iya, aku Danny. Ini yang kecil Reza, ini satu lagi Anton." Kata Danny memperkenalkan teman-temannya.

"Aku Aluna, kalian boleh panggil aku Luna."

Ternyata Aluna baru saja membagi kenangannya tentang perkenalan dengan Danny, Anton dan Reza.

*

Kemudian, tiba-tiba saja langit berganti warna. Semua yang berada di sekitar Jonas seperti berlalu dengan cepat. Ia sendiri sudah tidak bersama keempat anak tadi.

Jonas sekarang berada di depan sebuah toko, ia menoleh ke sekitarnya. Terlihat empat anak yang baru kenalan tadi, namun wajah mereka terlihat lebih tua dari beberapa menit yang lalu. Jonas mendekat ke anak-anak kecil itu. Mendengar apa yang mereka bicarakan.

"Katanya sih Ibunya blasteran Jerman. Udah kaya nama permen aja ya!" Seru Reza.

"Yaudah kita deketin aja, kali aja anaknya baik." Seru Aluna.

"Iya, coba nanti sore kita ke lapangan aja ya!"

*

Seperti tadi, semuanya berlalu dengan cepat, tiba-tiba saja Jonas berada di pinggir lapangan menonton beberapa orang dewasa bermain volly. Di sampingnya, ia melihat ada lima anak kecil yang sedang mengobrol.

Dipandangi anak kecil itu satu-per-satu, Antoni, agak diam hanya mengikuti obrolan temannya, Danny sepertinya ketua geng kecil ini karena ia terlihat banyak mendominasi obrolan. Reza, ia hanya mengangguk setiap Danny berbicara. Luna, ia menyimak sama seperti Anton, tapi yang ia simak bukan Danny melainkan orang baru. Gio, paling tinggi diantara semuanya, terlihat menawan dengan wajahnya yang campuran Jerman.

"Berarti di geng kita yang paling muda kamu ya, Lun." Kata Gio. Luna mengangguk dan memasang senyum terbaiknya.

*

Lalu, berubah lagi. Sekarang Jonas berada di sebuah aula besar, di samping Jonas ada Aluna yang sudah tumbuh menjadi gadis remaja yang sangat cantik. Aluna terlihat menangis, Jonas mengikuti arah pandang Aluna, ternyata ia sedang memandangi ke empat sahabatnya yang sedang wisuda kelulusan SMA.

"Santai aja Lun, kita emang udah ga satu sekolah, tapikan rumah kita semua deketan. Masih bisa ketemu tiap hari, main tiap hari." Ujar Danny menenangkan.

Lalu, keempat remaja tanggung itu memeluk Luna, membuatnya tenang dan berhenti menangis.

*

Berubah lagi, kali ini Jonas benar-benar sudah terbiasa dengan kenangan yang diberikan Luna padanya. Jonas kini ada di Markas rumah kosong, di sebelahnya ada Antoni dan Luna yang sedang bermain kartu.

"Sebel deh sama yang lain, kalian kan sama jurusannya masa kamu doang si Ton yang bisa temenin aku main." Kata Luna.

"Mereka ngambil kegiatan lain di kampus, Lun. Aku engga, jadi aku ada waktu kosong buat temenin kamu."

"Gitu banget deh mereka!"

*

Lagi-lagi berubah, Luna dan yang lainnya sedang berada di depan sebuah toko. Sepertinya toko ini tempat tongkrongan mereka yang lain.

"Kalian semua curang tau ga! Kalian main futsal tapi aku ga diajak. Kita tuh udah jarang kumpul, sekalinya kalian kumpul aku malah ga diajak. Jahat!" Terdengar suara murka Luna ke empat sahabatnya itu.

"Lun, kamu tau. Anak kampung sebelah suka mandang kamu, liatin badan kamu lah. Kita semua gasuka." Ujar Gio.

"Aku bisa jaga diri kali, lagian aku punya kalian yang jagain aku!" Bentak Luna, ia berbalik meninggalkan temannya itu.

*

Lalu berubah lagi, Jonas berada di tempat pertama kali ia datang. Ujung jalan sebuah gang, langsung saja Jonas menoleh ke belakang, tak lama Luna keluar dari rumahnya, tampilannya tidak tomboy seperti biasa, ia memakai sebuah gaun cantik selutut berwarna pastel. Ia tersenyum sepanjang jalan, Jonas membuntutinya seperti tadi.

Jonas tahu Luna akan kemana, ia sudah hafal jalanan ini. Tak berapa lama kemudian, Luna sampai di markas. Ia masuk ke dalam rumah tua itu, namun tampak sepi, Luna masuk ke bagian dalam rumah. Membuka sebuah pintu dan ia tersenyum melihat teman-temannya.

"Happee Birthaee Lunaaaa!!" Seru mereka semua menyambut Luna.

Gio yang pertama menghampiri Luna dan mengecup pelipis gadis itu.

"Happee legal age, baby! Kamu udah boleh minum-minum bareng kita sekarang!" Seru Gio.

"Thank you," Sahut Luna dengan senyum manisnya.

Lalu giliran Antoni yang mendekat dan memeluk Luna.

"Selamat ulang tahun, My Luna, our Luna. Bahagia selalu, Lun." Bisik Anton sambil memeluk Luna.

"Makasih, Ton!"

"Ini hadiah buat kamu." Kata Antoni sambil mengulurkan kotak kecil pada Luna.

"Terimakasih, lagi." Luna mengecup pipi Anton sekilas, membuat Anton bersemu merah.

"Udah geser!" Seru Reza. Ia mendekat ke arah Luna dan memeluk erat gadis ittu.

"Asik nih yaa, bisa ikut kita mabuk."

"Hahhaa iyaa, ga ditinggalin lagi." Kata Luna.

"Selamet yaa, maaf aku belum bisa kasih apa-apa."

"Santai aja, Reza."

Lalu Reza melepas pelukannya, ia merengkuh wajah Luna dan memberikan kecupan singkat di kening gadis itu, setelahnya giliran Danny yang maju. Ia tersenyum menatap Luna dari ujung kaki sampai ujung kepala, berhenti sesaat untuk menatap mata hijau cemerlang milik Luna.

"Cantik banget hari ini." Puji Danny.

"Kan lagi ulang tahun, Danny."

"Happee Birthdaee baby, you're a woman now. Jadi wanita yang kuat, Lun. Cantik, tumbuh bersinar dan selalu jadi alesan kebahagiaan orang. Kita semua sayang sama kamu." Kata Danny.

Lunna terlihat terharu mendengar kata-kata Danny tadi, langsung memeluk Danny.

"Terimakasih, Dann. You're the best!"

"I know I'm, di antara kampret-kampret itu." Sahut Danny dan Luna tertawa.

"Udah, ayok masuk. Kita udah sediain minuman buat kamu, ada kue juga." Ajak Gio.

Lalu Luna masuk ke ruangan yang sudah didekor sedemikian rupa oleh teman-temannya ini. Ia duduk di tengah sofa, dikelilingi oleh sahabat-sahabat yang menyayanginya.

Kemudian, ke empat sahabatnya menyanyikan lagu selamat ulang tahun, membakar lilin berbentuk angka 21 dan Luna meniupnya setelah sebelumnya mengucapkan permohonan dalam hati.

Luna memotong kue ulang tahunnya, menyuapi sahabat-sahabatnya itu bergantian. Lalu ia membuka botol bir pertama, meneguknya banyak dan dia berteriak bahagia, puas dengan apa yang baru saja di lakukannya. Ia sudah dewasa sekarang.

Keempat temannya juga membuka botol bir lain, mereka bersulang untuk bertambahnya umur Luna.

"Jam berapa sih ini?" Tanya Luna.

"Baru jam 7 malem Lun," Sahut Reza.

"Oke, aku sekarang udah ga ada jam malem lagi dong dari Papa!" Serunya girang.

Lalu mereka menghabiskan malam dengan mabuk-mabukan. Dan tiba-tiba saja terjadi sesuatu. Gio mendekat pada Luna, mencium bibir tipis milik Luna, terlihat Luna memberontak atas perlakuan Gio, tapi sepertinya Gio tidak peduli, dan beberapa detik kemudian, Reza bergabung dengan Gio, bergantian mereka mencium Luna.

"Kalian ngapain!" Terdengar Anton membentak kedua temannya itu.

"Shut up, nerd!" Maki Gio.

"Lepasin Luna!" Seru Danny setengah sadar, ia sudah mabuk tapi ia masih cukup waras untuk tidak melakukan hal yang macam-macam pada sahabatnya.

Reza berdiri, mendorong tubuh Danny dan Anton ke dinding, sementara Gio sudah merobek gaun pendek yang dikenakan oleh Luna.

"Gio, fuck! Stop it, it's Luna!" Teriak Anton.

Namun Gio seperti tidak mendengar apapun yang diteriakan Anton, ia masih berusaha melepas baju yang dikenakan Luna.

"Reza, lepasin!" Seru Danny, mencoba mendorong Reza tapi ia tak berkutik.

Tubuh Reza mungkin lebih kecil dibanding Danny dan Anton, tapi tenaga Reza paling besar diantara semuanya.

"Za, lepasin Za, itu Luna!" Anton memohon sekarang.

Lalu, Reza mengayunkan tangannya, membuat Anton jatuh tersungkur di lantai yang kotor.

"Kalo kamu gamau pingsan juga, diem!" Bentak Reza pada Danny.

Ia melepaskan cengkraman tangannya di kerah kemeja Danny dan berbalik ke Gio. Reza langsung membungkam jeritan Luna dengan bibirnya, tangannya yang lain mulai meremas payudara milik Luna, sementara Gio sudah membuka celananya sekarang, mengeluarkan barang miliknya dan diarahkan ke Luna.

"Please, stop it!" Jerit Luna, ia sudah menangis sekarang, tak menyangka akan diperlakukan seperti ini oleh dua sahabatnya. Sementara dua sahabatnya yang lain diam di pojok ruangan tak melakukan apa-apa.

"Aku benci sama kamu, Gio! Reza!" Jerit Luna.

"Za, bikin dia diem!" Seru Gio.

Langsung saja Reza mencium paksa bibir Luna. Selama ciuman itu, Reza juga berusaha membuka celananya, mengeluarkan barangnya. Reza melepaskan ciuman di bibir Luna. Kembali terdengar jeritan pilu dari Luna, lalu dengan kekejaman yang luar biasa, Reza memasukan barang miliknya ke mulut Luna, membuat Luna tak bisa menjerit.

"Stop it, please stop it. It's Luna, our Luna!"  Danny berusaha menarik Gio dan Reza, tak tega dengan perlakuan mereka pada Luna. Namun keduanya bergeming tak mengidahkan permintaan Danny.

"Please!" Pinta Danny.

"Kamu diem dulu Dann, bentar lagi giliran kamu!" Seru Gio.

Danny memandang Luna yang terbaring tak berdaya di sofa, tubuh telanjangnya terlihat menggoda. Danny mengusap wajahnya, mencoba berfikir jernih. Ia normal, ia terangsang melihat tubuh polos Luna, tapi ia tidak bisa melakukannya, itu Luna, gadis yang selama ini dianggap adik olehnya.

"Ayo sini!" Gio menarik lengan Danny, menyuruh Danny menggantikan posisinya.

Danny terdiam, ia memandangi Luna yang sudah tidak melawan. Danny tahu dia memang brengsek, sudah ada beberapa wanita yang ia tiduri, tapi ia tak pernah berfikir kalau akan meniduri sahabatnya, meniduri Luna.

"Ayok udah itu buka celananya!" Seru Gio.

Gio sudah mabuk sepenuhnya, akal sehatnya sudah tak ada lagi sekarang. Danny menjauh, ia tak bisa melakukan itu, tidak dengan Luna.

Danny menuju pojok ruangan, berusaha membangunkan Anton dan mengajaknya pergi dari sini, mereka akan lapor polisi kalau bisa.

"Mau kemana?" Cegat Gio saat Danny memapah Anton.

"Kamu kalo mau ngapa-ngapain Luna, silahkan. Tapi aku ga ikutan, Yo." Sahut Danny.

Gio menepuk-nepuk pipi Anton yang pingsan dan beberapa saat kemudian Anton tersadar.

"Anton, aku tahu dari dulu kamu suka sama Luna. Kamu orang yang selalu ada buat Luna, sekarang aku berbaik hati, aku menyediakan Luna, siap dipakai, kau mau?" Tanya Gio, menunjuk sofa. Terlihat Reza sedang menyetubuhi Luna yang sudah tak berdaya

Muka Anton memerah karena marah melihat itu semua.

"Kamu gabisa gituin Luna, Yo. Dia sahabat kita, kita harusnya jagain dia," Kata Anton.

"Fuck you, bitch!"  Terdengar makian Reza.

Mereka bertiga menoleh, Luna terlihat memegang pisau di tangan kirinya, ia berhasil membuat  sayatan di dada Reza. Yaa benar dugaan Jonas, Aluna memang kidal.

Danny langsung berlari menghampiri Luna, namun Luna mengacungkan pisaunya ke arah Danny.

"Relax Lun, aku gabakal ngapa-ngapain kamu." Bisik Danny. Ia membuka kemeja yang ia kenakan, melemparkannya pada Luna agar Luna bisa menutupi tubuhnya.

"Lun, buang pisaunya. Kita bakal bawa kamu ke rumah sakit." Anton sudah ada di sebelah Danny.

Namun Luna terlihat bingung, dan detik berikutnya ia menangis, meletakan pisau yang ia pegang di sofa. Danny dan Anton berusaha mendekatinya, membantunya memasang kemeja Danny di tubuh Luna.

Tiba-tiba saja sebuah pisau menancap di dada Luna, membuat gadis itu menjerit lagi. Danny dan Anton menoleh, melihat Reza tersenyum puas.

Anton bangkit dan mencoba memukul Reza, namun ia malah terkena pukul oleh Reza. Ia mundur beberapa langkah sementara Reza tertawa puas, dan perkelahian kedua sahabat itupun tak terelakan.

Disisi lain, Danny mencoba mencabut pisau yang menancap di dada kiri Luna sementara Luna terus menjerit menahan sakit.

Pisau itu berhasil dicabut oleh Danny,  dan langsung dibuang olehnya ke lantai. Ia melepas kausnya, mencoba menutup darah yang mengalir dari tubuh Luna.

Namun Luna sudah memejamkan matanya, ia mengap-mengap seperti kehabisan udara.

"No, no, no Luna. Please stay, please stay with me!" Bisik Danny, air matanya bercucuran sekarang.

Lalu Gio menarik Danny yang memeluk Luna, di tangannya terdapat pisau yang tadi di lempar Danny ke lantai, ia menusuk-nusukan pisau itu ke tubuh Luna seperti tubuh sahabatnya itu adalah bantal kapuk.

"Fuck, Gio!" Danny membentak Gio. Ia melihat Gio menusuk dada Luna berkali-kali dan terakhir di tenggorokan Luna, membiarkan pisau itu menancap di sana.

"She's death now, she wont stay with us." Ucap Gio tanpa perasaan.

Danny terjatuh ke lantai, tak percaya kalau Gio baru saja membunuh Luna. Kemudian terdengar isakan tangis dari Anton, kalau Reza tak memenganginya, mungkin Anton sudah ambruk ke lantai sama seperti Danny.

"Kamu bunuh dia, Yo. Padahal diantara semuanya, Luna paling sayang sama kamu. Kenapa kamu tega?" Tanya Anton sambil tersedu-sedu.

"Kalo dia ga mati, kita semua yang mati. Kalian mau?"

"Maksudnya?" Tanya Danny.

"Dia bakal lapor polisi, dan kita semua bakal di penjara."

"Kamu sama Reza doang Yo. Aku sama Anton ga ikutan." Sahut Danny.

"Kalo aku kena, kalian semua kena. Kalo aku mati, kalian juga ikut mati!" Seru Gio.

"Terus sekarang gimana?" Tanya Danny.

"Kita buang mayatnya, kita buat dia ngilang ga bersisa."

Lalu Reza keluar ruangan, sementara yang lainnya masih diam memandang mayat Luna. Tak berapa lama Reza kembali.

"Di lantai dua, ada tempat buat sembunyiin mayatnya Luna!" Serunya kepada temannya.

Gio sigap berdiri, sementara Danny dan Anton masih terguncang akibat kematian Luna.

"Danny, kamu yang udah gapake baju, kamu gendong Luna ke atas." Titah Gio.

Dengan patuh, Danny bangkit dan berjalan ke arah mayat Luna, dengan lembut ia melepaskan pisau yang menancap di leher Luna, lalu ia meraup Luna. Mendekap Luna ke dadanya yang telanjang.

Air mata Danny tak berhenti mengalir saat ia membawa Luna ke lantai dua. Ekor mata Danny melihat Gio dan Reza membawa sekantung semen, dan Gio pun menyuruh Anton membawa beberapa batu bata yang memang tersedia di rumah ini.

Danny sampai terlebih dahulu di atas, ia berjongkok sambil mengelus pipi Luna yang berlumuran darah dan sperma.

"Sorry, baby. Sorry I can't save you." Bisik Danny disela tangisannya.

"Dann, berdiriin dia di sini!" Titah Reza, sambil menunjuk ujung space kosong dalam tembok yang sepertinya akan menjadi lemari tanam.

Space kosong itu hanya memiliki lebar kira-kira 90 centi namun terlihat dalam. Dan dengan lembut Danny menyenderkan Luna di situ.

"Rest in peace, Baby. I love you." Danny menoleh ketika Anton menghampirinya, mengecup kening Luna.

Lalu Reza meletakkan pisau di bawah kaki Luna, sementara Gio mulai menutup space itu dengan bata merah dan semen.

"Yakin ga ketauan?" Tanya Danny, ia takut sebenarnya.

"Engga, besok pagi juga semennya kering, Luna bakal nyatu sama tembok." Jawab Reza yang sekarang sudah membantu Gio.

"Baunya?" Tanya Anton.

"Gabakal, udah percaya aja deh, lubang ini lumayan dalem ada kali 2 meter, gabakal kecium." Jawab Reza.

Kemudian, satu demi satu batu bata disusun menutupi space tempat Luna di sandarkan. Pekerjaan Reza dan Gio sangat rapi, mereka membuat dinding baru itu menyatu dengan dinding lama, seperti tidak ada apa-apa sama sekali.

"Oke jadi sekenarionya gini..." Saat Gio akan mulai bercerita Jonas seperti tertarik maju ke depan.

Membawanya melewati lagi lorong cahaya, Jonas membuka matanya. Ia tersentak kaget menatap sepasang mata hijau milik Luna.

"Kau mau menolongku?" Tanya Luna.

******

TBC

Thanks for reading, dont forget to leave a comment and vote this chapter xoxo I hope you like and enjoy the story.

Ps: di beberapa negara legal age untuk cowo itu 18 tahun dan untuk cewe 21 tahun. Dan di cerita ini gue menganut sistem itu yaak

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top