Teror 2 • Ancaman, Ketakutan, dan Pengabaian

"Hei!" Telunjuk lentik Aray menyentuh bahu Loyce yang tertutup jaket kulit berwarna hitam dengan cukup gemulai. "Tidakkah ini sudah berlebihan?"

Tanpa melihat wajah Aray pun Loyce tahu apa maksud ucapan tersebut. Maka dari itu, dirinya langsung memberi hadiah berupa tatapan setajam belati pada Aray. "Tidakkah kamu terlalu pelit?"

Mata kucing Aray melebar seketika. Dia melirik serta menunjuk sebungkus marshmallow berukuran 200 gram dengan isi yang nyaris habis. Ya, tentu saja dinikmati oleh Loyce seorang. Begitu gadis itu tiba di restorannya 10 menit yang lalu, hal pertama yang dilakukan adalah meminta makanan manis bak kapas tersebut.

Aray menarik kursinya untuk lebih dekat dengan Loyce. Kemudian, dia berbisik, "Apakah kecelakaan tadi begitu menyeramkan?"

Bukan tanpa alasan dirinya melakukan itu. Sebab, yang tahu kemampuan prekognisinya hanya Loyce dan sang mama. Dia begitu apik menyembunyikan kelebihannya itu. Demikian dengan Loyce.

Loyce mendorong bungkus marshmallow ke depan beberapa centimeter, lalu memutar badan menghadap lawan bicaranya. Iris cokelat tuanya menatap lekat Aray. "Aku tidak tahu persis kecelakaannya."

Dahi Aray yang sekinclong kaca berkerut. "Maksudmu, mimpiku tidak nyata? Lantas arwah yang kamu temui tadi itu apa?" Dia sedikit bingung karena mengingat gelagat Loyce ketika di telepon tadi jelas menandakan ada sesuatu yang berkaitan dengan mimpinya.

"Tidak seperti itu maksudku." Loyce mengoreksi.

Aray tidak menjawab lagi. Dia bangkit dari kursi sebelum menyuruh kepala waiter untuk mengkondisikan restoran yang sedang ramai di jam malam seperti sekarang ini. Kemudian, tangannya menarik Loyce untuk ikut ke ruang kerja yang masih satu lantai.

Beberapa pasang mata dari nelayan maupun runner mengikuti arah perginya kedua insan itu. Dua di antaranya memasang air muka tidak suka.

Seorang waitress yang paling senior di restoran Aray ini menyenggol rekan kerjanya sembari berujar, "Gelagatnya seperti itu masih saja menyangkal kalau pacaran." Jelas sekali nada suaranya mengandung sindiran.

Tiwi, waitress yang sudah setahun bekerja menyahut, "Lo, Kak Rara memangnya belum dengar gosip tentang si Gadis Jagger itu?"

"Kabar apa?" Dia mendekatkab wajah ke juniornya.

Tiwi mengangkat tangan kiri untuk menutupi gerakan mulutnya. "Loyce sudah punya kekasih. Jalan dua bulan kudengar kabarnya."

Sementara kedua pegawai itu bergosip sembari mengamati kondisi restoran dengan meja yang 80% terisi pengunjung, Loyce dan Aray bicara empat mata di ruangan terpisah.

Loyce melepas jaket kulitnya dengan secepat kilat, menyisakan kaos polos abu-abu yang sedikit longgar. Dia mengempas tubuh ke sofa panjang hijau toska yang membelakangi dinding kaca. Kaki kanannya naik ke sofa sementara kaki kiri menjuntai.

"Baru kali ini aku frustrasi menghadapi arwah. Hariku menjadi payah," celetuknya sembari melepas topi yang menutupi rambut bercat vivid highlight. Dia memilih perpaduan biru elektra dan ungu di setengah bagian rambut ke bawah.

Aray menaruh dua teh botol dingin di meja kayu yang ada di depan sofa, lalu duduk di sebelah kiri Loyce. Dia memberikan ekspresi merajuk yang imut dengan kedua tangan menengadah di bawah dagu. "Aku siap mendengarkan."

Bukannya terima kasih, Loyce justru mendorong dahi Aray untuk menjauh dari wajahnya dan mencebik. "Kemarin kamu bilang bahwa orangnya ada dua, tapi hanya satu yang menjadi arwah dan dia sudah lanjut usia," ujarnya mulai membuka topik.

Aray mengingat mimpinya dan membenarkan dalam hati. "Itu artinya, kemungkinan besar hanya dia yang meninggal."

"Mungkin." Loyce menaikkan kedua bahu dan tidak ambil pusing.

"Lalu bagaimana dengan rupanya?"

Wajah Loyce yang datar berubah antusias. Dia membenarkan posisi duduk menghadap Aray agar merasa lebih nyaman lagi, lalu berujar, "Tidak buruk, hanya ada bercak darah di pelipis. Matanya terlihat gentat seperti orang sakit keras."

"Jangan gunakan kemampuan perbendaharaan katamu yang terlalu jauh itu padaku!" tukas Aray usai memutar bola matanya.

Paham maksud perkataan lelaki itu, Loyce mengoreksi, "Maksudku, matanya cekung."

"Lalu?"

 "Dia duduk di sampingku dan terus membujukku untuk membantunya. Kamu tahu pasti jawabanku, kan?"

Aray mengangguk dua kali. "Apa dia menyerah, lalu menghilang?"

Loyce mengangkat satu tangan dan menyapu udara secara mendatar sembari menjawab, "No. Kami bicara nyaris setengah jam dan di saat aku sudah mulai lelah, lalu coba mengambil jalan tengah dengan bilang akan mengantarnya pulang, kamu tahu apa yang terjadi setelahnya? Dia tidak ingat alamat rumah sendiri!" Loyce menaikkan intonasi bicara di kalimat terakhirnya. Kedua matanya melebar. "Bisakah kamu mempercayai itu?"

"Oh, my God!" seru Aray dengan kedua tangan yang memegang kepala. "Apakah dia amnesia?"

"Mana aku tahu, Araaay!" teriak Loyce sebelum mengecek ponsel karena menunggu kabar dari seseorang. Beberapa detik kemudian, wajah garangnya berubah kusut. "Tiar tidak bisa kuhubungi sejak tadi," gumamnya.

"Sejak kapan maksudmu?" Aray tidak menatap lawan bicaranya karena teh botol dingin yang ada di meja lebih menggoda untuk diambil.

Loyce menatap Aray yang sedang meneguk minumannya dengan sorot memelas. "Tepatnya sejak aku memasuki tol. Ah, bukan, bukan! Saat aku keluar tol, dia mengirimiku pesan untuk membatalkan janji karena ada hal mendesak dan tidak bisa dia tinggalkan."

Aray memegang pelipis dengan tutup botol yang masih terjepit di antara dua jarinya. Dia pun berseru, "Ah, lagi dan lagi!"

Bukan satu atau dua kali ini saja kekasih Loyce membatalkan janji temu secara sepihak. Loyce sendiri terus menurut dan tidak menuntut sampai Aray dibuat heran. Cinta membuat sahabatnya tetap diam di tempat.

"Aduh, Cece Sayang! Cinta boleh, bodoh jangan!" Aray bicara dengan bibir maju beberapa centimeter dan tangan yang menepuk dada, lalu menyilangkannya. Dia membuat air muka seekspresif mungkin.

Bibir Loyce ikut maju beberapa centimeter diiringi getaran. Matanya yang masih dengan jelas dibingkai goresan eyeliner hitam berkaca-kaca.

Aray tersenyum dan menepuk kepala Loyce dengan lembut sementara satu tangannya menggenggam tangan gadis tersebut. Dia tahu apa yang dibutuhkan sahabatnya.

"Sudahlah! Lupakan dulu dia. Kita balik ke topik tentang Hantu Nenek." Belum sempat bibir menutup rapat, tubuh Aray berubah kaku. Hanya sepasang matanya yang bergerak halus bak memindai sesuatu.

Loyce mengerutkan dahi saat menangkap gelagat lelaki berbaju kaos lengan pendek berkerah warna salem di hadapannya.

Aray celingukan ke kanan-kiri, memindai ruang kerjanya yang berukuran 3x4 m² ini. "Ceee, aku baru sadar jika ini pertama kalinya orang yang ada di mimpiku menjadi arwah."

Gadis itu terkekeh-kekeh setelah mendengar omongan tidak penting Aray. Kalimat tersebut cukup manjur untuk membuatnya lupa akan pembahasan tentang Tiar yang tidak ada kabar. "Lalu ... kamu berpikir jika ini adalah sebuah pertanda sesuatu, begitukah?" tanggapnya dengan lirikan mata meremehkan.

Bulu kuduk Aray berdiri. Seperti ada angin dingin menyapu tengkuk dan telinga kirinya. Dengan tanpa aba-aba, Aray loncat dari posisi duduk seraya menjerit panjang dan keras.

                                                                                      👻👻👻

Usaha Loyce untuk menyelesaikan pekerjaan sampingannya sebagai content writer tidak berjalan mulus sore ini. Meskipun tugas sebagai asisten mamanya Aray untuk mengurus usaha laundry sudah selesai dan tinggal mengawasi tiga pegawai yang masih bekerja, dia tetap tidak tenang. Pasalnya, lelaki itu beberapa kali menarik-narik lengan sambil meracau tentang entitas yang tidak terlihat oleh mata batinnya. Yang paling membuatnya kesal sampai ngedumal adalah saat Aray lari dengan tangan melambai-lambai dari ruang makan ke bangunan di depan garasi yang dimanfaatkan sebagai tempat usaha laundry. Tentu saja masih dengan isi racauan yang sama.

Awalnya, Loyce menanggapinya dengan cuek. Sudah beberapa kali pula dia menepis hingga mendorong kepala Aray dari lengan kirinya. Apa yang Aray lakukan membuatnya tidak leluasa mengetik. Padahal, tenggat waktu untuk mengirim tulisan artikel tentang paranormal ini kurang dari 2 jam. Sayangnya, Aray enggan menurut.

Aray baru menurut saat Loyce meninggikan suara pada Aray untuk tidak menempel padanya seperti permen karet. Loyce mengembuskan napas berat dan melirik tajam pada Aray yang memberinya wajah masam.

"Tidak bisakah kamu menggeser kursimu untuk sedikit memberiku jarak? Aku kegerahan," sindir gadis ber-tanktop hitam itu.

Aray menjentikkan jari, lalu mengambil remot AC untuk menurunkan suhu ruangan.

Melihat tingkah tetangga sekaligus anak bosnya itu, Loyce menghela napas pasrah. Sebenarnya, Aray bukan orang yang sulit diajak komunikasi. Hanya saat-saat begini saja lelaki itu bertingkah seperti anak kecil yang masih sekadar tahu konsep sebab-akibat. Itu pun saat sedang bersamanya saja.

Aray kembali duduk di sisi kiri Loyce dengan kedua tangan terlipat di atas meja. Tidak ada kata terima kasih maupun raut lega yang tercermin di wajah lonjong gadis tersebut. Justru detik ini wajahnya pucat pasi dan tegang. Namun, itu hanya berlangsung beberapa detik. Loyce kembali sadar dan bersikap seperti tidak ada apa-apa.

Tanpa sepengetahuan Aray, di dekat beberapa tiang yang digunakan untuk menjemur pakaian laundry muncul sosok yang empat hari terakhir ini mereka bicarakan. Auranya berbeda dengan yang pertama kali loyce temui–saat di dalam mobil. Kali ini aura hitam pekat menyelimuti sosok itu. Wajah tuanya yang sejauh ini Loyce lihat cerah, sekarang tertutup mendung tanda permusuhan.

Hawa di sekeliling mereka berubah drastis. Suhu ruangan bercat putih ini memang sudah dingin, tetapi terasa begitu merosot dalam hitungan detik. Padahl, tidak ada yang mengubah pengaturan suhu pendingin ruangan.

Tanpa bicara sepatah kata pun Aray tahu ada yang tidak beres. Matanya yang menyerupai panda pun melebar. Dia memberi tatapan gentar pada Loyce yang masih mematung. Bibirnya yang lembap oleh lipbalm terbuka dan siap mengeluarkan teriakan. Namun, secepat kilat tangan kiri Loyce membekap.

Loyce tidak ingin karyawan yang sedang bekerja terganggu, apalagi dengan masalah yang sulit dijabarkan seperti ini. Dia paham tidak semua orang dapat menerima cerita di luar akal sehat. Oleh karena itu, dirinya menarik tubuh bergetar nan dingin Aray keluar dari tempat laundry dan menuju lantai atas rumah utama.

Mereka berhenti di koridor lantai dua tepat di depan kamar Aray dan mamanya, Lena. Masih dengan menggenggam pergelangan tangan Aray, Loyce menariknya untuk duduk bersama di sebuah sofa panjang dekat jendela yang ada di ujung koridor.

Ini bukan pertama kalinya Aray diteror. Aray sangat terganggu dengan hawa dan suara-suara tidak jelas yang ditimbulkan oleh Hantu Nenek. Meskipun demikian, lelaki itu belum pernah satu kali pun melihat dengan jelas bagaimana rupa sebenarnya sosok yang selalu mereka bahas akhir-akhir ini.

"Cee, dia di sini, kan?" Aray menggulirkan kedua bola matanya ke segala penjuru.

Belum sempat bibir Loyce membuka, sosok yang mereka hindari muncul di atas vas bunga setinggi 70 centimeter yang ada di sudut koridor. Matanya yang cekung dan layu mengarah tepat pada Loyce. "Bantu aku, Cu!" rintihnya yang hanya dapat didengar oleh gadis tersebut.

Loyce diam di tempat sementara Aray memeluk erat lengan kanannya masih dengan mata yang menyisir ruangan ini. Tatapan Loyce pun kosong. Dia sedang berkomunikasi dengan Hantu Nenek lewat batin. Untuk apa aku membantumu?

Bagi Loyce, membantu arwah seperti Hantu Nenek ini tidak ada untungnya. Hanya hal sia-sia dan melelahkan yang dia dapatkan.

Usahanya tidak juga membuahkan hasil, Hantu Nenek murka. Aura di sekitarnya menggelap. Hawa di sekeliling mereka makin dingin hingga menusuk tulang dan membuat bulu kuduk merinding. Sososk dengan busana yang ternoda darah di beberapa bagian itu melesat terbang mendekati Loyce.

Aray berjengit dan mengeratkan jemarinya pada lengan Loyce karena sadar situasi yang dirasanya makin tidak terkendali. "Cee, di mana dia?" cicitnya dengan suara bergetar.

Mendengar pertanyaan yang seharusnya tidak dilontarkan, secepat kilat Loyce memutar kepala menghadap Aray. Dia memberi tanda peringatan lewat sorot mata. Sementara itu, sudut matanya menangkap seringai entitas yang berdiri tepat di hadapannya. Jarak mereka tidak lebih dari 5 centimeter.

"Tidak seharusnya kamu bertanya seperti itu, Aray," tukas Loyce tanpa membuka mulut, hanya bibir yang bergerak.

Baru 2 detik Aray mengerutkan dahi tanda belum mengerti maksud ucapan Loyce, terdengar suara tawa melengking disusul bayangan Hantu Nenek yang makin jelas nampak di matanya. Sosok itu menampakkan diri sama persis dengan yang ada di dalam mimpinya. Bibir Aray ingin berteriak sekencang mungkin, berharap itu dapat mengusir Hantu Nenek. Namun, energi yang dia punya hanya cukup menopang tubuh untuk berdiri membeku.

Dengan mata memelotot dan wajah tegang, Hantu Nenek bicara pada Loyce. "Bantu aku atau temanmu akan aku teror selamanya!"

Begitu suara dingin, lirih, dan penuh harap itu berakhir, Aray tidak sadarkan diri sementara Hantu Nenek lenyap.

"Aray!" pekik Loyce yang terkejut melihat tubuh porposional Aray melorot di sisinya. Seumur-umur mereka bersama, baru kali ini dia menghadapi Aray yang hilang kesadaran.

__________***____________

Alhamdulillah bisa unggah bab baru lagi. Ini sih ngalamat akan ada double update. Tapi nggak apa-apa demi bisa tamat akhir bulan ini dan bisa menemani kalian lewat tulisan.

Terima kasih sudah berkenan mampir. Ditunggu kelanjutannya, ya!

09.30 WIB; 12 Juli 2023

Regards, 

Fiieureka 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top