Teror 1 • Penolakan Penuh
Loyce tetap mengabaikan suara di sebelahnya dengan cara bersenandung mengikuti lagu yang sedang diputar. Bahkan tubuhnya ikut bergerak bak sedang disko. Sesekali tangan kirinya mengarah ke atas sembari kepala geleng-geleng. Jika orang normal yang melihat, dirinya seperti sedang berpesta seorang diri. Namun, lain hal dengan orang berkemampuan sama dengan dirinya---indigo. Mereka akan tahu jika dia sedang mengalihkan fokus dari makhluk di sisi kirinya.
"Tolong aku, Cu! Tolong!" lirih si Hantu Nenek dengan nada melas.
Loyce tidak tahan untuk terus memfokuskan pandangan ke depan. Akhirnya, dia tergoda untuk sekadar melirik lewat spion. Namun, sosok itu tidak terlihat.
Similikiti ini arwah, jual mahal dan cari perhatian sekali. Sesaat dirinya lupa bahwa makhluk seperti itu kadang tidak nampak di kaca. Maka dari itu, dia menggerundel dalam hati. Tidak lepas bibirnya mengerucut sedikit sehingga menampakkan khas air muka bad mood.
Saat otaknya baru mencari cara supaya si Hantu Nenek lelah dan akhirnya menyerah, ponselnya berdering. Muncul nama sahabatnya yang sangat cerewet bin overprotective. Muncullah ide yang kecepatannya melebihi tahu bulat digoreng dadakan. Bibirnya yang berwarna merah koral membentuk lengkung ke atas secara samar.
"S for H." Segera Loyce memberi salah satu kode klasik untuk Aray bahwa dirinya sedang tidak dapat membicarakan makhluk atau semacamnya. Dia tahu bahwa Aray menelepon karena ingin mengetahui keadaannya.
"Astaga!"
Loyce dapat menangkap pekikan lirih di seberang telepon. Sementara itu, Hantu Nenek tengah menatapnya dengan sorot tajam karena menginginkan Loyce untuk segera mengakhiri obrolan.
"Sudah sampai kafe?" Loyce mengangkat topik obrolan secara acak. Yang terpenting adalah dirinya dapat mengalihkan fokus dari si Hantu Nenek yang belum juga berkedip sejak dirinya menerima telepon.
"Begitulah. Baru saja aku dicampakkan oleh supplier daging. Saat baru menginjakkan kaki di sini, dia mendapat telepon dari salah satu keluarganya bahwa istrinya sedang di rumah sakit untuk melahirkan segera. Jadi, ingin tidak ingin, aku mengizinkannya pergi begitu saja. Kami belum ada pembicaraan apa pun. Menyebalkan!" adu Aray.
Loyce tergelak seketika. Untuk sesaat, dia benar-benar lupa bahwa di sampingnya ada makhluk tidak kasat mata yang masih terus mengawasinya. Dia tengah membayangkan raut wajah Aray saat ini; bibir tipis yang mengerucut, jemari lentik---untuk standar laki-laki memang tergolong demikian---yang mengusap rambut klimis, serta kaki yang mengentak lantai hingga membuat tubuh bergerak gemulai meskipun samar. Jauh berbeda dengan dirinya yang powerfull ketika kesal, apalagi marah.
"Iih, jahat! Teman sedang kesusahan malah ditertawakan," gerutu Aray karena Loyce masih saja terkikik geli. Dia kembali mengentakkan kaki satu kali ke lantai kafe.
Loyce membenarkan posisi handsfree bluetooth di telinga kirinya sembari berdeham. Matanya yang berbingkai eyeliner mencuri pandang ke sisi kiri dan ternyata Hantu Nenek masih tetap memperhatikannya. Sekarang matanya justru memelotot.
Bukannya bergidik ngeri, Loyce justru berteriak girang dalam hati. Dia menebak kesabaran si Hantu Nenek mulai surut dan pasti sebentar lagi akan menghilang akibat lelah menunggu. Meskipun kesal, makhluk di sampingnya ini tidak mampu mengganggu fungsi alat elektronik---dalam hal ini telepon yang sedang digunakannya. Sebab, energi Hantu Nenek masih lemah karena baru meninggal.
"Matahari mulai tinggi," sahut Loyce tidak sinkron dengan obrolan sebelumnya.
Akan tetapi, Aray paham maksud sebenarnya gadis tersebut. "Syukurlah. Nanti kalau mendung sudah hilang, langsung kabari, ya!"
"Gampang," sahut Loyce enteng.
"Jangan gampang-gampang saja! Pokoknya kamu harus langsung kasih kabar ke aku kalau si hantu itu sudah pergi." Sepersekian detik kemudian, Aray mengatupkan bibir rapat-rapat. Dia merutuk dalam hati karena kelepasan bicara.
Sementara itu, Loyce melirik ke sisi kiri secara refleks. Seringai penuh energi dan binar mata makhluk itu terperangkap jelas di indra penglihatannya. Bahkan mata keriput makhluk tersebut nyaris tenggelam dalam kelopak karena saking girang mengetahui bahwa ternyata dirinya memang dapat melihat.
"Halo, Cucu?" sapa Hantu Nenek masih dengan penuh seringai kemenangan.
Karena sudah tertangkap basah, Loyce mengakhiri telepon secara sepihak dengan kecepatan kilat. Kemudian, dia melihat kondisi jalan tol di sekitar kendaraannya. Berhubung tempat ini tidak aman untuk "mengobrol" berdua dengan si Hantu Nenek, Loyce mengambil kesempatan untuk menepikan mobil.
Begitu mobil sudah berada di pinggir jalan dan berhenti, Loyce memejamkan mata dan membuang napas berat. Dia merasa kali ini akan alot mengingat durasi penampakan yang lebih dari 15 menit.
"Halo, Cu?" Kali ini bukan seringai, melainkan senyum manis yang arwah itu berikan ke Loyce. Jemari tangan kanannya bergerak tegak-berdiri secara cepat beberapa kali dan dihadapkan ke arah gadis tersebut.
Loyce membenarkan topinya sesaat, lalu menoleh dan menghadiahi tatapan tajam. "Siapa bilang saya cucumu? Nenek dan kakek saya masih hidup sehat di Singapura," celetuknya.
Arwah itu tersenyum lembut, tidak terpengaruh dengan Loyce yang bernada galak. "Kamu adalah cucuku."
Loyce menatap tidak terima. "Ehh, sembarangan! Nenek tidak budeg, kan? Kakek-nenek saya masih hidup. Saya bukan cucu Nenek," tuturnya dengan wajah berkerut.
Si Hantu Nenek menggeleng sampai hiasan rambut berbentuk bunga berukuran 7 cm yang dijepit di kepala sisi kanannya agak melorot. "Kamu cucuku, kamu cucuku," ucapnya sambil menelengkan kepala ke kanan-kiri bergantian dan tepuk tangan. Senyum masih mengembang di bibir pucatnya yang tidak lagi mulus.
Mulut gadis berusia 23 tahun itu terbuka. Dirinya tidak percaya sedang diledek oleh hantu lansia, tetapi perilakunya seperti anak berusia tujuh tahun.
"Bukankah sekarang seharusnya Nenek tidak di sini?" tanya Loyce retoris.
Tubuh Hantu Nenek berhenti gerak.
Untuk sepersekian detik, Loyce berpikir jika akhirnya arwah tersebut mengerti. Akan tetapi, reaksi yang Loyce dapatkan di detik selanjutnya mengundang hawa panas di dada.
Kedua mata tua Nenek Hantu itu menampakkan bercak air mata. Mendung pun datang menyelimuti wajah putih keriputnya. "Kamu mengusirku, Cu?"
Suaranya terdengar begitu dramatis. Bahkan berhasil membuat Loyce merasa durhaka karena menzolimi orang tua. Dia pun mengerang sembari menekan pipi kanan-kirinya menggunakan kedua telapak tangan. Baru kali ini dirinya bertemu entitas yang membuat ubun-ubun berasap. Entah karena sifat gigih atau tidak pekanya si Nenek Hantu.
"Iish, sial!" umpatnya. Dia membuang wajah ke kanan sesaat. Kemudian, wajahnya kembali menghadap si lawan bicara. "Saya tidak mengusir Nenek. Hanya saja Nenek yang tidak tahu tempat. Nenek yang baru saja meninggal dalam kecelakaan di belakang sana, kan?" Telunjuk kiri Loyce mengarah pada posisi yang dimaksud meskipun tidak terlihat lagi TKP-nya.
"Tetapi aku ingin pulang bersamamu, Cu," rengek Hantu Nenek. Dalam waktu secepat kilat, mendung yang melingkup wajahnya sirna dan digantikan oleh aura cerah. "Aku ingin memberimu sepasang hewan peliharaan yang sangat lucu. Ayo kita pulang ke rumahku!" ajaknya dengan semangat.
Astaga! Loyce sampai berpikir jika si Hantu Nenek ini punya kepribadian ganda atau semacamnya. Sebab, suasana hati sosok itu berubah drastis dalam waktu yang sangat singkat.
Loyce menggembungkan kedua pipi. Sementara itu, otaknya sedang berlarian untuk mencari solusi yang tepat. Dia tahu jika interaksi mereka berdua tidak akan berakhir begitu saja setelah dirinya meminta pergi. Sebaliknya, si Hantu Nenek terus mengajaknya negosiasi yang entah apa maksudnya.
Gadis tersebut menggaruk pelipisnya, lalu berkata, "Baiklah! Saya akan mengantar Nenek pulang dengan syarat ... Nenek tidak akan pernah muncul di hadapan saya lagi. Jadi, di mana rumah Nenek?" Dia pikir ini satu-satunya cara supaya interaksi ini berakhir selamanya dan tidak ada kata "bersambung". Dia tidak dapat menolak mentah-mentah.
Loyce mengangkat sebelah alis karena Hantu Nenek tidak langsung memberi tanggapan.
"Aku .... Di mana rumahku, ya?"
Loyce mengerutkan dahi. "What?" Detik berikutnya, perasaan tidak enak menghampiri. "Nenek sebutkan saja alamat lengkapnya, oke?"
Si Hantu Nenek menatap Loyce dengan sendu. "Aku tidak ingat di mana rumahku."
Ya Tuhan! Demi ketentraman kaum indigo! Kali ini drama apa lagi yang harus Loyce hadapi?
•••••••***•••••••
Selamat Iduladha bagi saudara muslim. Semoga hari ini menjadi berkah untuk kita semua, yaaa.
Perasaan apa yang kamu dapat usai baca bab ini?
Sudahkah kamu mengetahui sesuatu tentang Hantu Nenek yang membuat Loyce bingung setengah mampus? Wkwkk
Terima kasih sudah meluangkan waktu membaca kisah ini. Semoga berkenan untuk mengikuti ceritanya sampai tamat.
29 Juni 2023
22.11 WIB
Salam hangat dari Kota Belimbing,
Fiieureka
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top