Teror 4 . Mimpi yang Kembali

"Astaga! Kamu menangis?" Loyce membenarkan posisi wireless earphone di telinga kiri.

"Cepat kamu ke sini, yaa!" Suara Aray terdengar bergetar sambil menyembunyikan isak.

Loyce menghela napas. "Memangnya apa yang terjadi?"

"Aku ketiduran dan Hantu Nenek datang di mimpiku lagi, Ceee," adu Aray dengan heboh

Loyce melirik jam analog yang menempel di dashboard mobil. "Memang enak? Sudah berapa kali kubilang jangan tidur menjelang magrib."

"Cepat ke sini ih!"

Gadis itu menyalakan lampu sein kanan. "Aku sudah berada di pertigaan bengkel."

Tanpa dijelaskan pun Aray tahu lokasinya karena hanya sekitar 10 menit dari gerbang kompleks rumah mereka.

Obrolan mereka berakhir dan Loyce menyempatkan diri mengecek pesan masuk di WhatsApp. Ternyata Tiar tidak mengabarinya sama sekali. Dalam kurun waktu hampir empat bulan bersama, hanya di bulan pertama dirinya merasakan kehadiran dan kebersamaan dengan sang kekasih. Selebihnya, seperti sebatas formalitas saja—mengabari, menanyakan aktivitas, dan mengirim ucapan selamat pagi atau malam. Interaksi itu pun lebih banyak dilakukan di dunia maya ketimbang bertemu langsung.

Pikiran Loyce kembali terisi oleh bayangan Tiar yang sedang bersama seorang perempuan tadi siang. Juga tawaran arwah anak kecil itu. Sesaat dirinya ingin menerima ajakan kerja sama hantu tersebut, tetapi segera dienyahkan.

"Tetap saja pada akhirnya dia akan meminta lebih," gumam Loyce saat memasuki pelataran rumah Aray. Selama pelayanan laundry buka, gerbang memang selalu dibuka dan cukup untuk satu mobil masuk.

Loyce menyapa sambil jalan pada dua karyawan yang sedang berada di depan kios laundry. Kemudian, kakinya melangkah terus hingga berada di ruang tengah. Karena mencium aroma ikan asin sejak di teras depan, dia membelokkan langkah ke kanan menuju dapar.

Gadis itu lantas melepas hoodie dan menyampirkannya ke sandaran kursi makan. Kemudian, kakinya yang beralas sandal selop karet kekinian—korean style—mengayun menuju kulkas. Saat ingin mengambil sekotak sari kacang hijau, dia melihat beberapa marshmallow yang ditusuk dalam lollipop stick warna-warni. Ada balutan cokelat dengan taburan sprinkle dengan berbagai macam warna di atasnya.

Dia langsung membalikkan badan, merentangkan kedua tangan dengan tinggi, dan berteriak, "Araaay, thank you so much!"

Melihat binar mata secerah mentari siang di wajah gadis berkulit kuning langsat itu, Aray tersenyum dan memberi tanda hati menggunakan telunjuk dan ibu jari.

Loyce mengambil dua stik marshmallow pop, lalu duduk di bangku bulat. Kedua sikunya bertumpu pada meja pantry yang terbuat dari marmer abu-abu gelap. Di depannya sudah ada tempe goreng, sambal tomat beraroma terasi, dan daun pepaya rebus.

Sudah menjadi kebiasaan mereka untuk makan bersama. Lebih tepatnya adalah karena Aray enggan makan sendirian, harus ada yang menemani dan ikut makan. Meskipun para karyawan masih ada, mereka tidak disediakan makanan. Sebagai gantinya, Aray memberinya uang makan. Namun, sesekali mereka semua akan makan bersama.

Loyce yang awalnya ingin langsung bercerita tentang Tiar pada Aray begitu tiba di sini jadi urung. Dia lebih memilih menikmati masakan lelaki berkaos lengan ¾ itu dan marshmallow pop. Dia memberi kesempatan mood-nya untuk merasa lebih baik.

Suara azan Isya dari masjid yang tidak jauh dari rumah terdengar. Berbarengan dengan itu, mereka berdua selesai makan. Usai membantu Aray mencuci peralatan kotor dan membersihkan meja, Loyce mengambil sisa marshmallow pop di kulkas. Kemudian, dia mengajak sahabatnya untuk mengobrol di ruang tengah sambil menonton siaran pertandingan bulutangkis.

Mereka duduk bersisian di sofa panjang yang langsung menghadap ke televisi. Loyce memakan satu stik cemilannya hingga habis sebelum menceritakan semua kejadian tadi siang, termasuk masalah Tiar.

"Maksudmu, lelaki itu selingkuh?" Mata Aray membulat.

Bibir Loyce mengerucut sementara bahu kanan-kiri bergerak ke atas. Matanya memerah, siap menumpahkan cairan bening.

"Aku setuju kalau anak kecil itu membantumu," ujar Aray kemudian. "Dan jika memang terbukti Tiar selingkuh, dia sungguh lelaki jahat. Kalian baru sebentar menjadi kekasih, tetapi dia sudah berpaling."

Gerutuan Aray membuat Loyce mewek.

Aray yang tidak ada maksud membuat gadis itu makin sedih pun segera minta maaf. "Sudahlah! Lebih baik kamu menerima bantuan arwah itu," tukasnya saking ingin segera tahu kebenarannya tanpa pusing memikirkan cara lain.

"Aku tidak setuju. Anak-anak kan ceroboh. Lagi pula aku sudah membantunya tanpa imbalan. Aku tidak mau berurusan dengan arwah anak itu lagi. Titik!" tegas gadis itu sembari menarik sedikit ke atas celana kulotnya.

Aray menghela napas lelah. Jika sudah keras kepala, Loyce sulit untuk diajak negosiasi. Namun, bukan berarti gadis tersebut tidak dapat dibujuk. Memang harus sabar dan butuh trik tersendiri.

"Tidak selamanya membantu mereka itu merugikan, Ce. Bukti kecilnya, hikmahnya, kamu jadi tahu Tiar sedang bersama dengan perempuan lain dengan bergandengan tangan. Itu berkat kamu menolong si arwah anak kecil itu, bukan?" Ucapan ini menandakan Aray tidak langsung putus asa. Dia masih berkeinginan kuat untuk membuka pikiran sahabatnya.

Loye mengambil satu stik marhmallow pop lagi, lalu menyandarkan sisi kiri badannya ke sofa. Sambil menghadap lelaki berwajah lebih kinclong dari miliknya, dia berkata, "Entahlah! Aku masih ragu pada arwah anak kecil itu."

Di saat bibir Loyce belum benar-benar rapat, datang hembusan angin berhawa dingin. Punggung Aray langsung tegak dan matanya bergulir ke kanan-kiri. Sementara itu, Loyce masih bisa santai karena tahu akan ada sesuatu yang datang.

Aray menjulurkan tangan kanan untuk meraih pergelangan tangan Loyce. Dia berbisik, "Ce ...?"

Dalam hitungan detik saja tangan Aray sudah dingin. Lelaki itu memang "alergi" dengan segala macam sosok tidak kasat mata. Hanya karena temannya adalah Loyce dan kebetulan indigo, dirinya menjadi lebih berani meskipun tetap gemetar dan pucat.

Mereka saling tatap dan sesekali pandangan menyusuri tiap sudut ruangan. Kemudian, tercium bau anyir. Kulit Loyce kian merasakan dingin dari telapak tangan Aray. Belum sempat mencari celah ketenangan, sepasang hewan berbulu jatuh di pangkuan Aray.

Lelaki itu berdiri sekaligus loncat dengan refleks. Jeritan kerasnya pun memenuhi ruangan bercat krim ini.

Loyce mengabaikan pengang di telinga akibat suara Aray. Matanya sedang mengamati hewan yang muncul tiba-tiba itu. Wujudnya seperti hamster, tetapi sedikit lebih besar. Di antara kaki depan dan belakang ada bagian tubuh yang melebar dan tipis seperti sayap. Belum menemukan jawaban pasti tentang makhluk tersebut, saraf auditorinya menangkap tawa melengking.

"Pororo, tolong berikan hewan itu pada cucuku!"

Bisikan lirih nan parau itu terdengar jelas di telinga kiri Loyce. Saat menoleh, dia melihat dengan sangat jelas seringai lebar seorang arwah nenek tua. Gigi tuanya yang rapi nampak besar karena jarak wajah mereka begitu dekat—hanya sejengkal.

Loyce menusuk mata gelap sosok itu secara refleks menggunakan stik cemilan yang masih di genggamannya. Meskipun demikian, percuma saja karena tidak memberi efek apa-apa. Dia pun berdiri, lalu menatap tajam pada Hantu Nenek.

Sosok itu melayang cepat dan berdiri di hadapan Loyce dengan sangat dekat. "Pororoku, tolong aku!" pintanya dengan parau dan lirih.

Aray yang sudah sedikit reda dari keterkejutan memilih berdiri meringkuk beberapa meter dari Loyce dan hantu itu. Dia ingin jadi penonton saja.

"Sembarangan!" Loyce tidak paham alasan Hantu Nenek memanggilnya begitu.

Tidak terima dengan sahutan itu, Hantu Nenek menggeram kesal. Dia menjauh dari hadapan Loyce, melayang di atas lemari bufet kaca. Loyce dapat melihat jelas rok batiknya yang lusuh dan terdapat bercak darah di sisi kanan. Blusnya juga tidak lagi putih bersih. Ada beberapa bagian yang menghitam seperti terkena abu tebal.

"Kamu menolak permintaanku?" Hantu Nenek menguarkan aura gelap. Bau anyir makin menusuk indra penciuman dua manusia itu. Jelas bahwa energi jahat tengah menguasainya.

"Ya!" jawab Loyce tegas.

Sedetik kemudian, sosok itu hilang dari pandangan Loyce dan pindah ke sebelah Aray.

Aray ingin menjerit, tetapi mulutnya kaku.

"Aku akan bawa dia ke duniaku jika kamu menolak membantuku," ancam Hantu Nenek. "

Mendengar pernyataan seperti itu, kesadaran Aray hilang. Tubuhnya melorot ke lantai dengan mata terpejam.

Hantu Nenek menyeringai seraya menyorot intimidasi Loyce. "Aku tahu rahasia besar tentang kehidupanmu, tentang kekasihmu. Kita bisa saling membantu."

Loyce ingin tidak percaya, tetapi penasaran.

____________________

30 Juli 2023, 07.20 WIB

Thanks for reading,

Fiieureka

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top