The Cook
Pada hari ketujuh, Valerie menghampiri Ethan dengan penuh keyakinan.
"Aku harus mengeluarkanmu dari sini."
Ethan, yang sibuk memilah buku nonfiksi di meja besar, mendongak kepadanya dengan tatapan sendu. "Kau pendek," tukasnya, dengan lebih enteng yang tak membuat Valerie tersinggung sama sekali. Gadis itu akhirnya paham mengapa Ethan mengatainya demikian di awal pertemuan.
Ethan mengharapkannya sebagaimana Lucas.
"Apa Luke tak cerita padamu? Pendek begini, aku juga bisa melakukan hampir semua yang ia lakukan. Apa pun yang kaubutuhkan darinya sampai ia 'terjatuh dari tangga'."
Ethan tersenyum tipis saat Valerie sengaja menekan kata-kata terakhir. Valerie ikut tersenyum geli, padahal bukan maksudnya pula menjadikan itu senada lelucon.
"Aku tahu kau memang lincah," kata Ethan sembari mengerling ke arah pintu. Olga sedang mondar-mandir membawa cucian. "Kalau begitu tata buku-buku ini dulu di rak atas."
Valerie hampir menyanggupi, tetapi ucapannya tertahan di tenggorokan saat teringat akan kedua lututnya. Padahal tak ada bekas denyut nyeri lagi di sana. Namun jejak traumanya—ledakan sakit luar biasa ketika ia jatuh dari pinus Skotlandia—membuat bulu kuduk Valerie merinding.
Ya. Dia jatuh dari pohon itu. Penyebabnya sederhana: Valerie mengejar Lucas yang berada satu dahan lebih tinggi. Saat Valerie memanjat, ia tak sengaja mencengkeram kaki Lucas yang sedang menggantung, dan abangnya panik. Satu sentakan keras dan Valerie jatuh dari ketinggian empat meter.
Beruntung kepala Valerie tidak terbentur, tetapi Lucas menyalahkan dirinya sendiri dan memastikan Valerie aman sepanjang waktu. Tak ada lompatan apalagi panjat-memanjat. Meski ia sudah meyakinkan abangnya bahwa itu juga kesalahannya, Lucas tetap mengotot.
Karena Valerie melamun, Ethan mengangkat buku-buku untuknya. "Naiklah, Val. Biar kubawakan ini."
Valerie berterima kasih dengan kikuk, lantas menghampiri tangga beroda dengan debaran keras. Baiklah, ini bukan pertama kalinya ia naik tangga setelah operasi tahun lalu. Ia sudah mencoba beberapa tangga pendek, mengayuh sepeda sejauh beberapa kilometer, dan semacam itu—tentu tanpa sepengetahuan Lucas.
Valerie mencoba memanjat. Perlahan-lahan, satu per satu undakan. Kedua tangannya berkeringat saat mencengkeram susuran tangga.
Enam undakan pertama, lancar.
Undakan ketujuh ... oh, dia agak gelisah.
"Um, Ethan, tangganya takkan bergeser, kan?"
"Pengaitnya sudah kupasang. Tenang saja."
Ya, dia harus tenang. Toh ia berhenti pada setiap undakan untuk memindah buku-buku yang diulurkan Ethan, sekaligus memberi dirinya waktu untuk bernapas.
Valerie harus mampu mencapai undakan teratas. Jika tangga ini bisa ia taklukkan, maka seharusnya yang lain pun juga bisa.
Semoga.
Setelah upaya yang sangat lama untuk memindahkan buku-buku di rak atas, Valerie akhirnya menginjak lantai lagi dengan penuh kebanggaan. Meski lututnya gemetaran, setidaknya dia berhasil.
"Katakan apa yang Luke lakukan."
Alih-alih menjawab, Ethan mengatupkan bibir cemas. "Kau tak apa-apa? Kau pucat. Dan lagi ... tampaknya sesuatu terjadi pada lututmu."
"Pernah cedera, tak masalah." Valerie menepuk-nepuk lutut. Tak ada rasa sakit. Memang cederanya sudah sembuh, toh Lucas tahu itu dan berani meremas.
Traumanyalah yang perlu ditaklukkan.
"Sungguh?"
"Lihat, aku baik-baik saja."
Meski agak tak yakin, Ethan tetap mengajak Valerie menuju ruang makan. Mereka mengendap-endap. Katanya ini waktu Olga memasak dan satu-satunya kesempatan mereka. Sesuai dugaan, ia menunjuk gelang yang tersangkut di balok.
"Itu cincin kunci." Ternyata bukan gelang, eh? "Jika aku bisa membuka pintu dengan kunci itu, maka aku bisa terbebas."
"Lantas mengapa kuncinya di sana?"
"Aku yang melemparnya." Ethan kerap mengerling waswas ke arah lorong menuju dapur. "Agar ... agar dia tidak bisa keluar juga."
Valerie merinding. "Maksudmu, Ol—" ucapannya terhenti saat Ethan menutup mulutnya. Valerie mengerjap malu. Sang pemuda menempelkan telunjuk di bibir. Sebuah gelengan ringan mencegah sang gadis untuk menyebut namanya.
Bulu kuduk Valerie menegang. Apa yang sang pelayan lakukan? Dan apa hubungannya dengan dinding tak kasat mata yang tak mampu dilewati Ethan?
Paham dengan kecurigaan di kedua mata biru Valerie, Ethan berbisik. "Tiga tahun lalu, adikku mati karena ia. Itulah kenapa Ayah tak pernah kembali. Tapi aku harus. Dan saat aku tahu jawabannya, aku ... aku tahu sudah terlambat bagiku untuk pergi." Ia menelan ludah. "Tak peduli berapa kali aku menghubungi polisi, tak ada yang mau memercayaiku."
Semakin Ethan berkata-kata, kian lebar pelototan Valerie. "Apa? Mengapa kalian tak memecatnya?"
Ethan menggeleng kuat-kuat. "Kau tak bisa mengusirnya. Kau yang lari." Ia mendongak ke arah cincin kunci sebagai penegasan.
Itu berarti Valerie mesti memanjat. Ia tak perlu bertanya mengapa Ethan tak melakukannya—pemuda kaya raya itu jelas tak pernah memanjat pohon. Ia lebih nyaman dikelilingi ribuan buku dan kukis. Kalaupun pernah, mungkin jawabannya adalah lebam-lebam samar yang mengintip dari balik lengan kausnya.
"Kesalahanku adalah aku menyerahkan seluruhnya pada Luke." Ethan menggeleng. "Aku tahu kau sama hebatnya, tetapi aku takkan mengulang kesalahan. Aku akan menjagamu di bawah."
"Sehebat apapun, aku memang tetap membutuhkan rasa aman." Valerie mendesah lega. "Kalau begitu, tunggulah."
Sekarang, Valerie bersyukur bahwa tiang-tiang besar di sekitar ruang makan cukup mudah untuk dipanjati, tetapi tantangannya bukan di situ. Ketakutan membayangi acap terdengar langkah kaki Olga di dapur, khawatir sang pelayan bakal memergok.
Namun, biarkan itu menjadi urusan Ethan. Valerie agak gemetaran saat berhasil mencapai balok yang melintang di dekatnya. Saat ia mengaitkan kedua kaki, Valerie merasakan embusan angin yang menelusup melalui kerah kaus, mengelus punggungnya dengan ngeri.
Tahun lalu sebelum kecelakaan, Valerie bangga disebut monyet. Sekarang, ia merasa seolah-olah bisa jatuh kapan saja.
Valerie merayap dengan sangat perlahan, dan nyaris menangis karena ketakutan akan Olga yang bisa muncul sewaktu-waktu, serta bayangan-bayangan akan rasa jatuh yang menyakitkan. Demi Tuhan, dia berada lima meter di atas lantai.
"Sedikit lagi, Val." Ethan berbisik keras. "Kau pasti bisa."
Valerie menarik napas dalam-dalam. Ia tak tahu apa yang menyebabkan Lucas gagal, dan tak boleh menemukan kegagalan yang sama. Ia memastikan setiap petak balok yang dirambatnya masih kokoh dan tidak lapuk. Kemudian, ketika jari Valerie akhirnya menyentuh ujung kunci yang dingin dan melegakan, ia hampir meledak bahagia.
"Ethan!"
"Oh Tuhan." Ethan terdengar ingin menangis juga. "Sekarang, Val, merayaplah turun dan jangan terburu-buru."
Namun Valerie tidak ingin berlama-lama di atas sana. Ia bergeser dengan jarak amat lebar dan dipusingkan oleh degup jantung. Kemudian, ketika ia sudah mencapai separuh balok, seekor tikus tiba-tiba melintas melompati jemarinya. Valerie memekik. Ia refleks melepaskan genggaman.
Oh, tidak.
"Val!" Ethan berseru. Ia merangsek dengan tangan teracung, tepat saat Valerie menimpanya, dan mereka berdebum di lantai.
Valerie panik tersebab menindih Ethan. "Kau tak apa-apa?" serunya. Di bawahnya, Ethan meringis kesakitan. Setidaknya ia sanggup mengangguk cepat.
"Tak apa, hanya—"
"Ada apa ini?"
Sebesar kelegaan yang membanjir, sehebat itu pula ketakutan yang menyerang mereka. Olga muncul di ujung lorong dapur.
Ketika ia melihat cincin kunci yang digenggam Valerie, wajahnya tahu-tahu robek dan sejulur lidah panjang menyeruak.
"KUNCIKU!!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top